Puluhan ribu migran Ethiopia tengah dalam proses dideportasi dari Arab Saudi. Mereka bercerita tentang penahanan berbulan-bulan dalam kondisi yang menyedihkan. Di tanah air, mereka menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Iklan
Abdela Mohammed menghabiskan 13 bulan "tak tertahankan" mendekam di pusat penahanan Arab Saudi yang penuh sesak sebelum dipulangkan kembali ke Ethiopia pada Mei. Dia dikurung di sel bersama sekitar 200 orang lainnya. Para tahanan tidur di lantai tanpa alas dan hampir tidak diberi makan untuk bertahan hidup.
"Tidak ada cukup makanan," kata Abdela tentang pengalamannya di Pusat Penahanan Shmeisi, sebelah timur Jeddah. "Kami hanya sarapan dan nasi yang kami dapatkan bahkan tidak cukup untuk satu suap."
Abdela menyebut para tahanan yang sakit juga tidak mendapatkan perawatan medis. "Ketika kami mengetuk pintu untuk memberi tahu mereka bahwa seseorang sakit, mereka memanggil kami 'anjing' dan menyuruh kami untuk 'membiarkannya mati'," kenang Abdela dalam sebuah wawancara telepon dari kampung halamannya di wilayah selatan Ethiopia, tempat dia tinggal dengan keluarganya sejak dia kembali.
Diabaikan oleh Ethiopia
Dia dan tahanan lainnya menelepon kedutaan besar Etiopia dari penjara, tetapi mereka "tidak membantu kami," Ungkap Abdela. "Suatu hari seorang pegawai kedutaan, yang menyaksikan kami dipukuli oleh polisi [dalam tahanan], berkata kepada kami: 'Biarkan mereka memukuli kalian'."
Pencari Suaka di Indonesia: Mencari Kebebasan, Malah 'Terpenjara'
Februari 2019 seorang pengungsi asal Afghanistan di Manado tewas bakar diri setelah ditolak untuk masuk ke negara tujuan imigrasi. Bagaimana kehidupan pengungsi dan pencari suaka ini di Indonesia?
Foto: Monique Rijkers
Menanti Nasib
Dari 14 ribu imigran ilegal (pengungsi dan pencari suaka) terdapat 700 anak-anak. Gadis muda ini baru berumur 14 tahun dan sudah mengungsi dari Afghanistan. Saat ini ia tinggal di tenda pengungsi di pinggir jalan di Jakarta Barat.
Foto: Monique Rijkers
Tenda Pinggir Jalan
Hampir seratus orang umumnya asal Afghanistan tidak bisa ditampung dalam rumah detensi di Kalideres, Jakarta Barat sehingga mereka terpaksa tinggal di bawah tenda biru ini di pinggir jalan. Sudah lebih dari satu tahun mereka ada di sini.
Foto: Monique Rijkers
Perempuan dan Anak Menjadi Korban
Imigran ilegal terbagi dalam dua kategori yaitu pengungsi dan pencari suaka. Kepala Rumah Detensi Kalideres Morina Harahap iba pada nasib imigran gelap yang ada di depan rumah detensi yang dipimpinnya, apalagi sebagian besar perempuan dan anak,namun mereka tidak dapat ditampung karena status tidak jelas. Status pengungsi dan pencari suaka ditentukan UNHCR berdasarkan rekam jejak imigran tersebut.
Foto: Monique Rijkers
Rumah Detensi
Di rumah detensi ini hanya ada 51 kamar tetapi jumlah penghuni 1634 orang. Umumnya sudah berada di rumah detensi ini tiga-empat tahun. Rumah detensi berfungsi menampung pelanggaran keimigrasian dan tidak dimaksudkan untuk pemenjaraan. Kebutuhan makan mereka selama tinggal di sini adalah 41 ribu rupiah untuk tiga kali makan perorang. Biaya ditanggung oleh UNHCR, badan pengungsi PBB.
Foto: Monique Rijkers
Kamar Rumah Detensi
Paling tidak seorang penghuni rumah detensi membutuhkan biaya makan selama tinggal di sini sebesar 41 ribu rupiah untuk tiga kali makan per hari. Total sekitar 1,2 juta rupiah perorang yang ditanggung oleh UNHCR, badan pengungsi PBB.
Foto: Monique Rijkers
Mirip “Kos-kosan”
Jam hampir menunjukkan pukul 11 siang namun kamar-kamar masih tertutup rapat dan tidak ada kegiatan. Menjadi imigran gelap memang menyesakkan. Umumnya ingin kebebasan sehingga memilih kabur dari negara mereka tetapi justru berada dalam “penjara” karena pelanggaran keimigrasian. Ibaratnya imigran gelap seperti penghuni kos tanpa kepastian untuk kebebasan.
Foto: Monique Rijkers
Klinik Rumah Detensi
Pemerintah memiliki 13 rumah detensi yang tersebar di Indonesia. Di Kalideres ini terdapat klinik jika penghuni sakit. Jika harus dibawa ke rumah sakit, sudah ada RS rujukan yakni di RS Pengayoman.
Foto: Monique Rijkers
Klinik Gigi
Selain klinik untuk penyakit ringan, terdapat klinik gigi di dalam rumah detensi untuk penghuni. Dokter gigi menolak untuk difoto.
Foto: Monique Rijkers
Suplai Air
Untuk memenuhi kebutuhan air penghuni rumah detensi setiap hari didatangkan air bersih sebanyak 8000 liter untuk mandi, cuci dan kakus. Menurut Kepala Rumah Detensi Kalideres Morina Harahap, setiap hari untuk membeli air keluar ongkos 400 ribu rupiah.
Foto: Monique Rijkers
Proses Wawancara Suaka
Bagi pencari suaka yang sudah lolos urusan administrasi maka diseleksi pihak negara ketiga, negara calon penerima pencari suaka. Pekan lalu ada 29 pencari suaka asal Somalia yang ditahan di rumah detensi Medan diterbangkan ke Jakarta untuk proses wawancara oleh satu kedutaan besar di Indonesia. Mereka diinapkan di sebuah hotel di Jakarta Pusat atas biaya Organisasi Pengungsi Internasional (IOM).
Foto: Monique Rijkers
Menunggu Jawaban Suaka
Pria asal Afghanistan ini sudah menghuni kamar hotel di Jakarta Pusat selama 8 bulan. Ia sedang menunggu jawaban penempatan ke negara ketiga jika ia beruntung, ia bisa menjadi imigran legal dan memulai hidup baru di negara baru. Pria ini berkata, “Negara apa saja yang mau menerima saya, saya mau. Saya tidak mau tinggal di negara perang Afghanistan,” ujarnya dalam bahasa Indonesia yang lancar.
Foto: Monique Rijkers
Masakan Kampung Halaman
Meski sudah bertahun-tahun meninggalkan kampung halaman, pencari suaka asal Afghanistan ini sedang menyiapkan adonan roti khas negerinya (pita bread). Di hotel yang disewa IOM ini, pengungsi bebas memasak dan keluar dari hotel. Mereka tidak akan melarikan diri karena mereka menunggu ditempatkan ke negara penerima suaka.
Foto: Monique Rijkers
12 foto1 | 12
Tidak ada yang mengunjungi kami ketika kami memberi tahu mereka bahwa seseorang sakit. Ketika kami memberi tahu mereka tentang kematian seorang lelaki tua, mereka menolak untuk mengambil mayatnya dan menguburnya."
Abdela merasa tidak punya harapan untuk bisa keluar dari tahanan dalam keadaan hidup: "Saya pikir saya tidak akan pernah keluar dan menjadi manusia lagi." DW telah mencoba menghubungi kedutaan besar Ethiopia di Arab Saudi untuk diminati komentar tetapi sejauh ini tidak berhasil.
Tujuan populer bagi para migran
Solomon Belete menghabiskan lebih lama lagi di tahanan. Dia tidak ingin berbicara tentang 22 bulannya dikurung, selain mengatakan bahwa itu adalah pengalaman yang "mencekik".
Tetapi pria berusia 33 tahun itu dengan senang hati menceritakan mimpi yang mengirimnya ke Arab Saudi. Salah satu mimpinya untuk membangun rumah untuk keluarga sendiri dan juga unttuk orang tuanya, serta menabung untuk memulai bisnis di Ethiopia.
Setelah lukus dari universitas, meskipun telah bertahun-tahun berusaha mencarinya, ia tidak mendapatkan pekerjaan sebagai guru olahraga di negaranya. Jadi, ketika seorang teman yang tinggal di Arab Saudi mengatakan kepadanya bahwa akan mudah untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pengemudi di Arab Saudi, Salomo mengambil kesempatan itu.
"Dia mengatakan kepada saya: Kamu akan hidup dengan nyaman mengendarai mobil orang kaya. Kamu berpendidikan baik. Tidak akan sulit bagi kamu untuk mendapatkan SIM'," kenang Solomon. Tetapi Salomo ditahan di bandara pada saat kedatangan dan langsung dibuang ke pusat deportasi.
Perjanjian deportasi
Solomon dan Abdela adalah dua dari sedikitnya 38.000 warga Ethiopia yang telah dideportasi dari Arab Saudi sejak 30 Maret 2022 ketika kesepakatan deportasi antara pemerintah kedua negara mulai berlaku. Sesuai perjanjian, masih lebih dari 100.000 migran Ethiopia yang saat ini ditahan di negara kaya minyak itu akan dipulangkan ke negara asalnya perjanjian.
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) menyebut Arab Saudi adalah tujuan populer bagi para migran Ethiopia dengan perkiraan 750.000 dari mereka tinggal di negara Timur Tengah.
Dari jumlah tersebut, sekitar 450.000 mungkin telah bermigrasi melalui "cara yang tidak lazim" dan akan membutuhkan bantuan untuk kembali ke tanah air mereka, kata IOM dalam sebuah pernyataan baru-baru ini.
Iklan
Mendekam dalam tahanan
Dalam beberapa tahun terakhir, Arab Saudi telah melakukan penyisiran rutin terhadap pekerja yang tidak memiliki dokumen, menahan mereka yang ditangkap di pusat-pusat deportasi besar. Selama bertahun-tahun, organisasi hak asasi manusia telah mengkritik kondisi pusat-pusat ini.
Tahanan "dirantai berpasangan, dipaksa menggunakan lantai sel mereka sebagai toilet, dan dikurung 24 jam sehari di sel penuh sesak yang tak tertahankan," menurut investigasi Amnesty International tahun 2020 tentang perlakuan buruk terhadap tahanan Ethiopia di Timur Tengah.
"Perempuan hamil, bayi, dan anak kecil ditahan dalam kondisi mengerikan yang sama," temuan penyelidikan tersebut.
Dalam wawancara yang dilakukan pada tahun 2020, para tahanan mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa di sebuah pusat di Riyadh, sekitar 350 pria berbagi dua hingga lima toilet dan tidak memiliki akses memadai untuk membersihkan badan mereka.
Tahanan juga menceritakan bahwa mereka diserang dan dipukuli oleh penjaga, "terutama ketika mereka meminta perawatan medis atau mengeluh tentang kondisinya," organisasi hak asasi manusia melaporkan.
Perjalanan berbahaya menuju Arab Saudi
Sebelum perjalanan terakhirnya, Abdela Mohammed telah dua kali bekerja di Arab Saudi untuk mendapatkan uang guna menghidupi keluarganya. Itulah sebabnya dia memutuskan untuk melakukan perjalanan untuk ketiga kalinya pada tahun 2018. Ia membayar penyelundup 10.000 riyal (sekitar Rp. 39,5 juta) untuk membawanya dari kota pesisir Bosaso di Somalia melintasi selat Bab-el-Mandeb ke Yaman dan kemudian ke Arab Saudi.
Para Imigran Yang Mengubah Wajah Dunia
Mereka terpaksa meninggalkan kampung halaman. Namun di tanah air baru mereka, para imigran ini mengubah wajah dunia - sebagai saintis, politisi, seniman, pengusaha atau olahragawan.
Foto: Imago/United Archives International
Albert Einstein
Tanpa dia dan teori relativitas, pandangan manusia kini tentang alam semesta akan berbeda. Saat Nazi berkuasa di Jerman, Albert Einstein yang berdarah Yahudi dan tengah berada di Amerika Serikat tak bisa kembali ke Jerman, karena nyawanya bisa terancam. Ia mengembalikan paspornya dan beremigrasi ke Amerika Serikat.
Foto: Imago/United Archives International
Marlene Dietrich
Penyanyi dan aktris Jerman Marlene Dietrich sudah terkenal di Amerika Serikat ketika ia meninggalkan Jerman pada tahun 1938. Dia tinggal di Amerika Serikat dan di Perancis. Dari kedua negara itu, ia membantu para pengungsi dan tentara sekutu. Setelah akhir Perang Dunia II di Jerman, ia dituduh telah berkhianat pada negaranya sendiri.
Foto: picture-alliance/dpa
Henry Kissinger
Dia adalah seorang profesor di Harvard University, pernah menjadi menteril luar negeri Amerika Serikat, dan pakar hubungan internasional. Pada tahun 1938, Henry Kissinger meninggalkan Bayern, Jerman, dan melarikan diri dari ancaman maut Nazi. Meskipun saat Perang Dunia II dia menjadi tentara Amerika yang memerangi bangsanya sendiri, dia mengatakan sebagian dari dirinya selalu tetap Jerman.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Schiefelbein
Madeleine Albright
Dari Cekoslovakia, dua kali Madeleine Albright dan keluarganya melarikan diri: pertama, setelah invasi Nazi pada tahun 1939, mereka mengungsi dari Praha ke London. Sempat kembali ke Praha, pada tahun 1948 mereka hijrah ke AS setelah rezim komunis di tanah air mereka mengambil alih kekuasaan. Pada tahun 1997, perempuan berdarah Yahudi ini menjadi menteri luar negeri Amerika Serikat.
Foto: Getty Images/AFP/S. Loeb
M.I.A.
Namanya Mathangi "Maya" Arulpragasam, tapi para penggemar mengenalnya sebagai MIA. Di usia kanak-kanak, dari Sri Lanka, ia melarikan diri ke India menuju ke Inggris. Dalam sebuah wawancara, ia berkata: "Pada awalnya, saya memberitahu semua orang bahwa saya berasal dari Trinidad, jadi saya tidak perlu berbicara tentang Sri Lanka dan perang. Saya tidak mengatakan bahwa saya seorang pengungsi. "
Foto: Getty Images/C. Polk
Miriam Makeba
Miriam Makeba - yang dikenal sebagai Mama Afrika berasal dari Afrika Selatan. Ia berada di sebuah acara di AS ketika pejabat negara Afsel tak mengizinkannya pulang. Lagu mereka "Pata Pata" menjadi hit di seluruh dunia pada tahun 1967. Setelah tinggal di Guinea dan Belgia, atas permintaan Nelson Mandela, pada tahun 1990, pejuang hak-hak sipil ini kembali ke Afrika Selatan.
Foto: Getty Images
Freddie Mercury
Orang tua bintang rock dengan suara khas ini melarikan diri dari gejolak revolusioner di Zanzibar ke London - bersama dengan Freddie kecil. Sisanya adalah sejarah: Mercury naik dan band-nya menjadi ikon rock. Kematiannya akibat HIV/AIDS mendorong kampanye mengatasi isu HIV.
Foto: Getty Images/Hulton Archive
Thomas Mann
Dia dianggap sebagai salah satu penulis paling penting dari abad ke-20. Nazi menyebut peraih penghargaan Nobel ini sebagai "gelombang besar kebiadaban eksentrik". Ia manjadi eksil di Swiss pada tahun 1933 dan pada tahun 1939 ke Amerika Serikat. Pada tahun 1938 ia menciptakan slogan: "Di mana saya berada, itulah Jerman. Saya membawa budaya Jerman dalam diri saya."
Foto: picture-alliance/dpa
Isabel Allende
Setelah kudeta militer berdarah di Chili pada tahun 1973, keluarga Isabel Allende melarikan diri ke Venezuela. 13 tahun kemudian dia pindah ke Amerika Serikat. Pengalaman pribadinya mengalir dalam novel "The House of Spirits". Karena pernah punya pengalaman serupa, tahun 2015 dia menyerukan agar Eropa menyambut para pengungsi.
Foto: Koen van Weel/AFP/Getty Images
Sitting Bull
Kepala suku Sioux , Tatanka Iyotake - lebih dikenal sebagai Sitting Bull - habiskan waktu selama beberapa tahun di pengasingan. 1877 - setahun setelah pertempuran Little Bighorn - ia melarikan diri bersama dengan 2.000 pengikutmya ke Kanada. Tahun 1881 ia kembali ke Amerika dan menyerahkan diri kepada pihak berwenang. Dia ditangkap dan tinggal di reservat Indian. Ia kemudian tewas terbunuh.
Foto: Imago/StockTrek Images
Neven Subotic
Seperti rekannya Vedad Ibisevic (Hertha Berlin), saat masih kecil, Subotic melarikan diri dari kampung halamannya, di Bosnia-Herzegovina. Pada tahun 2012 ia mendirikan sebuah yayasan yang menyediakan akses air minum bagi ana-anak di negara berkembang. Subotic pernah bermain untuk Borussia Dortmund dan pindah ke FC Köln. Ed: Dagmar Breitenbach, Martin Muno (ap/as)
Foto: imago/Thomas Bielefeld
11 foto1 | 11
Sebuah pertanda buruk muncul, perjalanan Abdela ketiga kalinya menjadi sebuah mimpi buruk. Empat orang tewas di kapal saat menuju Yaman karena panas, kata Abdela. Kemudian di perbatasan ke Arab Saudi, rombongan migran Ethiopia dihadang oleh penjaga.
Ketika dia akhirnya berhasil melewati perbatasan, dia mengambil pekerjaan sambilan, bekerja sebagai penggembala kambing, buruh harian dan operator buldoser. Ia menyebutkan kekerasan verbal yang diterimanya saat bekerja. "Mereka menyebut saya anjing dan keledai. Saya dihina saat bekerja." Kemudian dia ditangkap saat sedang bekerja di perkebunan mangga dan alpukat.
Kembali ke tanah air
Pemerintah Ethiopia telah mengeluarkan biaya sebesar 11 juta dolar AS (sekitar Rp. 1,63 tirilun) untuk membantu menyediakan makanan, akomodasi sementara, bantuan medis dan layanan konseling bagi mereka yang kembali.
Setelah lebih dari setahun dikurung di balik jeruji besi, Abdela mendarat di Ethiopia hanya dengan pakaian yang melekat di badannya. Dia diberi uang untuk naik bus pulang ke Alaba, sebuah kota kecil di daerah pedesaan di selatan Ethiopia.
Dia tidak punya rencana untuk kembali ke Arab Saudi lagi, kecuali mungkin untuk ibadah, kata Abdela, seorang Muslim taat.
Sementara Solomon Belete yang juga telah kembali merupakan salah satu dari mereka yang sangat membutuhkan bantuan. Dia kembali ke Ethiopia sebagai pria yang hancur dengan masalah kesehatan kronis yang timbul selama penahanannya yang lama. "Tubuh saya gemetar. Saya tidak bisa menjaga keseimbangan. Saya tidak pernah tidur nyenyak," katanya. (rs/yf)