1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pengalamanku Jadi Mahasiswa di Kota Dresden

Rina Susanti
14 Februari 2020

Pertama kali melakukan perjalanan ke luar negeri, saya ke Dresden. Hidup di Jerman selama dua tahun mengubah diri saya dalam memandang dunia sekitar. Oleh Rina Susanti.

Fotos für Blog |  "Meine Erfahrungen als Studentin in Dresden" von Rina Susanti
Foto: Privat

Tahun 2007 saya mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Jerman dengan beasiswa dari Education for Nature Program. Inilah pertama kali saya melakukan perjalanan ke luar negeri, dan langsung harus tinggal selama dua tahun di kota Dresden.

Datang dari Kota Tarakan yang di pedalaman Kalimantan Utara (tahun 2007 masih menjadi bagian Kalimantan Timur), saya langsung dibuat terkagum-kagum dengan Jerman. Selain modern, ternyata Jerman klasik juga, ciri khas negara-negara Eropa. Banyak hal yang berkesan bagi saya.

Rina SusantiFoto: Privat

Pertama, tentang pengelolaan dan perilaku masyarakat terhadap sampah. Di Jerman, saya jadi belajar agar sampah tak berbau dan mudah dikelola maka harus dilakukan pemilahan dari level rumah tangga. Sesuatu yang masih belum Indonesia terapkan sehingga sampahnya masih menumpuk tercampur-campur dan menimbulkan bau.

Sampah dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu yang dapat didaur ulang, kertas, dan sampah kompos. Sampah daur ulang tongnya berwarna kuning (Gelbe Tonne), sementara untuk sampah kertas di tong biru, dan sampah kompos di tong coklat. Untuk yang kompos, kantong plastiknya yang bening, bisa dari kresek yang bertuliskan Bio dari supermarket.

Tentang botol dengan jaminan /(Pfandflasche) dan tong sampah botol

Yang paling berkesan buat saya adalah adanya Pfandflasche. Kalau di label botol minuman ada tandanya, kita akan dikenakan tambahan biaya 25 sen untuk satu botol minuman sebagai uang jaminan. Botol-botol itu nanti dapat kita setorkan ke mesin botol yang ada di tiap supermarket, labelnya jangan dibuang karena barcode-nya akan dipindai oleh mesin untuk mengeluarkan voucher yang dapat kita gunakan berbelanja di supermarket tersebut.

Tak ada yang membuang sampah sembarangan. Begitu juga ketika berbelanja online di ebay misalnya, si penjual sering menggunakan kemasan bekas, bahkan menulis terima kasih di kertas potongan kalender. Itu bukan berarti tak sopan, mereka sangat perduli akan daur ulang.

Untuk botol kaca disediakan tempat sampah di pojokan tiap beberapa blok rumah, dipisah berdasarkan warna botol yang umum, yaitu hijau, coklat, dan gelas bening. Ada juga tong sampah untuk pakaian bekas. Entah bagaimana biaya pengelolaannya ya, apakah dari pajak pendapatan para warga di kota Dresden, atau mungkin ada porsi dari sewa asrama, tidak tahu.

Kedua, tidak ada kresek gratis. Supermarket dan toko-toko, bahkan restoran, tidak menyediakan kantong belanja gratis, tapi harus membeli. Semua orang cenderung membawa kantong belanja sendiri, atau menggunakan kardus bekas kemasan yang ada di supermarket. Proses membayar di kasir ya juga sangat cepat dan kita harus siap-siap di ujung meja kasir, karena kita sendiri yang memasukkan barang belanja kita. Makanan sayur dan buah tak dibungkus plastik, ada disediakan kantong plastik khusus untuk bahan makanan yang disebut Bio ini.

Pendidikan dan sains diutamakan

Ketiga, di Dresden juga saya jadi sadar mengapa Jerman negara maju, ya karena pendidikannya diutamakan. Di Jerman tidak dikenakan SPP bagi mahasiswa universitas negeri. Jadi setiap semester, memang kita diharuskan membayar untuk administrasi dan tiket transportasi dalam kota ke mana saja. Kalau tidak salah dulu itu saya membayar 108 euro untuk satu semester, dan ketika saya lulus di pertengahan semester, maka saya cukup melapor ke kampus, dan sejumlah biaya transportasi akan dikembalikan. Selain itu, pihak universitas bekerja sama dengan negara bagian Sachsen, membangun dan mengelola perpustakaan, yang sistem pelayanan, arsitektur bangunan, tata letak, dan kenyamanannya belum lagi saya temukan di tempat lain.

