1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hukuman Mati di Indonesia

ap/as11 Juli 2016

Berbagai topik dari tanah air kami hadirkan dalam #DWNesia kali ini di antaranya tentang eksekusi mati narapidana, penyanderaan anak buah kapal dan sejarah jilbab.

Symbolbild Todesstrafe Galgen
Foto: picture-alliance/dpa

Salam #DWNesia

Dalam waktu dekat, pemerintahan Joko Widodo bakal melaksanakan eksekusi hukuman mati terhadap sejumlah terpidana mati. Topik ini menjadi ulasan utama dalam rubrik #DWNesia pekan ini.

Padahal baru-baru ini digelar Konggres Sedunia Menentang Hukuman Mati di kota Oslo, Norwegia. Pertemuan rutin setiap 3 tahun ini bertujuan untuk memperkuat solidaritas gerakan abolisi hukuman mati sembari mendorong komitmen negara untuk menghapus tindakan barbar dan tidak manusiawi tersebut dari tata hukum.

Kongres yang berlangsung selama dua hari tersebut sebenarnya dapat dijadikan ruang pembelajaran dari banyak pengambil kebijakan, termasuk Pemerintah Indonesia. Namun sayang, undangan dari pihak penyelenggara acara Ensemble contre la peine de mor atau Bersatu Menentang Hukuman Mati (ECPM) dan World Coalition Against the Death Penalty itu tak dihadiri pemerintah. Dalam ulasannya, Puri Kencan Putri mengharapkan niat pemerintah untuk mengabolisi hukuman mati.

Masalah lain yang dihadapi Indonesia adalah maraknya kasus penyanderaan anak buah kapal Indonesia. Warga negara berulang kali menjadi korban penyanderaan kelompok Abu Sayyaf, dengan dugaan motif utama penyanderaan ini adalah untuk mendapatkan uang tebusan. Baru-baru ini, anak buah kapal Indonesia lagi-lagi menjadi sasaran penyanderaan oleh kelompok bersenjata itu. Tiga anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia diculik dari kapal mereka di perairan Sabah, Malaysia, Sabtu malam (09/07). Penyanderaan ini adalah yang kelima kalinya terjadi dalam tiga bulan terakhir.

Ini ironis, mengingat pemerintahan Joko Widodo sedang bergiat mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Nasib ABK Indonesia yang berlayar dengan kapal asing dan di lautan asing juga tak kalah rentannya. Global Slavery Index tahun 2014 dan 2016 menyebutkan bahwa pekerja Indonesia di sektor kelautan termasuk pekerja yang sangat rentan menjadi korban perbudakan. Bagaimana menghentikan kasus-kasus ynag menimpa para ABK ini? Ikuti opini pegiat buruh mingran, Wahyu Susilo.

Sebuah ulasan tentang sejarah jilbab dalam Anda simak dalam tulisan aktivis Muslim, Nong Darol Mahmada, berjudul: Jilbab, Kewajiban atau Bukan?

Tidak kalah menarik, ulasan Anette Keller yang menulis tentang nasib para musisi kiri yang menjadi korban ekses kekerasan saat mantan Presiden Suharto merebut kekuasaan dan memerintahkan pembasmian komunis.

Kami tunggu opini Anda di Facebook DW_Indonesia dan twitter @dw_indonesia.Seperti biasa, sertakan tagar #DWNesia dalam mengajukan pendapatmu. Salam #DWNesia