Namun pengakuan hukum atas hutan adat yang sempat dicanangkan pemerintahan Presiden Joko Widodo kini berjalan lambat. Aktivis mengeluhkan rumitnya birokrasi malah tambah membebani masyarakat adat.
Iklan
Sekelompok pria duduk bersila di atas tikar di sebuah ruang serbaguna di desa Gajah Bertalut, Kampar, Riau. Mereka sibuk mempelajari setumpuk dokumen dan peta yang menampilkan luas hutan, perkebunan, sebuah sungai dan desa kecil di tepi sungai tersebut.
Pria-pria itu berkumpul untuk menyusun klaim hukum terhadap lahan seluas 4.414 hektar yang selama ini menjadi lahan hidup dan tempat mencari makan buat penduduk desa. "Ini adalah bukti kalian sudah hidup di sini dan menggunakan hutan. Kalian memiliki hak sebagai suku adat," jelas Rakhmat Hidayat dari lembaga penelitian World Resources Institute (WRI) yang mengadvokasi penduduk desa.
"Jika sudah punya sertipikat, kalian tidak perlu lagi khawatir tanah ini akan diambil untuk pertambangan atau perkebunan sawit tanpa persetujuan kalian," imbuhnya, seperti dikutip dari Reuters.
Sungai Kampar termasuk kawasan pertama yang dipetakan WRI sebagai bagian dari insiatif pemerintah untuk mengungkap data kepemilikan lahan dengan memanfaatkan citra satelit dan informasi yang dikumpulkan dari pemuka adat dan catatan pemerintah daerah. Dengan cara itu pemerintah berniat mendaftarkan semua kepemilikan lahan di dalam satu peta pada 2025.
Sekal Mahkamah Konstitusi mengakui hak suku-suku lokal atas hutan adat 2013 silam, Presiden Joko Widodo berjanji akan memgembalikan 12,7 juta hektar lahan kepada komunitas adat. Namun hingga 2017 baru 1,9 juta hektar lahan yang sudah dikembalikan. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas hutan adat tersebut menguntungkan 500.000 keluarga.
Muncul Tanda Bahaya SOS Raksasa di Perkebunan Sawit Sumatera
Seniman Lithuania 'mengukir' bekas perkebunan sawit jadi bertanda “SOS” di tepi hutan lindung Sumatera Utara sebagai ekspresi keprihatinannya atas kehancuran hutan di Indonesia.
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
Berdampak buruk bagi masyarakat dan spesies langka
Proyek 'Save Your Souls' karya seniman Lithuania, Ernest Zacharevic ini merupakan bagian dari kampanye keprihatiannya atas dampak perkebunan kelapa sawit terhadap komunitas dan spesies langka di Indonesia. Huruf “SOS” membentang setengah kilometer di lahan seluas 100 hektar di Bukit Mas, Sumatera Utara, dekat ekosistem Leuser.
Foto: All Is Amazing/Nicholas Chin
Tanda darurat di perkebunan sawit
"Saya ingin menyuarakan besarnya masalah dampak kelapa sawit," ujar Zacharevic yang membuat proyak tulisan tanda SOS raksasa di perkebunan di Sumatera Utara. "Proyek ini merupakan upaya untuk menarik kesadaran khalayak yang lebih luas." Proyek ini, bekerja sama dengan kelompok konservasi Sumatran Orangutan Society (SOS) yang berbasis masyarakat dan perusahaan kosmetik Lush.
Foto: All Is Amazing/Nicholas Chin
Mengumpulkan dana kampanye
Mereka mengumpulkan dana untuk membeli perkebunan melalui penjualan 14.600 sabun berbentuk orangutan tahun lalu. Tujuannya adalah, benar-benar menghijaukan kembali lahan itu, yang sekarang dimiliki oleh sayap organisasi SOS di Indonesia, The Orangutan Information Center (OIC), dengan bibit pohon asli. Akhirnya menghubungkan kawasan itu dengan lokasi penghijauan OIC terdekat.
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
Mengolah konsep dan bertindak
Zacharevic berbagi ide kreatif yang sangat berani: Ia bersama kami saat itu dan kebetulan saja tanah yang baru kami beli itu adalah kanvas instalasi yang sempurna, tulis SOS di situsnya. Sekitar seminggu, seniman ini bekerja di lahan itu, menyusun konsep dan akhirnya menebang 1.100 sawit untuk menguraikan pesan ini.
Foto: Tan Wei Ming
Menanam kembali hutan
Setelah menghijaukan kembali lahan itu,sayap organisasi SOS di Indonesia, The Orangutan Information Center (OIC), menanaminya lagi dengan dengan bibit pohon asli di habitat tersebut sebagai upaya penghijauan.
Foto: Skaiste Kazragyte
Jadi sorotan dunia
Sementara itu sang seniman mewujudkan konsep yang digodok bersama sebagai penanda daruratnya kondisi hutan di Indonesia yang banyak digunduli: SOS. Indonesia telah menjadi pusat perhatian dunia dalam upaya mengendalikan emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh penggundulan hutan lahan gambut untuk dijadikan perkebunan bagi industri seperti minyak sawit, pulp dan kertas.
Foto: Tan Wei Ming
Komitmen perusahaan-perusahaan
Tanda SOS ini muncul di tengah tekanan yang terus bergulir pada perusahaan kelapa sawit. PepsiCo dan perusahaan kosmetik Inggris Lush telah berkomitmen untuk mengakhiri penggunaan minyak kelapa sawit - yang ditemukan dalam beragam produk mulai dari sabun hingga sereal .
Foto: picture-alliance/dpa/V. Astapkovich
Meningkatkan transparansi
Sementara, awal tahun 2018 ini perusahaan raksasa Unilever mengatakan telah membuka informasi rantai pasokan minyak sawitnya untuk meningkatkan transparansi.
Foto: Getty Images
Masyarakat adat yang tersingkirkan
Hutan-hutan ini sering berada di daerah terpencil yang telah lama dihuni oleh masyarakat adat, yang mungkin tidak memiliki dokumen yang bisa membuktikan kepemilikan lahan atau dapat bersaing dalam akuisisi lahan di negara Asia Tenggara yang kaya sumber daya.
Foto: Skaiste Kazragyte
Flora dan fauna yang makin menghilang
Perluasan hutan juga menyebabkan berkurangnya populasi satwa liar. Cuma sekitar 14.600 orangutan yang tersisa di alam liar di Sumatera, demikian perkiraan para pemerhati lingkungan. "Kita semua berkontribusi terhadap dampak merusak dari minyak kelapa sawit yang tidak berkelanjutan, apakah itu dengan mengkonsumsi produk atau kebijakan pendukung yang mempengaruhi perdagangan," papar Zacharevic.
Para ahli lingkungan mengatakan pembukaan lahan untuk perkebunan pertanian di Indonesia, penghasil minyak sawit terbesar di dunia, bertanggung jawab atas kerusakan hutan. Penutupan hutan telah turun hampir seperempat luasnya sejak tahun 1990, demikian menurut data Bank Dunia. (ap/vlz/Ernest Zacharevic/SOS/rtr/leuserconservation/berbagai sumber)
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
11 foto1 | 11
"Di sekitar sini kami melihat hutan diambil untuk pertambangan dan kebun kelapa sawit. Ini tidak baik buat lingkungan atau penduduk setempat. Jika hak kami diakui, kami akan melindungi hutan dan lahan ini untuk masa depan," kata Darman, penduduk Gajah Bertalut.
Menurut kelompok HAM Rights and Resources Initiative (RRI) masyarakat adat berhak atas kawasan hutan seluas 40 juta hektar di seluruh Indonesia. Namun hingga saat ini mereka hanya menguasai kurang dari 10% wilayah hutan adat.
Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2013 sebenarnya sudah "memperkuat" hak masyarakat adat "secara dramatis," kata Rukka Sombolinggi, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Tapi "sikap pemerintah yang menuntut kepemilikan lahan jelas dan bersih memperberat beban masyarakat adat," katanya.
Terlebih maraknya tumpang tindih kepemilikan lahan akibat kebijakan masa lalu mempersulit masyarakat adat mengklaim haknya. AMAN mencatat tidak sedikit sertipikat tanah yang sudah diserahkan oleh presiden dicabut kembali. Pun ada pula kasus di mana hutan yang diserahkan sudah terdegradasi menjadi hutan sekunder.
Rukka menilai lambatnya implementasi pengakuan hutan adat adalah karena minimnya niat politik pemerintahan Joko Widodo.
