Pengadilan AS Tegaskan Penolakan Larangan Perjalanan Trump
13 Juni 2017
Pengadilan banding di San Fransisco menolak permohonan revisi pemerintah AS soal pembatalan larangan perjalanan Presiden Donald Trump untuk enam negara mayoritas muslim.
Iklan
Pengadilan federal di San Francisco hari Senin (12/6) menolak permohonan pemerintahan Trump untuk mencabut keputusan hakim federal Hawaii yang membatalkan perintah eksekutif presiden soal larangan kunjungan ke AS bagi enam negara muslim. Pengadilan Hawaii sebelumnya menyatakan bahwa instruksi Presiden Trump melanggar undang-undang imigrasi AS karena membeda-bedakan orang berdasarkan kewarganegaraan mereka.
Ketiga anggota panel hakim di San Fransisco kini menyatakan, presiden memang berwenang mengawasi kebijakan imigrasi, namun mereka menegaskan, "imigrasi bukanlah pertunjukan satu orang, bahkan untuk seogang presiden."
Mereka menyatakan, Presiden Trump telah "melampaui lingkup kewenangan yang didelegasikan kepadanya oleh Kongres" di bawah undang-undang keimigrasian.
Beban pembuktian
Selanjutnya, para hakim mengatakan Trump gagal membuktikan bahwa pengunjung yang memasuki AS dari Libya, Iran, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman akan melukai kepentingan Amerika.
Namun para hakim tidak memutuskan apakah instruksi presiden itu adalah bentuk diskriminasi yang tidak konstitusional terhadap umat Islam.
Juru bicara Gedung Putih Sean Spicer menegaskan pada hari Senin (12/6), perintah preisiden itu "sepenuhnya legal".
"Kami bisa membuktikan saat ini adalah saat yang sangat berbahaya dan kami membutuhkan setiap instrumen yang ada untuk mencegah teroris memasuki Amerika Serikat dan melakukan tindakan berdarah dan kekerasan," kata Spicer.
Menunggu putusan Mahkamah Agung
Keputusan tersebut merupakan pukulan berikutnya bagipemerintahan Trump. Mahkamah Agung AS kini juga sedang mempertimbangkan kasus terpisah lain mengenai masalah tersebut.
25 Mei lalu, Pengadilan Banding ke-4 menegaskan keputusan hakim Maryland yang juga memblokir larangan Trump untuk 90 hari dan menyatakan bahwa perintah presiden tersebut "didorong oleh intoleransi, kekhawatiran dan diskriminasi agama terhadap warga Muslim".
Presiden Donald Trump mengeluarkan dua kali perintah eksekutif sehubungan dengan larangn berkuinjung bagi warga dari 6 negara mayoritas Muslim. Perintah yang pertama dikeluarkan pada tanggal 27 Januari dan menyebabkan kekacauan dan demonstrasi di beberapa bandara sebelum kebijakan itu dihentikan oleh oleh pengadilan.
Setelah itu Trump merevisi perintah pertama dan mengeluarkan perintah kedua, namun printah kedua juga dibatalkan oleh pengadilan sebelum mulai berlaku pada 16 Maret.
Seratus Hari Donald Trump, Seribu Kicauan di Twitter
Sejak menduduki kursi nomor satu di Washington, Donald Trump lebih banyak berkoar di Twitter ketimbang menepati janji kampanyenya. Inilah kumpulan kicauan Trump paling kontroversial di 100 hari pertamanya.
Foto: picture alliance/dpa/P. Pleul
Kontroversi Dalam 140 Huruf
Twitter menjadi platform favorit Donald Trump buat memublikasikan dekret atau sekedar melontarkan pernyataan pedas pada lawan politiknya. Dengan pesan yang cuma sepanjang 140 karakter, situs sosial media ini menawarkan kesempatan buat Trump untuk memuat pernyataan yang kontroversial, tanpa perlu menjelaskan duduk perkaranya seperti pada sebuah artikel.
Foto: Getty Images/C. Somodevilla
"Iblis" dari Enam Negara Muslim
"Kita harus menjaga negara ini dari iblis," tulisnya pada 20 Januari ihwal perintah larangan masuk bagi warga muslim dari enam negara Islam. Ketika larangan tersebut digugurkan pengadilan, ia balik menyalak, "apa jadinya dengan negara ini jika kita membiarkan orang jahat masuk?"
Foto: Reuters/L. Buckman
Pertalian Racun di Asia Pasifik
Perekonomian Cina dan AS bertaut erat tanpa bisa dipisahkan. Namun begitu Trump gemar menyerang Beijing dalam isu perdagangan. Ia bahkan menyebut Cina sebagai "manipulator mata uang." Tapi dasar Trump, ia kemudian menyangkal ucapannya sendiri. "Kenapa saya mau menyebut Cina manipulator mata uang, padahal mereka bekerjasama dengan kami dalam isu Korea Utara!?."
Foto: Getty Images/AFP/J. Watson
Demonisasi Media
Terutama media liberal dan kiri sering menjadi sasaran amuk Donald Trump sejak masa kampanye. Berulangkali ia menyebut CNN, New York Times atau ABC sebagai media abal-abal. "Media palsu bukan musuh saya, tapi musuh rakyat Amerika!" Pada lain kesempatan ia menyerukan penduduk AS agar "tidak mempercayai media mainstream."
Foto: picture alliance/dpa/BILD/D. Biskup
Hantu Obama di Gedung Putih
Selama 100 hari pertama Trump sibuk memerangi warisan mantan Presiden Barack Obama, antara lain kebijakan lingkungan dan asuransi kesehatan. Ia bahkan melontarkan tuduhan miring pada pendahulunya itu. "Baru mendapat kabar Obama 'memata-matai' saya di Trump Tower sebelum kemenangan (Pemilu)." Tudingan tersebut tidak pernah bisa dibuktikan.
Foto: Reuters/K. Krzaczynski
"Musuh" di Sebrang Atlantik
Selain Obama, Kanselir Jerman Angela Merkel juga sering menjadi korban serangan verbal Donald Trump. Tidak jelas kenapa Trump gemar mencibir sekutu dekat AS tersebut. "Jerman berutang besar pada NATO dan Amerika Serikat. Mereka harus membayar layanan keamanan yang kita sediakan," kicaunya. Pada kunjungannya ke Washington Merkel lalu menguliahi Trump soal prinsip kerja NATO.
Foto: Reuters/J. Ernst
Proteksionisme dan Ancaman
"Beli produk Amerika, pekerjakan orang Amerika," tulisnya sesaat setelah dilantik menjadi Presiden. Proteksionisme yang menjadi aib bagi kebanyakan kepala negara, justru menjadi senjata Trump buat meraup suara. Ia antara lain mengancam bakal menerapkan pajak berlebih jika perusahaan multinasional tetap memproduksi barang yang akan dijual di AS di luar negeri.