1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Pengalaman Berpuasa di Jerman Disambut Salju

Ayu Piranthy Putri
Terbit 26 April 2022aktualisasi terakhir 30 April 2022

Di musim semi yang tiba-tiba turun salju, rasanya unik banget merasakan puasa seperti suasana musim dingin, meski berdurasi kira-kira 15 jam. Oleh Ayu Piranthy Putri.

Berbuka puasa bersama mahasiswa Indonesia di Jerman
Berbuka puasa bersama mahasiswa Indonesia di JermanFoto: Ayu Putri

Sebagai minoritas Muslim di Jerman, kehangatan di bulan Ramadan bagiku kurang terasa, selain karena puasa di Jerman lebih lama dari di Indonesia, tentu saja suasana yang biasa kita alami atau lihat di bulan puasa di Indonesia tidak akan terlihat sama seperti di Jerman. Misalnya tidak ada suara adzan dan tidak suara orang yang bangunin sahur. Sehari-harinya, orang-orang makan dan minum di sekelilingku seperti biasa, tidak tahu bahwa Ramadan sedang berlangsung, hampir semua teman di perkuliahan maupun ditempat kerja terheran-heran melihat aku tidak makan dan minum hingga matahari terbenam.

Aku ingin membagikan cerita puasa di hari pertama tahun ini, di musim semi yang tiba-tiba disambut dengan salju, kali ini rasanya unik banget merasakan puasa seperti suasana musim dingin, meski berdurasi kira-kira 15 jam. Alhamdulillahnya puasa ditahun ini bagiku lebih ringan daripada tahun sebelumnya karena jam tidur yang lebih bersahabat, dan tidak terlalu dibebani dengan rasa haus atau kepanasan seperti di musim panas beberapa tahun lalu. Yang beda, kali ini jadi cukup terasa lapar karena cuaca yang dingin!

Ayu Piranthy PutriFoto: Privat

Flashback ke beberapa tahun sebelumnya saat Ramadan di musim panas, aku merasakan panasnya terik matahari dan puasa selama 17,5 jam di Jerman. Jarak berbuka puasa dan Imsak juga cukup berdekatan. Imsak hampir pukul 4 pagi dan waktu magrib 21.30. Pada musim panas di sini memang hari lebih panjang. Orang lebih susah tidur karena silau, masih terang kalau di tempat tidur dan lebih panas dibanding musim lainnya. Kalau sudah jam 2-3 sore, mulai muncul rasa mengantuk dan haus, sedangkan aku yang masih ditengah aktivitas kuliah atau berkerja, itu cukup berat.

Selain itu, waktu selesai tarawih yang sekitar jam 11 malam dan perut masih terasa kenyang seusai berbuka puasa, aku harus lanjut tidur untuk bangun sahur dan solat subuh yang hanya berselang beberapa jam. Jika besok harus ke luar rumah di pagi hari, seperti kuliah pagi atau kerja pagi, itu berat banget. Biasanya, aku berusaha kembali tidur setelah sahur meski hanya 2 jam, kalau tidak, aku biasanya akan merasa lelah dan ngantuk seharian. Ini adalah kesulitan-kesulitan yang kualami dibulan Ramadan saat dimusim panas.

Biasanya yang aku lakukan di musim panas waktu itu supaya tidak bosan di rumah atau kepanasan di kamar, aku sengaja ngabuburit jalan-jalan di kawasan perbelanjaan yang ber-AC untuk ngadem, entah ngajak teman atau sendiri. Bisa sekalian belanja baju untuk lebaran dan belanja ke supermarket! Kalau cuaca sedang sejuk seperti tahun ini, kita bisa ngabuburit jalan-jalan di taman dan piknik di luar hingga waktu maghrib tiba.

Sebelum pandemi, biasanya organisasi mahasiswa PPI Bochum-Dortmund di mana aku tinggal menyelenggarakan buka puasa bersama. Para pengurus biasanya mempersiapkan tempat dan menu makanan di waktu ngabuburit. Kami para pelajar dihibur oleh musik, nyanyi bareng, dan main games bersama.

Mahasiswa Indonesia di Jerman ngabuburit barengFoto: Ayu Putri

Di akhir minggu, aku dan temanku juga menyempatkan datang ke masjid Turki untuk solat berjamaah dan buka puasa bersama di sana. Mereka menyediakan hidangan buka puasa dan menunya juga banyak! Dari hidangan pembuka sampai hidangan penutup. Kadang kalau mesjidnya kecil, kami para perempuan tidak diwajibkan untuk ikut solat tarawih di masjid tersebut.

Sekitar 3 atau 4 tahun belakangan ini, sebagai pelajar Indonesia yang tinggal di kawasan Ruhr, kami mendapatkan menu takjil yang dirintis oleh ibu-ibu pengajian Indonesia di Ruhr dengan sukarela setiap 1-2 kali per minggu selama bulan Ramadan. Hal ini sangat membantu para pelajar yang kangen dengan menu makanan Indonesia; seperti gorengan, es buah, rendang, nasi kuning. Yang biasanya, kalau harus masak sendiri, harganya lumayan dan membutuhkan banyak waktu untuk memasaknya. Masakan yang kubuat sendiri biasanya yang simple, seperti gorengan, pasta atau makanan beku yang hanya perlu dipanaskan.

Alhamdulillah, sekarang aku sudah mempunyai keluarga baru di sini, di mana aku tinggal bersama suami. Agar menu berbuka tidak membosankan, aku dan suami suka memasak bersama dan membuat menu makanan yang berbeda seperti menu masakan Turki, Indonesia, Asia, atau Eropa. Pada awal Ramadan, biasanya kami juga berbuka bersama dengan keluarga besar suami.

Saat ada kendala pandemi sejak 2 tahun lalu, saat bulan Ramadan ada rasa kangen karena tidak bisa berkumpul untuk berbuka bersama dengan teman pelajar Indonesia lainnya, dan juga tidak bisa datang ke masjid untuk solat tarawih berjamaah. Semua hanya dilakukan sendiri.

Bulan Ramadan itu adalah bulan mulia dalam kalender Hijriah, apapun suasananya dan di mana pun kita berada, sebisa mungkin kita harus menjalaninya dengan maksimal dan ikhlas selagi kita mampu, inshaAllah amalan baik kita diterima oleh Allah SWT.

*Ayu Piranthy Putri saat ini kuliah di FH Dortmund dan berdomisili di kota Velbert.

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan satu foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait