Larangan Berjilbab bagi Guru di Berlin "Inkonstitusional"
28 Agustus 2020
Seorang guru perempuan menggugat pemerintah kota Berlin karena dilarang mengenakan jilbab di depan kelas. Pengadilan Kerja memenangkan gugatannya dan menyatakan larangan berjilbab secara umum melanggar konstitusi.
Iklan
Pengadilan Kerja Tingkat Federal di Erfurt hari Kamis (27/8) menetapkan bahwa aturan di kota Berlin yang secara umum melarang guru perempuan mengenakan jilbab di depan kelas melanggar konstitusi. Putusan ini menguatkan keputusan pengadilan sebelumnya di tingkat yang lebih rendah, yang juga menyimpulkan hal yang sama.
Gugatan ke pengadilan diajukan oleh seorang guru perempuan yang ditolak bekerja sebagai guru di sekolah negeri Berlin karena mengenakan jilbab. Negara bagian Berlin memiliki UU Netralitas yang mewajibkan lembaga pendidikan bersikap netral dalam hal keyakinan dan ideologi. Menurut UU tersebut, atribut keagamaaan dilarang digunakan di ruang kelas.
Namun hakim menyatakan UU itu inkonstitusional. Pengadilan Kerja Tingkat Federal dalam putusannya menyebutkan, dengan aturan di Berlin itu maka penggugat telah "didiskriminasi karena agamanya," dan hal itu jelas melanggar konstitusi Jerman.
Lika Liku Perdebatan Jilbab di Jerman
Selama bertahun-tahun hingga sekarang, pemakaian kerudung karena alasan agama telah menjadi fokus periodik perdebatan dan konflik dalam kehidupan publik. Berikut fase kunci dari debat jilbab di Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa/F. Gentsch
Masuknya pekerja asing dari Turki
1961: Republik Federal dan Turki mencapai perjanjian perekrutan tenaga kerja. Jutaan orang Turki datang ke Jerman sebagai pekerja tamu dalam beberapa dekade setelahnya - kebanyakan dari mereka tetap tinggal. Ini juga memperkenalkan masyarakat Jerman pada jilbab sebagai ciri busana Muslim perempuan.
Foto: kebox - Fotolia.com
Kehidupan yang bermartabat bagi umat Islam
2002: Dalam Piagam Islam, Dewan Pusat Muslim di Jerman berkomitmen pada konstitusi sementara dan pada saat bersamaan menuntut kehidupan yang bermartabat bagi umat Islam di Republik Federal Jerman. Hal ini termasuk dalam mengenakan jilbab.
Foto: picture-alliance/dpa/O. Berg
Tiada alasan untuk memecat seseorang karena jilbab
2003: Mahkamah Konstitusi Federal menjunjung tinggi putusan Pengadilan Perburuhan Federal di Erfurt tahun 2002, yang mengatakan tidak ada alasan cukup untuk memecat seseorang karena mengenakan jilbab karena alasan agama di sebuah tempat kerja non-pemerintah.
Foto: picture-alliance/dpa
Guru Muslim tak boleh dilarang kenakan jilbab ketika mengajar
2003: Dalam kasus Fereshta Ludin, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa seorang guru Muslim perempuan tidak dapat dilarang mengenakan jilbab selama jam pelajaran tanpa aturan hukum tertentu. Hal ini menempatkan tanggung jawab pada parlemen negara untuk membuat undang-undang tentang masalah ini. Perdebatan ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi Federal.
Foto: picture-alliance/dpa
Pengadilan HAM Eropa Bahas masalah jilbab untuk pertama kalinya
2004: Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa membahas masalah jilbab untuk pertama kalinya dan menjunjung larangan yang diberlakukan oleh lembaga pelatihan Turki. Para hakim di Strasbourg menolak pengaduan bahwa undang-undang itu melanggar hak atas kebebasan beragama dan hak atas kebebasan berekspresi.
