1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pengamat: Amandemen Kelima, Jalan Masuk Pilpres 2024

Rizki Akbar Putra
9 Oktober 2019

MPR tengah mengkaji wacana amandemen UUD 1945 dan menghidupkan kembali GBHN. Apa tujuan dari rencana ini? Simak wawancara DW Indonesia dengan pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti.

Symbolbild Gericht Gesetz Waage und Hammer
Foto: Fotolia/Sebastian Duda

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan keputusan terkait wacana amandemen UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tidak akan dilakukan dalam waktu dekat. Setidaknya amandemen baru akan dilakukan di tahun ketiga masa jabatan MPR RI 2019-2024 setelah menyerap hasil amandemen 1945. Selain menghidupkan kembali GBHN, wacana seperti mengembalikan wewenang MPR untuk memilih presiden serta penambahan masa jabatan presiden RI mengemuka. Apa tujuan dari rencana amandemen kelima ini? Mengapa amandemen terakhir di tahun 2002 dirasa belum cukup menjamin kehidupan bernegara? Wawancara Deutsche Welle (DW) Indonesia dengan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti.

Deutsche Welle: MPR tengah mempertimbangkan wacana mengamandemen UUD 1945  terkait menghidupkan kembali GBHN. Apakah amandemen 2002 dirasa belum cukup menjamin kehidupan bernegara?

Bivitri Susanti: Kalau saya melihat amandemen 1999-2002 itu sudah baik, kalau pun ada kelemahan, semua negara di dunia termasuk di Jerman juga ada kelemahannya. Tidak semua hal bisa dan perlu diatur dalam konstitusi. Ada hal-hal yang memang masih dilihat sebagai kelemahan dalam demokrasi, bisa diatur dalam Undang-Undang atau kebijakan lainnya. Yang penting konstitusi pada dasarnya seperti kontrak sosial kita waktu kita ingin reformasi. Hasil amandemen 2002 itu sudah cukup menurut saya bagi demokrasi, ada Mahkamah Konstitusi, presiden dipilih langsung. Saya melihat sebenarnya justru karena kita sudah mulai demokratis dalam semua aspek, kemudian elit politik partai melihat pengaruh mereka berkurang. Terus ada konsolidasi demokrasi dalam arti negatif. Orang seperti Jokowi yang bukan siapa-siapa di partai bisa jadi presiden, oligarki partai dalam tanda kutip kalah. Kelihatannya mereka mau ambil lagi nih, salah satunya dengan cara presiden dipilih lagi oleh MPR bukan rakyat.

Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara.Foto: privat

Wacana amandemen ini juga memunculkan isi penambahan masa jabatan presiden, bagaimana tanggapan Anda mengenai ini?

Saya melihat kaitannya pada Pilpres 2024. Jangan lupa ada kader-kader partai politik yang merupakan anak-anak ketua partai politik ingin bertarung tapi mungkin dia tidak populer, dan diduga dia akan kalah. Jadi cara untuk memenangkan orang-orang itu, nanti heboh nih Jokowi dengan konstitusi sekarang tidak bisa dipilih lagi, nanti pertarungannya bebas, mulai dari Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan lainnya akan sengit nanti. Karena sistemnya sekarang popular vote maka yang terbanyak lah yang akan menang. Orang-orang yang tidak populer itu bertanding saya kira akan kalah. Satu-satunya cara untuk memajukan mereka adalah mengambil lagi wewenang yang tadi dikasih ke rakyat jadi ke MPR lagi.

Baca juga: LIPI: Politik Dinasti di Indonesia Kian Subur

Banyak pihak menilai ini akan mengembalikan kondisi negara ke zaman orde baru…

Kalau buat saya GBHN jalan masuk untuk amandemen-amandemen selanjutnya, termasuk pilpres nanti lewat MPR lagi. Skenario yang saya duga, dibuat seakan-akan harmless, ‘cuma soal GBHN kok bukan yang lain' tapi sekali kita buka kotak pandoranya, konsekuensi lanjutannya dari GBHN apa? MPR lembaga tertinggi. Konsekuensi lanjutannya apa? Presiden dipilih oleh MPR, dan seterusnya. Akhirnya hak rakyat yang didapat lenyap oleh amandemen. Buat saya seperti kotak Pandora, sekali dibuka semua masuk.