Nama perpustakaannya SLUB. Jam bukanya gila dari pagi jam 8 sampai jam 12 malam. Saya dan teman sering belajar di perpustakaan hingga hampir tutup, meski tak pernah sampai persis tepat jam 12 malam, karena bus kami paling akhir adalah jam 11:45 malam. Saking seringnya, sampai bapak pengendara bus sepertinya mengenal kami, dengan kami disenyumi ketika masuk bus dari pintu depan untuk memperlihatkan kartu mahasiswa kami. SLUB juga buka hari minggu, meski jam bukanya lebih pendek yaitu jam 10 pagi hingga jam 6 sore. Saat hari minggu tak ada petugas bagian peminjaman dan pengembalian, jadi untuk itu kita dapat menggunakan mesin yang ada di dekat pintu keluar perpustakaan. Menyenangkan dan nyaman sekali perpustakaannya. Internet dapat kami gunakan sepuasnya, tetapi jika telah menjadi anggota.

Kalau di asrama, internet kami diberikan kuota yaitu 5 GB untuk satu minggu, dan kami akan dihentikan sementara ketika melebihi kuota. Jadilah kami harus selalu mengecek agar tak sampai habis kuota. Dengan jaringan internet di perpustakaan dan asrama, kami dapat mengakses jurnal, tetapi di perpustakaan kami dapat menonton film juga.. ehehe.

Itu ya mengapa Jerman negaranya maju, karena sangat mendukung pendidikan dan sains.

Masa itu, smartphone belum secanggih sekarang dan wifi sangat jarang. Internet hanya dapat diakses melalui komputer, atau dengan pulsa handphone. Jadilah masa itu orang-orang atau mahasiswa kalau di kereta atau tram atau bus atau ketika di ruang tunggu, mereka membaca buku. Suasana yang jauh berbeda dengan saat ini ya.

Foto bersama teman sekelas di Dresden Hauptbahnhof (stasiun utama) tahun 2009Foto: Privat

Entah apa sekarang di Dresden masih banyak yang membaca ketika berada di kendaraan umum, seperti dulu. O iya, di kendaraan umum juga saya belajar bahwa kita harus meletakkan tas punggung kita di bawah bagian kaki, agar bus dapat mengangkut para penumpang. Hal ini terutama di pagi hari, ketika aktivitas dimulai. Meski berdesakan, saya tak pernah takut copet atau ada yang akan melecehkan. Yang membuat kurang nyaman ya kadang ada yang tidak sadar kalau dia tak sempat mandi.. ehehe.

Banyak kegiatan budaya

Keempat, Dresden juga terkenal dengan museum dan kastil. Saya kaget sekali dengan berita Green Vault Dresden dirampok baru-baru ini dan koleksi pentingnya hilang. Pelajar pasti mendapatkan potongan yang lumayan untuk tiket museum. Kastil dan istananya, semua terawat dengan baik meski hampir semua tak mengenakan biaya masuk. Favorit saya yang dekat-dekat saja, Zwinger dan Grosser Garten.

Tak lupa setiap tahun ada Museumsnacht Dresden. Orang bisa jalan-jalan ke seluruh museum dari jam 6 sore hingga jam 1 pagi, yang tiketnya biasanya setara dengan sekali kunjungan ke satu museum. Bahkan sudah termasuk tiket kendaraan umum.

Saya jadi ingat juga kegiatan yang sepanjang malam di kampus: Lange Nacht der Wissenschaft, alias malam panjang sains. Jadi menampilkan projek-projek sains mahasiswa TU Dresden dan lainnya. Yang ini gratis.

Kelima, saya suka sekali roti Jerman yang banyak macamnya. Untuk kue, Pflaumenkuchen sungguh membuat kangen. Ada di dekat asrama saya, mobil toko kue yang menjual Pflaumenkuchen seharga satu euro. Ketika kita membeli kuenya, kemudian dibungkus kertas biasa saja dan penjual tak menyediakan kresek. Orang Jerman sudah menyadari kantong plastik tak baik.

Keenam, di Dresden selain pelajar ada banyak orang Indonesia yang bekerja atau menikah dengan orang Jerman, yang kemudian membentuk wadah perkumpulan orang Indonesia yang diberi nama Formid. Kegiatannya pertemuan setiap bulan, membahas hal-hal penting apa saja. Sewaktu sekolah di sana, saya terlibat dalam acara Temu Budaya Internasional Dresden. Tim Formid menampilkan Tari Likok Pulo dan memenangkan penghargaan tertinggi sehingga kami diundang di Interkulturelle Tage di Rathaus atau Balaikota Dresden. Pernah juga diundang di peringatan ulang tahun Raden Saleh, seniman Indonesia yang pernah tinggal di Dresden dan karyanya dipuji dunia. Pernah juga dilaksanakan Malam Indonesia, jadilah kami berlatih menari dan memainkan angklung. Akhirnya saya jadi seniman juga. Senang sekali.

