1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Waspada Potensi Konflik Sosial Pemindahan Ibu Kota

Rizki Akbar Putra
1 Agustus 2019

Masyarakat adat sambut baik sekaligus cemas rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan. Pemetaan wilayah adat harus dilakukan untuk memberi kepastian hukum di daerah yang masih didominasi wilayah adat ini.

Planung der neuen Hauptstadt Indonesiens
Foto: Biro Pers Sekretariat President

Bulan Agustus 2019 menjadi waktu yang dinanti banyak pihak, terutama masyarakat adat yang tinggal di tanah Borneo. Musababnya, bulan ini adalah waktu bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengumumkan secara resmi lokasi baru ibu kota republik ini.

Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan pun ramai diberitakan menjadi calon kuat ibu kota baru Indonesia.

Seperti diketahui, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menargetkan pemindahan ibu kota untuk dilaksanakan pada 2024. Namun hingga saat ini kajian mengenai lokasi persis ibu kota baru Indonesia masih belum selesai. Menanggapi hal itu Presiden Jokowi mengatakan semua detail termasuk diantaranya kajian mengenai potensi kebencanaan, perairan dan tata ekonomi harus terlebih dulu dirampungkan.

Pengakuan tanah milik adat

Wakil Ketua Dewan Nasional Aliansi Mayarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan, mengatakan masyarakat adat di Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah menyambut baik sekaligus cemas terkait rencana pemindahan ibu kota.

Kekhawatiran dari masyarakat adat, ujar Abdon, muncul bukan karena menolak perpindahan ibu kota secara umum. Namun apabila ibu kota baru itu nantinya terdapat di wilayah-wilayah adat.

"Kalau (pemindahan ini) tidak dilakukan dengan benar, mereka (masyarakat adat) sudah bisa dipastikan akan tersingkir,” jelas Abdon saat diwawancarai DW Indonesia, Kamis (01/08) melalui telepon di Jakarta.

Menurut Abdon, hingga kini belum ada komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat adat setempat terkait rencana pemindahan ini. Padahal menurutnya, komunikasi sangat lah perlu guna memberikan kepastian terhadap status tanah masyarakat adat di sana.

“Justru belum, itu yang bikin resah. Sekarang ini tiga provinsi ‘kan berlomba-lomba mengusulkan. ‘Kami sudah menyiapkan 300 ribu hektare, kita sudah menyiapkan 80 ribu hektare.’ Tapi kalau kita cek di lapangan, gubernur-gubernur ini belum melakukan pemetaan sosial, lahan-lahan yang mereka usulkan ke Jakarta, ke presiden, sebenarnya lahan yang sudah clean and clear atau sebenarnya lahan bermasalah?” terang Abdon.

Masyarakat adat di sana berharap adanya kejelasan terkait wilayah-wilayah adat yang merupakan hak mereka dan mendesak pemerintah untuk menerbitkan peraturan daerah sebagai bukti legalitas pengakuan masyarakat adat di Kalimantan. Perda tersebut diharapkan bisa memproteksi mereka dari hal-hal yang tidak diinginkan, salah satunya yakni masalah sengketa lahan.

Harapan sempat muncul ketika Mahakamah Konstitusi mengeluarkan Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang menyatakan hutan adat bukan lagi masuk kategori hutan negara, melainkan hutan milik masyarakat adat. Namun hingga kini putusan tersebut belum terealisasi maksimal sehingga masyarakat adat kerap tersisihkan.

Masyarakat adat di Kalimantan berharap adanya kejelasan terkait wilayah-wilayah adat jika ibu kota negara pindah ke sana.Foto: picture-alliance/NurPhoto/Pradita Utama

“Basis konstitusional yang sangat kuat itu yang mestinya ini dibereskan dulu. Itu sesungguhnya adalah (tanah) hak masyarakat adat tapi oleh Soeharto dulu ditunjuk saja menjadi hutan negara. Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hak konstitusional,” tegas Abdon.

Waspadai potensi konflik horizontal

Kepada DW Indonesia, penerima penghargaan di bidang kemanusiaan Ramon Magsaysay Award 2017 ini menjelaskan bahwa adaptasi kultur, sosial, budaya tidak akan menjadi tantangan serius selama interaksi dan pemahaman satu sama lain dapat dibangun dengan baik 

“Tapi selama berinteraksi puluhan tahun sejak Indonesia merdeka mereka (masyarakat adat) selalu kalah dengan orang luar, mereka tidak punya kedudukan hukum yang kuat. Tanah-tanah mereka dianggap tidak jelas legalitasnya. Bukan interaksinya yang mereka khawatirkan, yang mereka khawatirkan adalah sekarang saja tanah mereka dengan mudah diambil pihak luar dengan menggunakan aturan-aturan negara, apalagi kalau jadi ibu kota,” katanya.

Jika nantinya lokasi ibu kota baru telah ditetapkan, Abdon pun meminta komitmen pemerintah untuk membereskan dan memetakan segala urusan hak masyarakat adat di lokasi tersebut secara hukum. Pemerintah dan masyarakat adat bisa duduk bersama untuk membicarakan masalah tersebut. 

Dihubungi secara terpisah, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Riant Nugroho, merekomendasikan agar pemerintah menghadirkan solusi yang saling menguntungkan terhadap masyarakat yang wilayahnya kelak menjadi lokasi ibu kota baru.

“Kalau itu hutan masyarakat maka tugas pemerintah membangun hutan itu dan pemerintah menyewa ke masyarakat selama 50 tahun hingga 100 tahun. Dengan uang itu pemerintah bisa bantu mereka untuk membuka lahan-lahan baru,” ujar Riant.

Riant berpendapat kesiapan strategi pemindahan ibu kota perlu dipikirkan secara matang. Jakarta sebagai kota yang ditinggalkan harus tetap aktif dan Kalimantan sebagai lokasi yang dituju harus mampu menampung arus transmigrasi yang datang.

“Lahan harus siap karena ini bukan masalah pindah rumah, bedol ibu kota negara. Strategi pemindahan satu juta ASN di pusat dan seluruh keluarganya pindah ke sana bagaimana? Karena itu ibu kota baru disarankan dan direkomendasikan tidak jadi ibu kota komersial. Tapi betul-betul ibu kota sebagai administrasi negara,” terang Riant kepada DW Indonesia.

Ia pun tidak menampik akan banyak pendatang baru yang masuk ke Kalimantan. Kekhawatiran akan munculnya konflik horizontal pun mengemuka. Namun ia yakin persiapan sumber daya manusia yang baik dapat menghindarkan konflik antara masyarakat setempat dengan para pendatang baru.

“Jadi yang pertama diterjunkan jangan insinyur. Yang dikirim pertama adalah ahli antropologi, ahli arkeologi, ahli budaya, ahli sosilogi, ahli psikologi. Ke sana untuk membuat cita bersama kultur Indonesia di sana, itu yang penting. Jangan main proyek-proyek terus, itu salah,” pungkas Riant.

ae