MPR berdalih Pasal 37 UUD 1945 menjadi landasan melakukan amandemen, sehingga pembahasan tidak akan melebar kemana-mana. Bagaimana sebenarnya mekanisme amandemen tersebut?

Memang betul ada pasal 37 tapi yang saya katakan tadi, persis seperti zaman amandemen 1999-2002 tapi dalam artian negatif. Tahun 1999 mulai amandemen pertama, 'apa ya yang kita sepakati selanjutnya?' 2000 amandemen lagi, 2001 amandemen lagi, 2002 amandemen lagi. Saya lihat skenarionya seperti itu. GBHN ya hanya GBHN tidak bisa diapa-apain lagi. Tapi nanti disepakati 'tahun depan lagi ya'. Kalau lihat keputusan MPR periode lalu, ada beberapa isu yang mau mereka angkat lagi. Saya kira arahnya mau merombak total tapi pakai isu GBHN sebagai batu loncatan.

Walau amandemen dapat dilakukan dengan syarat keterlibatan masyarakat…

Mereka mengunjungi kampus-kampus memang betul, namun pilih-pilih. Saya dulu pernah diundang waktu awal-awal, tapi ketika saya bilang tidak setuju saya tidak pernah diajak lagi. Partisipasi masyarakat yang seperti apa? Yang saya khawatirkan, dan ini memang harus dilawan, ketika keputusan amandemen terjadi tidak ada yang bisa cegah loh. Tidak seperti RUU KUHP kemarin oleh DPR, masuk lewat presiden dan disetujui oleh presiden. Begitu partai sepakat kita tidak bisa intervensi lagi. Ini jadi alarm tanda bahaya bagi Indonesia.

Berkaca pada kejadian sebelumnya, mungkin kah amandemen ini diputuskan secara tiba-tiba dalam diam?

Mungkin banget, itu yang kita ngeri. Ketika muncul isu GBHN ini kita tidak ada yang tahu. Cuma beberapa segelintir yang mengikuti. Saya khawatir kalau ini tidak kita besar-besarkan tahu-tahu mereka muncul dengan ide amandemen ini sukses. Di putusan MPR yang baru mereka mengamanahkan, begitu MPR setuju, kita tidak punya mekanisme karena pasal 37 UUD mekanisme pusatnya adalah MPR. Tidak ada mekanisme rakyat atau presiden untuk mencegah, tidak bisa. 

Jika benar terjadi, apa ini tanda kemunduran dalam berdemokrasi?

Kalau GBHN saja ya tidak apa-apa, tapi tidak ada faedahnya. Dengan sistem presidensil kalau mau dibandingkan dengan di Jerman, Amerika, tidak perlu haluan negara. Saya lihat ini sebagai batu loncatan untuk amandemen-amandemen berikutnya. Kalau itu sampai terjadi maka ini awal dari kemunduran demokrasi Indonesia. Saya kira bukan Indonesia gagal memahami konsep demokrasi tapi elit politik dan oligarki politik kita tidak mau pengaruhnya diambil oleh rakyat. Sementara demokrasi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.

Apa yang bisa masyarakat lakukan saat ini?

Saya kira gaungkan terus, out of the blue dari elit partai. Rakyat tidak pernah bicara soal amandemen tapi mereka, kita tidak pernah bicarakan GBHN. Tapi mereka bilang harus amandemen, tidak bisa seperti itu. Amandemen 2002 itu memang aspirasi kita, 1998 saya masih ingat sekali karena waktu itu saya aktivis, amandemen merupakan permintaan mahasiswa. Kita harus terus gaungkan, ini adalah aspirasi elit politik, bukan kita, dan partai-partai harus mencegah karena presiden sesuai hukum tata negara tidak bisa mencegah jika itu terjadi. (rap/vlz)

Bivitri Susanti adalah pakar hukum tata Negara. Tahun 1998, ia mendirikan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Selain itu Bivitri merupakan pendiri Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.

Wawancara dilakukan oleh Rizki Akbar Putra dan telah diedit sesuai konteks.