Foto: Imago/blickwinkel
Larangan penggunaan topi sebagai pernyataan agama
2011: Pengadilan Perburuhan Federal di Erfurt mengatur bahwa penggunaan topi di sekolah dapat dianggap sebagai pernyataan agama dan karenanya dapat dilarang. Pengadilan melanjutkan dengan mengatakan bahwa penutup kepala "jelas dipakai sebagai pengganti jilbab".
Foto: Fotolia/by-studio
Larangan di Bayern dicabut
2015: Mahkamah Konstitusi Federal menolak larangan jilbab panjang bagi guru Muslim perempuan di sekolah umum. Larangan hanya mungkin, katanya, jika pemakaian penutup kepala Muslim menimbulkan risiko konkret yang menyebabkan gangguan di sekolah.
Foto: picture-alliance/dpa/U. Deck
Pegawai magang menang di pengadilan dalam perkara jilbab
2016: Pengadilan Administratif di Augsburg menetapkan bahwa larangan jilbab bagi seorang mahasiswa jurusan hukum saat magang di kantor hukum di Bayern adalah melanggar hukum dan mengatakan bahwa hal itu merupakan campur tangan dalam kebebasan beragama dan pendidikan tanpa dasar hukum.
Foto: picture alliance/dpa/K.J.Hildenbrand
Kebebasan beragama di Jerman
Kebebasan beragama adalah hak fundamental di Jerman. Berdasarkan hukum Eropa, kebebasan beragama dijamin oleh Piagam Hak Fundamental Uni Eropa. Setiap warga/penduduk Jerman memiliki hak untuk beragama dan menjalankan agamanya tanpa persyaratan atasu dibatasi. Dan tidak seorangpun dipaksa untuk menjalankan atau mengamalkan ibadah keagamaan. Editor: ap/vlz (qantara)
Foto: picture-alliance/dpa/W.Kastl
9 foto1 | 9
Gugatan larangan berjilbab sampai ke tingkat pengadilan federal
Putusan itu adalah yang terbaru dari sengketa hukum panjang antara seorang guru perempuan muslim yang dilarang mengajar di kota Berlin karena mengenakan jilbab. Ketika melamar sebagai guru, setelah wawancara kerja dia diberitahu bahwa dia tidak akan diizinkan mengajar di Berlin karena ada UU Netralitas, yang melarang pegawai negeri di Berlin mengenakan pakaian atau pelengkap pakaian yang menjadi simbol keagamaan.
Guru perempuan itu lalu menggugat pemerintah Berlin ke pengadilan tenaga kerja tingkat negara bagian Berlin-Brandenburg. Pengadilan Kerja kemudian memutuskan bahwa larangan berjilbab tidak bisa diberlakukan secara umum, dan hanya bisa diberlakukan dalam situasi khusus yang mengganggu kegiatan pembelajaran, misalnya "jika ada ancaman perdamaian " di sekolah.
November 2018, pengadilan kerja Berlin-Brandenburg memerintahkan kota Berlin untuk membayar kompensasi senillai 5.159 euro kepada penggugat karena lamarannya ditolak.
Namun pemerintah kota Berlin tidak menerima putusan itu dan mengajukan banding sampai ke pengadilan federal. Ternyata pengadilan federal menguatkan keputusan pengadilan di tingkat bawah.
Mengapa Saya Copot Jilbab?
Apakah memakai atau tidak memakai hijab itu pilihan yang bebas diambil oleh seorang muslimah? Ikuti kisah ketujuh perempuan ini yang mengemukakan alasan mereka melepaskan jilbabnya.
Foto: picture-alliance/NurPhoto
Dewi Susanti
Saya tidak berjilbab lagi karena: “Tidak sesuai dengan kata hati saya”. Tahun 2012, Dewi yang bekerja sebagai sekretaris ini memutuskan melepas jilbabnya setelah berjilbab selama dua tahun. Kini ia lebih merasa menjadi dirinya sendiri dan bebas dalam mengekspresikan diri.
