1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Pengalaman Saya Melahirkan Pertama Kali di Jerman

22 Maret 2019

Bahagia rasanya setelah menikah langsung dikaruniai anak. Awalnya saya bingung sekali mencari dokter kandungan, rumah sakit, dll. Prosesnya sangat berbeda dengan di Indonesia. Oleh Agnesia Vera Wijaya.

Blogfotos zu - Schwangerschaft und Geburt in Deutschland
Foto: V. Wijaya

Halo, perkenalkan nama saya Agnesia Vera Wijaya, yang biasa dikenal dengan nama Vea. Saya adalah seorang istri dari Yusuf Gandang Pamuncak sekaligus ibu baru untuk anak perempuan saya yang bernama Kayla Dunia Pamuncak. Sudah satu tahun kami menjalani hidup di Bonn, Jerman. Singkat cerita, berawal dari suami saya Yusuf yang ikut program praktikum di Deutsche Welle hingga melanjutkan studi S2 di Jerman. Kami memang masih baru menjadi pasangan suami istri, 10 hari setelah menikah saya ikut Yusuf ke Jerman.

Rasanya campur aduk seketika itu, meninggalkan orang tuaku di Jakarta karena saya adalah anak sematawayang, tetapi saya percaya akan kekuatan doa, ternyata menjalani hidup di negeri orang seru juga. Banyak hal yang saya pelajari bukan hanya dari segi bahasa, budaya, tata krama, pola dan sudut pandang yang sangat berbeda. Tetapi doa itu benar-benar baik adanya. Ternyata saya sudah mengandung, tak lama kami tinggal 2 minggu disini.

Yusuf Pamuntjak (kiri) Kayla (tengah) dan Agnesia Vera Wijaya (kanan)Foto: V. Wijaya

Bahagia sekali rasanya setelah menikah langsung dikaruniai seorang anak. Awalnya saya benar-benar bingung sekali mencari dokter kandungan, rumah sakit, dll. Bagaimana prosesnya, pasti sangat berbeda di Indonesia.

Namun ternyata sangat mudah disini. Di Jerman setiap warga wajib memiliki kartu asuransi sehingga saya hanya memberikan kartu tersebut tanpa mengocek biaya apapun lagi. Setelah membeli testpack, benar saya bergaris dua, langsung saya ke Hausarzt (dokter umum) untuk di cek darah sehingga betul saya dinyatakan hamil. Waktu itu saya ditemani oleh kerabat kerja Yusuf yang bernama Ayu Purwaningsih, karena saat itu suami saya sedang di kantor. Setelah mendapat bukti bahwa saya telah dinyatakan hamil saya langsung mencari Frauenarzt atau Gynaecologist (dokter khusus wanita).

Sepertinya sama dimana-mana ya, pada saat dihadapkan pada situasi untuk memilih dokter, biasanya cocok-cocokan. Anyhow, cari Frauenarzt di Jerman kadang susah-susah gampang, menurut suami saya "Lebih baik semua pakai ‘Termin' alias appointment atau janjian dulu." Kata beberapa teman:"Bisa langsung datang aja, dan tunggu!"

Saya sih setuju sama suami ya, kalau bikin Termin dulu, lebih enak, sudah dikasih tanggalnya, sudah dikasih jamnya juga. Tinggal datang dan paling juga nunggu 20 menitan lah. Kalau tanpa ‘Termin' hmm ya nunggu bisa sampe 2 jam-an. Ini sebenarnya pengalaman saya juga. Sebenarnya sudah ada janji, tapi saya lupa datang pada jam-nya. Ya sudah, terpaksa menunggu lama.

Awal pertama datang, kita akan diminta mengisi formulir. Lalu akan diminta kartu asuransi kita. Sepanjang pengetahuan saya, Jerman adalah negara yang ‘gila' asuransi. Artinya segala hal sepertinya serba diasuransikan.

