1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konsep Perang Rakyat Semesta Prabowo Bukan Wajib Militer

12 November 2019

'Perang Rakyat Semesta' yang dipaparkan Prabowo dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR RI marak diperbincangkan. Pengamat militer menilai hal itu adalah sistem yang diamanatkan konstitusi bukan bicara wajib militer.

Indonesien Präsidentschaftskandidat  Prabowo Subianto
Foto: Getty Images/R. Gacad

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Komisi I DPR RI menggelar rapat kerja perdana di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (11/11). Di hadapan anggota Komisi I dari berbagai fraksi, Prabowo memaparkan arah kebijakan umum Kementerian Pertahanan yang akan ia pimpin selama lima tahun ke depan.

Dalam paparannya, Prabowo menyisipkan berbagai macam filosofi yang kerap ia sebut menjadi dasar pemikiran dalam merumuskan kebijakannya di bidang pertahanan. Salah satunya adalah konsep pertahanan rakyat semesta yang kemudian marak diperbincangkan.

Prabowo menyampaikan bahwa konsep pertahanan yang berlaku di Indonesia didasarkan pada konsep ‘pertahanan rakyat semesta’ yang ia sebut sebagai sebuah doktrin yang lahir dari sejarah bangsa. Menurutnya, jika negara terpaksa terlibat dalam perang, maka perang yang dilakukan adalah ‘perang rakyat semesta’ atau the concept of the total people’s war.

“Itu adalah doktrin Indonesia selama ini, lahir dari sejarah kita bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut bela negara,” ujar Prabowo di hadapan anggota Komisi I DPR RI yang membawahi bidang Pertahanan, Luar Negeri, Komunikasi dan Informatika dan Intelijen.

“Mungkin prasarana kita bisa dihancurkan tapi saya yakin Indonesia tidak mungkin diduduki oleh bangsa lain karena seluruh rakyat akan menjadi komponen pertahanan negara,” tambah Prabowo.

‘Perang rakyat semesta’ bukan wajib militer

Khairul Fahmi, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), menyebutkan bahwa konsep perang rakyat semesta yang dijelaskan Prabowo merupakan fasilitas yang muncul dari amanat konstitusi soal hak dan kewajiban warga negara dalam usaha membela negara. Fasilitas hak dan kewajiban tersebut menurutnya diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara.

Khairul mencontohkan, di masa Orde Baru sistem itu dinamai Sishankamrata atau sistem pertahanan keamanan rakyat semesta. “Sebenarnya itu yang disampaikan (Prabowo) tapi karena yang disebutkan itu perang rakyat semesta ya menjadi heboh padahal itu adalah sebuah sistem. Perang itu adalah bagian dari apa yang disiapkan oleh sistem itu,” ujar Khairul saat dihubungi DW Indonesia.

Lebih jauh Khairul menjelaskan bahwa bela negara di Indonesia bersifat sukarela dan belum ada payung hukum yang mengatur wajib militer. “UU PSDN tidak mengatur soal itu (wajib militer), UU PSDN mengatur soal bagaimana menyiapkan peran serta dan pelibatan masyarakat dalam sejumlah komponen pertahanan,” jelas Khairul.

Minim pemetaan ancaman

Khairul menilai paparan Prabowo di Komisi I DPR RI itu masih terlalu ‘mengawang-awang’ dan ‘abstrak’ karena minimnya pemetaan ancaman. Menurutnya, rapat kerja di DPR seharusnya tidak lagi bicara visi misi namun fokus kepada program kerja untuk menyiapkan pertahanan negara.

Sebagai contoh, ia menilai sistem pertahanan rakyat semesta yang disampaikan Prabowo bukan sebuah gagasan baru, melainkan sudah menjadi sistem yang memiliki landasan regulasi sehingga tinggal diimplementasikan. “Yang dibutuhkan justru jabaran teknisnya,” kata Khairul.

Menurut Khairul, hal mendasar yang mesti dijelaskan Prabowo adalah terkait pemetaan ancaman pertahanan Indonesia. “Ancaman kita siapa sih? Musuh kita siapa? Kita ngomong perang, mau perang lawan siapa?” ujar Khairul.

“Kalau kita belum punya rumusan ancaman seperti apa, musuhnya siapa, bagaimana kita tahu bahwa anggaran belanja kita tepat sasaran atau tidak?” tambah Khairul.

Terkait debat soal pemaparan anggaran dilakukan terbuka atau tidak, Khairul mengatakan bahwa dalam hal ini Prabowo mestinya tidak mendikte Komisi I DPR RI. Pemaparan anggaran menurutnya bukan sekadar bicara angka dan belanja namun harus lebih dilakukan pada masalah penyiapan pertahanan negara. 

"Kalau itu (rapat) dilakukan tertutup kita ga bisa bilang belanja APBN sepenuhnya transparan, ada yang ditutup-tutupi di situ," ujar Khairul.

"Sebenarnya tidak masalah rapat-rapat itu sebagian dibuka saja toh kita belum bicara angka-angka yang sangat detail," tambahnya. (gtp/ae)