Foto: DW/M. Rijkers
Sindy Nur Fitri
Saya tidak berjilbab lagi karena: “Saya ingin orang menilai saya apa adanya”. Sindy mulai berjilbab saat ia kembali dari Aceh tahun 2010. Namun tahun 2017 ia melepas jilbab ketika menempuh pendidikan di Inggris. Keluarga mempertanyakan alasannya namun tidak mempersoalkan keputusannya. Begitu juga dengan rekan-rekan kantor, sesama diplomat bisa memahami keputusannya.
Foto: DW/M. Rijkers
Eli Almira
Saya tidak berjilbab lagi karena: “Saya diminta memakai jilbab sedari kecil tanpa tahu alasan selain jilbab itu wajib untuk perempuan dan bagi yang tidak mengenakan akan dihukum di akhirat. Tuhan jadi sosok yang menakutkan. Jilbab jadi identitas yang tidak diminta tapi wajib dipatuhi. Saya merasa bukan jadi diri saya sendiri dan selalu berpura-pura jadi sosok yang ideal di mata orang lain."
Foto: DW/M. Rijkers
Eni Nastuti
Saya tidak berjilbab lagi karena: “Tidak sesuai keinginan”. Di usianya yang masih relatif belia, Eni sudah memutuskan melepas jilbabnya meski teman-teman pada umumnya mengenakan jilbab. Ia tampak cukup percaya diri melawan arus dengan kerap membagikan informasi tentang jilbab di media sosial.
Foto: DW/M. Rijkers
Astiningtyas Harum
“Saya memutuskan memakai jilbab karena suami 'overprotected' akan busana. Namun setelah pakai jilbab tidak ada perubahan, rasanya perasaan seperti meledak-ledak tapi harus ditahan. Saya memutuskan melepas jilbab karena merasa tidak menjadi diri sendiri, merasa agak terasing dari kehidupan sosial dan saya ingin orang lain tidak melihat saya dari penampilan yang menunjukkan identitas religi”.
Foto: DW/M. Rijkers
Nisa Alwis
“Saya merefleksikan kembali nilai-nilai keislaman setelah saya mendalami filsafat”. Nisa mengaku ia pun tampil menyeruak untuk bersuara melawan mereka yang membelenggu kemajuan. Nisa Alwis adalah pemilik sebuah pesantren di Pandeglang, Banten warisan ayahnya yang lulusan Madinah, Arab Saudi. 30 tahun berjilbab rapat, kini Nisa Alwis mendorong perempuan berbusana sesuai budaya Indonesia.
Foto: DW/M. Rijkers
Stania Puspawardhani
"Saya tetap bekerja, ke luar negeri, S2, beli properti, semua dengan hijab. 2013, saya membacakan Hijabi Monologues dalam acara sebuah kedutaan besar, yang menentang stereotip perempuan berhijab. Setelah perjalanan pribadi dan profesional saya beberapa tahun terakhir, saya berbicara pada Tuhan “Saya tidak pakai jilbab ya”. Saat ini saya hanya berusaha menunaikan rukun Islam sebaik mungkin.”
Foto: DW/M. Rijkers
7 foto1 | 7
Mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi Jerman
Kedua pengadilan dalam putusannya mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi Jerman dari tahun 2015, yang menetapkan bahwa larangan berjilbab secara umum di sekolah negeri adalah ilegal.
Beberapa anggota senat di Berlin sekarang mendesak agar UU Netralitas diganti secepatnya. Senator Kehakiman Berlin Dirk Behrendt menulis lewat Twitter, bahwa "dalam masyarakat multi-agama, yang penting adalah apa yang ada dalam benak seseorang, bukan apa yang ada di atas kepalanya".
Kepala Kantor Anti-Diskriminasi Federal Bernhard Franke menyatakan menyambut putusan itu dan juga menyerukan agar UU Netralitas segera direvisi untuk menghindari sengketa hukum serupa di masa depan.