Setelah banyak nelayannya yang ditahan lantaran menangkap ikan secara ilegal, Mahkamah Agung Cina mengancam bakal memenjarakan nelayan asing yang memasuki Laut Cina Selatan secara tidak sah.
Iklan
Mahkamah Agung Cina memperingatkan siapapun yang kedapatan menangkap ikan secara ilegal di Laut Cina Selatan bisa dipenjara paling lama satu tahun. Pernyataan tersebut diungkapkan sebagai interpretasi hukum terhadap konstitusi Cina dan Konvensi Hukum Laut Internasional PBB (UNCLOS).
"Kekuatan yuridis adalah komponen penting dalam kedaulatan nasional," begitu bunyi surat pernyataan majelis hakim. "Pengadilan rakyat akan secara aktif menjalankan yurisdiksi terhadap wilayah perairan Cina, membantu pemerintah untuk menjalankan manajemen maritim secara legal dan menjaga kedaulatan teritorial Cina dan kepentingan maritim."
Nelayan yang memasuki perairan Cina secara ilegal dan menolak untuk dikawal keluar, serta masuk kembali setelah diusir atau dikenakan denda pada tahun sebelumnya, bisa dianggap melakukan tindak kriminal "serius" dan bisa dipenjara selama setahun, tulis Mahkamah Agung,
"Penjelasan ini menjadi garansi hukum untuk penegak hukum di laut," imbuh instansi hukum tertinggi di Cina itu.
'Cina mengklaim hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan yang merupakan salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia dengan nilai total 5 trilyun US Dollar per tahun. Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam, turut mengklaim kawasan perairan di utara Indonesia itu sebagai teritorialnya.
Secara rutin Cina menangkap nelayan asing, terutama dari Filipina dan Vietnam. Nelayan Cina yang agresif menangkap ikan di Laut Cina Selatan juga sering ditangkap oleh negara lain, termasuk Indonesia.
Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag bulan lalu memutuskan bahwa Cina tidak memiliki kedaulatan historis atas Laut Cina Selatan. Tidak satupun pulau di Kepulauan Spratly yang masuk dalam Zona Ekonomi Ekslusif Cina sepanjang 200 mil laut.
Saat ini Cina telah menduduki sejumlah pulau di Kepualauan Spratly dan Paracel, serta membangun berbagai infrastruktur militer dan industri.
Saling Tikam Berebut Laut Cina Selatan
Konflik Laut Cina Selatan menjadi ujian terbesar Cina buat menjadi negara adidaya. Meski bersifat regional, konflik itu mendunia dan mengundang campur tangan pemain besar, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Bersekutu dengan Rusia
Cina sendirian dalam konflik seputar Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan. Kecuali Rusia yang rutin menggelar latihan militer bersama (Gambar), negeri tirai bambu itu tidak banyak mendulang dukungan atas klaim teritorialnya. Terutama karena klaim Beijing bertentangan dengan hukum laut internasional.
Foto: picture-alliance/AP Images/Color China Photo/Z. Lei
David Versus Goliath
Secara umum Cina berhadapan dengan enam negara dalam konflik di Laut Cina Selatan, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunai dan Filipina yang didukung Amerika Serikat. Dengan lihai Beijing menjauhkan aktor besar lain dari konflik, semisal India atau Indonesia. Laut Cina Selatan tergolong strategis karena merupakan salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia dan ditengarai kaya akan sumber daya alam.
Foto: DW
Diplomasi Beton
Ketika jalur diplomasi buntu, satu-satunya cara untuk mengokohkan klaim wilayah adalah dengan membangun sesuatu. Cara yang sama ditempuh Malaysia dalam konflik pulau Sipadan dan Ligitan dengan Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, Cina lebih banyak memperkuat infrastruktur militer di pulau-pulau yang diklaimnya.
Foto: CSIS, IHS Jane's
Reaksi Filipina
Langkah serupa diterapkan Filipina. Negara kepulauan itu belakangan mulai rajin membangun di pulau-pulau yang diklaimnya, antara lain San Cay Reef (gambar). Beberapa pulau digunakan Manila untuk menempatkan kekuatan militer, kendati tidak semewah Cina yang sudah membangun bandar udara di kepulauan Spratly.
Foto: CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe
Di Bawah Naungan Paman Sam
Filipina boleh jadi adalah kekuatan militer terbesar selain Cina dalam konflik di perairan tersebut. Jika Beijing menggandeng Rusia, Filipina sejak dulu erat bertalian dengan Amerika Serikat. Secara rutin kedua negara menggelar latihan militer bersama. Terakhir kedua negara melakukan manuver terbesar dengan melibatkan lebih dari 1000 serdadu AS.
Foto: Reuters/E. De Castro
Indonesia Memantau
Indonesia pada dasarnya menolak klaim Cina, karena ikut melibas wilayah laut di sekitar kepulauan Natuna. Kendati tidak terlibat, TNI diperintahkan untuk sigap menghadapi konflik yang diyakini akan menjadi sumber malapetaka terbesar di Asia itu. Tahun lalu TNI mengerahkan semua kekuatan tempur milik Armada Barat untuk melakukan manuver perang di sekitar Natuna.
Foto: AFP/Getty Images/J. Kriswanto
Bersiap Menghadapi Perang
TNI juga membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan untuk menangkal ancaman dari utara. Komando tersebut melibatkan lusinan kapal perang, tank tempur amfibi dan pesawat tempur jenis Sukhoi.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Indonesia Tolak Klaim Cina
Cina berupaya menjauhkan Indonesia dari konflik dengan mengakui kedaulatan RI di kepualuan Natuna dan meminta kesediaan Jakarta sebagai mediator. Walaupun begitu kapal perang Cina berulangkali dideteksi memasuki wilayah perairan Natuna tanpa koordinasi. Secara umum sikap kedua negara saling diwarnai kecurigaan, terutama setelah Presiden Jokowi mengatakan klaim Cina tidak memiliki dasar hukum
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
AS Tidak Tinggal Diam
Pertengahan Mei 2015 Kementrian Pertahanan AS mengumumkan pihaknya tengah menguji opsi mengirimkan kapal perang ke Laut Cina Selatan. Beberapa pengamat meyakini, Washington akan menggeser kekuatan lautnya ke Armada ketujuh di Pasifik demi menangkal ancaman dari Cina.