Kita bakal dapat Muttterpass- kalau diterjemahkan secara literally atau secara kata perkata, artinya adalah Passport Ibu. Mutterpass ini berbentuk buku berisi semua informasi tentang masa kehamilan kita: Berat bedan, Hb, hasil USG, dan semacamnya. Buku ini bisa dipakai sampai dua kali kehamilan. Pada saat Termin dokter, buku ini WAJIB DIBAWA.

Foto: V. Wijaya

Sejujurnya susah sekali mencari Frauenarzt di sini karena mereka memiliki kapasitas penerimaan pasien di tiap tempat. Tetapi saya mendapatkan Frauenarzt dekat tempat kami tinggal dulu, yaitu Frauenarzt Klaus Zindikus, tidak menjadi tuntutan saya untuk mencari dokter yang laki-laki atau yang wanita, karena bagi saya sama saja. Disini juga saya bisa melihat rating dan track record Frauenarzt tersebut baik melalui situs Jameda.de, kita bisa tau bagaimana rate, penilaian tiap dokter di situs tersebut.

Beberapa kali check up semuanya tercatat di Mutterpass yang menjadi gambaran baik dan bagus, tetapi yang saya agak kaget ternyata Frauenarzt tidak menangani proses melahirkan, maka dari itu saya harus mencari rumah sakit yang dapat menjalankan proses melahirkan. Pendaftaran dimulai ketika usia kandungan saya 4 bulan. Kami memang melakukan segala persiapan sedini dan sesiap mungkin karena kami menginginkan rumah sakit yang tempatnya strategis, yaitu di St. Elisabeth Bonn. Akhirnya saya mendapatkan tempat untuk melahirkan malaikat kecil pertama kami di sana.

Tak hanya itu, di Jerman bagi ibu hamil pasca melahirkan juga wajib mencari Hebamme/bidan yang akan datang ke rumah. Ibu bidan akan datang setiap hari selama 2 bulan untuk memberikan pengarahan, penerapan dan tata cara merawat bayi yang baru lahir. Apalagi saya seorang ibu baru yang akan melahirkan di negeri orang, bagi saya semuanya benar-benar buta, tapi alhasil atas dukungan orang tua di Indonesia, suami, teman-teman, para ibu di Bonn, semua dapat di tangani. Saya banyak membaca pengalaman ibu muda yang baru melahirkan seorang anak, banyak bertanya dengan para ibu yang sudah lebih dulu melahirkan seorang anak.

Perlahan tapi pasti, seiring berjalannya waktu sembari menunggu bayi kecil kami yang berjenis kelamin perempuan tiba, saya mengisi waktu luang dengan belajar bahasa Jerman, karena saya percaya bayi sudah bisa belajar dalam kandungan. Saat itu masih musim semi, semuanya cantik dan bagi saya kehamilan pertama ini benar-benar membuat hari-hari saya terasa menyenangkan dan ajaib. Banyak momen magis dan pelajaran yang saya dapatkan. Bahagia sekali pastinya.

Foto: V. Wijaya

Kita tidak pernah tahu sebelumnya kapasitas kita sebagai calon Ibu, hingga ada naluri yang akhirnya datang dengan sendirinya. Hari semakin dekat, semakin bertambah juga jantung saya berdetak lebih kencang. Saya sangat bersyukur mendapat teman-teman yang perhatian dan saya melibatkan mereka dalam segala hal, apalagi teman-teman saya sudah lebih lama tinggal di Bonn. Saya dibuatkan acara Baby Shower, 1 bulan sebelum malaikat kecil kami lahir ke dunia. Rasanya bahagia sekali dan tak terbayangkan bagi saya akan mendapatkan gelar baru menjadi seorang ibu.