Sementara itu di desa Gajah Bertalut, penduduk berharap bisa lanjut menjalankan mata pencaharian lama, yakni menyadap pohon karet. WRI juga melatih kaum muda desa untuk ikut bercocok tanam sayur-sayuran untuk kebutuhan dapur, "Lahannya masih kecil," kata Elin Purnamasari, aktivis WRI berusia 24 tahun, "Kalau penduduk mendapatkan pengakuan hutan adat, mungkin akan ada lebih banyak orang yang ikut serta."
rzn/ap (Rina Chandran/Thomson Reuters Foundation)
Realita Getir di Balik Gelombang Islamisasi Suku Anak Dalam
Ratusan anggota Suku Anak Dalam ramai-ramai meninggalkan keyakinan leluhur dan memeluk agama Islam. Tapi bukan iman yang menggerakkan mereka, melainkan demi KTP dan harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Nomaden Sumatera Pindah Agama
Indonesia saat ini memiliki sekitar 70 juta anggota suku pedalaman, mulai dari Dayak di Kalimantan hingga suku Mentawai di Sumatera. Namun dari semua, Suku Anak Dalam adalah salah satu yang paling unik karena gaya hidupnya yang berpindah-pindah alias nomaden. Belakangan banyak anggota suku asli Jambi dan Sumatera Selatan itu yang memeluk agama Islam.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Digusur Manusia, Berpaling ke Tuhan
Baru-baru ini sebanyak 200 dari 3.500 anggota Suku Anak Dalam menanggalkan kepercayaan Animisme setelah menerima ajakan sebuah LSM Islam yang difasilitasi oleh Kementerian Sosial. Banyak yang terdorong oleh harapan kemakmuran, menyusul kehancuran ruang hidup akibat terdesak oleh perkebunan kelapa sawit dan tambang batu bara.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Demi Kemakmuran
"Syukurlah pemerintah sekarang memperhatikan kami. Sebelum pindah agama mereka tidak peduli", kata Muhammad Yusuf, seorang anggota Suku Anak Dalam yang berganti nama setelah memeluk Islam melalui program pemerintah. Ia meyakini dengan pindah agama kehidupannya akan menjadi lebih baik.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Solusi Sesat Komersialisasi Hutan
Pemerintah menilai Islamisasi suku pedalaman merupakan langkah baik. Program Kementerian Sosial antara lain mengajak anggota suku untuk tinggal menetap dengan menyediakan rumah dan infrastruktur pendidikan dan kesehatan. Namun aktivis menilai fenomena tersebut didorong oleh rasa frustasi karena gaya hidup mereka terancam oleh komersialisasi hutan.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Agama, KTP dan Kesejahteraan
Yusuf mengakui alasan pindah agama karena masalah ketahanan pangan yang terancam lantaran pemilik lahan membatasi area berburu bagi Suku Anak Dalam. Pria yang punya 10 anak itu mengaku ingin mendapat KTP agar bisa mengakses layanan kesehatan dan pendidikan gratis yang disediakan pemerintah. Memeluk Islam dan hidup menetap mempermudah hal tersebut.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Setia Pada Tradisi
Meski begitu masih banyak anggota Suku Anak Dalam yang tetap setia pada ajaran leluhurnya. Sebagian besar masih menjaga tradisi berburu dan hidup berpindah tiga kali sebulan untuk mencari ladang berburu baru atau ketika salah seorang anggota suku meninggal dunia.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Panggilan Leluhur
Kondisi kehidupan Suku Anak Dalam tergolong berat. Sebagian besar terlihat kurus dan terkesan mengalami malnutrisi lantaran hanya memakan hasil berburu. "Menurut tradisi kami, pindah agama dilarang," kata Mail, salah seorang ketua Suku Anak Dalam. "Kalau melanggar, kami takut dimakan harimau," imbuhnya kepada AFP.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Pilihan Akhir Kaum Terbuang
Aktivis HAM menilai suku pedalaman sering tidak punya pilihan selain pindah agama untuk mendapat kehidupan yang lebih layak. "Mereka harus meminta bantuan ulama atau gereja buat mencari perlindungan," di tengah laju kerusakan hutan dan komerisalisasi lahan, kata Rukka Sombolinggi, Sekjend Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Sumber: AFP, Reuters, Antara