Berfoto di depan balai kota (Rathaus) Dresden setelah acara temu budayaFoto: Privat

Ketujuh, kampus saya di Tharandt, sementara saya tinggal di Dresden, dekat dengan Dresden Hauptbahnhof dan kampus utama TU Dresden. Jadi hampir setiap hari saya bolak-balik dengan kereta reghional RB atau RE sekitar 15-30 menit. Berjalan kaki ke stasiun sekitar 10 menit kalau agak santai, tetapi lima menit juga bisa kalau karena mengejar jadwal kereta.

Pernah saya akan menemani seorang teman menuju Kedubes Costa Rica di Berlin. Saya terbangun ketika ia mengetuk pintu kamar saya, dan seketika saya terkejut karena waktu tinggal 15 menit dari jadwal perjalanan kami. Tiket sudah kami beli. Lah kok dia juga salah lihat jadwal, ia pikir masih sejam lagi. Akhirnya tanpa berdandan, hanya sempat menyikat gigi dan mencuci muka kilat, langsung saya sambar jaket, dan kami lari blingsatan ke stasiun. Akhirnya kami bisa mengejar kereta kami, rasanya jantung mau copot akibat berlari bak Usain Bolt.

Pulangnya kami sudah pesan Mitfahrgelegenheit, alias numpang kendaraan orang yang tujuannya sama. Websitenya ada, jadi kita tinggal mencari tujuan dan waktu yang pas dengan jadwal kita, harganya juga sudah tertera jelas. Pengemudi dan pemilik kendaraan tertera jelas. Jadi tak perlu takut. Jadi jam berapa perjalanan balik dan di mana titik pertemuan juga sudah dijelaskan di website. Kita tinggal membayar ketika sudah tiba di tujuan.

Asrama mahasiswa yang murah meriah

Kedelapan, menjadi pelajar di Dresden, saya akhirnya tahu kalau semacam kotak besi yang menempel di dinding yang sering saya lihat di film-film dan membuat penasaran itu ternyata pemanas ruangan. Karena saya tinggal di asrama alias Studentenwohnheim, saya tak perlu lagi pusing dengan tagihan pemanas ruangan. Jadilah kamar saya hangat ketika musim dingin. Sementara teman saya yang tinggal di apartemen pribadi karena membawa keluarganya sering sengaja mematikan pemanas, karena biaya tagihan pemanas bisa membengkak dan mahal.

Sebenarnya asrama juga ada yang tipe untuk keluarga, tetapi jumlahnya sedikit dan jarang kosong. O iya saya tinggal di Fritz-Loeffler-Strasse 16. Asramanya tipe satu lantai ada 26 kamar, dengan dapur dan kamar mandi umum. Ada petugas kebersihan yang membersihkan dapur dan kamar mandi dan WC. Meski kertas toilet kami harus menyiapkan sendiri.

Ketika kamar mandi direnovasi, ada rencana boks mandi akan diganti pintunya menjadi berwarna bening. Sebelumnya pintunya di setengah bagian ada berwarna putihnya, jadi tak seluruh tubuh kita terlihat. Nah, sebelum dipasang yang baru, segera saya temui bapak Hausmeister atau manajer asrama. Dengan bahasa Jerman saya yang patah-patah, saya minta tolong jangan diganti. Akhirnya tidak diganti. Menulis blog ini, menjadikan saya melihat lagi situs asrama, wah sudah direnovasi berwarna cerah sekarang.

Di asrama juga ada aturan tak diperbolehkan merokok selain di spot yang disediakan, biasanya di balkon luar pada tiap lantai biasanya. Bahkan di kampus tidak pernah saya lihat ada yang merokok. Gedung nomor 16 merupakan asrama mahasiswa sejak lama. Suatu kali ketika saya di kamar, kamar saya diketuk, ternyata ada serombongan ibu-ibu yang ingin bernostalgia melihat asrama ketika kuliah di TU Dresden. Ia memutuskan mengetuk pintu kamar saya karena dulu ia tinggal di kamar itu. Ia kaget karena saya hanya sendiri, sementara dulu ia tinggal berempat di kamar itu.

Hidup selama dua tahun di Jerman, saya tak hanya belajar secara akademik, tetapi juga tentang pengelolaan kota. Hidup di Jerman mengubah diri saya dalam memandang sekitar saya.

* Rina Susanti berasal dari Tarakan dan bekerja sebagai PNS Pemprov Kalimantan Utara. Saat ini sedang melanjutkan lagi kuliah di Keio University, Jepang.

** DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.