Tiba saatnya saya mulai kontraksi, perjalanan panjang dimulai ketika orang tua saya datang ke Bonn H-1 sebelum saya kontraksi. Ini udah bukaan 9, udah ngeden sekuat-kuatnya. Bayinya kenapa tidak mau keluar-keluar? Ketubannya juga belum pecah. Bidannya bilang, selaput ketubannya kuat. Kalau belum pecah sulit keluar. Kalau belum pecah juga nanti dibantu dipecahkan. Begitu katanya. Saya usaha terus pokoknya biar ketubannya pecah. Akhirnya pecah juga. Sudah pecah, bayinya tetap tidak mau nongol. Hanya ujung kepalanya yang terlihat. Bidan tetap menyemangati agar lebih kuat lagi mendorong. Tapi kayaknya saya sudah kekurangan tenaga, akibat bergadang dan sarapan hanya 2 sendok makan. Padahal harusnya saya istirahat dan cukup makan biar bertenaga. Saya pikir melahirkan itu tidak butuh tenaga yang luar biasa. Secara saya ini biasanya cukup kuat ga makan seharian.

Setelah hampir 32 jam betah banget di perut mamanya, dan dirayu supaya mau keluar tanpa pakai induksi, epidural, akhirnya tanggal 24 Juli 2018, hari kedua di rumah sakit, sudah bukaan 8 dan pukul 13.03 pagi, malaikat kecil kami yang kami namakan Kayla Dunia Pamuncak lahir ke dunia dengan normal. Tak menyangka saya dapat memeluk erat langsung dan menciumnya. Para bidan yang menangani proses sayamelahirkan semuanya sangat sabar dan baik sekali.

Dari kamar bersalin, saya langsung dipindah ke kamar pasien. Wah, sudah ada 1 ibu yang baru melahirkan juga. Jadi sekamar ada 2 kasur, 2 ibuu dengan 2 newborn. Waduh itu kalau tengah malam, satu nangis yang lain ikut nangis, sayangnya saya tidak bisa pesen kamar yang privat. Kondisinya memang lagi penuh. Tapi disyukuri saja selama 3 hari di rumah sakit. Enak nya di rumah sakit di jerman ini, kalau melahirkan cukup bawa salin untuk sendiri saja. Kalau untuk bayi, sudah ada semua, mulai darin popok sampai baju ganti.

Foto: V. Wijaya

Sesudah 3 hari di rumah sakit, dokter cek kesehatan ibu dan bayi. Semua sehat, jadi boleh pulang. Yay senangnya saya dapat menghirup udara segar. Plus bawa gembolan penghuni rumah yang baru. Sampai rumah langsung telepon Hebamme, kalau saya sudah melahirkan dan sudah di rumah.

Hebamme itu seperti bidan yang ngecek ibu dan bayi saat tiba di rumah. Sampai umur bayi 2 bulan dia akan pantau dan datang langsung ke rumah. Gratis! Jadi manfaatkanlah semaksimal mungkin. Hebamme ini harus udah dipesan dari jauh-jauh hari. Karena mereka juga punya pasien lain. Kalau penuh, ya tidak terima pasien baru.

Senangnya saya ada Hebamme, ada orang tua yang membantu saya, namun sebenarnya Hebamme bisa menjadi pengganti orang tua kalau tidak bisa datang. Hebamme ini kerjaannya ngecek kondisi ibu, jahitan pasca melahirkan, konsultan laktasi, sampe mijitin saya biar rileks. Selainn itu nimbang bayi, mengukur tinggi bayi, mandiin bayi, gantiin popok, sampai ngurus puput puser. Pokoknya saya terbantu banget sama Hebamme ini. Jangan lupa minta janji ketemu juga sama dokter kandungan untuk cek lebih lanjut. Sembari mengurus akta kelahiran anak kami.

Jerman adalah satu dari sekian negara yang memberikan kucuran dana bagi penduduk yang punya bayi. Istilahnya Elterngeld (uang bagi orang tua) dan Kindergeld (uang bagi anak). Jerman melakukannya demi memompa minat masyarakat untuk memiliki anak dan membuat wanita tak perlu khawatir meninggalkan pekerjaannya demi anak, toh tetap tercukupi secara finansial.

Jadi tepatlah sudah peribahasa "banyak anak banyak rejeki” di negara Jerman ini.

** DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait