20 tahun sudah berlalu peristiwa penyerbuan markas DPP Partai Demokrasi Indonesia. Peringatan peristiwa yang dikenal dengan sebutan Peristiwa Kudatuli itu kami hadirkan dalam #DWnesia kali ini.
Iklan
Salam #DWnesia,
Masihkah Anda ingat Kerusuhan 27 Juli atau Kudatuli atau Peristiwa Sabtu Kelabu? Saat itu terjadi huru-hara di kantor DPP partai Demokrasi Indonesia (PDI). Massa pendukung tokoh PDI Soerjadi beserta aparat polisi dan militer berusaha menguasai kantor di jalan Diponegoro Jakarta tersebut, yang diduduki oleh massa Megawati Soekarnoputri. Peristiawa itu kemudian meluas ke beberapa kawasan ibukota.
Pemerintah Orde baru ketika itu menuding para aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai biang kerok kerusuhan. Beberapa di antaranya ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Sebuah analisa menarik mengenai peristiawa 27 Juli kami hadirkan dalam #DWnesia kali ini lewat opini yang ditulis Aris Santoso berjudul : Setengah Hati Peringati 27 Juli. Dalam analisanya, Aris melihat keterkaitan antara peristiwa tersebut dengan konflik internal militer. Di luar itu, Aris memandang, sampai sekarang pihak PDIP seolah ingin melupakan peristiwa tersebut. Padahal peristiwa itu merupakan modalitas awal bagi PDIP dalam meraih kejayaannya saat ini.
#DWnesia kali ini juga menyoroti fenomena global perlakuan masyarakat dimana-mana terhadap kaum pendatang. Di antaranya di Inggris. Referendum Brexit menuut esais geger Riyanto, memberikan rasisme sebuah momentum baru. Mereka yang gerah dengan pendatang merasa bahwa pihaknya adalah mayoritas dan, karenanya, punya hak meluahkan kebenciannya. Namun Geger Riyanto melihat fenomena yang tak jauh beda juga terjadi di tanah air. Simak dalam opininya berjudul: Mengapa Kita Gemar Mengambinghitamkan Pendatang?
Sebagai penutup kami hadirkan sebuah opini tentang pernikahan dalam usia anak di Indonesia. Anda dapat menyimaknya dalam ulasan yang ditulis Tunggal Pawestri berjudul: Mungkinkah Menghentikan Pernikahan Anak?
Anda setuju dengan opini para penulis? Selamat berdiskusi, Sahabat DW…
Kami tunggu opini Anda di Facebook DW_Indonesia dan twitter @dw_indonesia.Seperti biasa, sertakan tagar #DWNesia dalam mengajukan pendapatmu. Salam #DWNesia
Kembalikan Wiji Thukul
Hingga kini ia tak diketahui rimbanya. Wiji Thukul, sastrawan yang giat menyuarakan kaum tertindas, hilang ketika penculikan terhadap para aktivis terjadi antara 1996-1998. Yaitu menjelang runtuhnya Orde Baru.
Foto: Wahyu Susilo
Mencintai puisi sejak kecil
Sastrawan dan aktivis yang melawan penindasan rezim Orde Baru ini lahir di Solo, 26 Agustus 1963. Ia mencintai puisi sejak kecil. Anak tukang becak ini menjadi buruh plitur, ngamen puisi dan mengalah putus sekolah demi pendidikan adik-adiknya.
Foto: Wahyu Susilo
Menyuarakan orang pinggiran
Di tengah kesulitan keuangan ia tetap giat menelurkan karya-karya puisi dan berteater di Sarang Teater Jagat. Ia juga mengajar anak-anak kecil melukis di Sanggar Suka Banjir dan menyuarakan nasib orang kecil dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat JAKKER.
Foto: Wahyu Susilo
Dengan puisi melawan penindasan
Foto ini diambil ketika Wiji Thukul latihan teater di Sarang Teater Jagat, Jagalan, Solo tahun 1987. Salah satu petikan puisi Wiji berjudul PENYAIR: " Jika tak ada kertas, aku akan menulis pada dinding.. Jika aku menulis dilarang, aku akan menulis dengan tetes darah!"
Foto: Wahyu Susilo
Dianiaya ketika membela kaum tertindas
1992 ia memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo. 1994 dalam aksi petanidi Ngawi, Jawa Timur, Thukul dipukuli tentara. Tahun 1995 mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan pada mobil oleh aparat sewaktu ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex. Istri Wiji Thukul, Siti Dyah Sujirah (Sipon) selalu mendukung perjuangan suaminya.
Foto: Wahyu Susilo
Tanpa jejak
Pasca peristiwa 27 Juli 1996, jelang kejatuhan Soeharto tahun 1998, dia masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Di masa itu ia tetap berkarya. Pada masa tersebut sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan dihilangkan secara paksa, termasuk Thukul. Sekitar bulan Maret-April 1998 jejaknya tak lagi diketahui. Tuduhan ia menyulut kerusuhan dlam peristiwa 27 Juli 1996 tak pernah terbukti.
Foto: Wahyu Susilo
Puisinya tetap abadi
Sajak-sajak Wiji Thukul populer di kalangan aksi massa. Di antaranya: Peringatan, Sajak Suara, dan Bunga dan Tembok. Tanpa henti, puisinya selalu menggambarkan perjuangan kaum tertindas. Kumpulan puisinya dibukukan. Puisi nyanyian akar rumput melambangkan dendang para rakyat yang tidak terima dengan perlakuan pemerintahan yang tirani.
Foto: Wahyu Susilo
Keabadian dalam Sajak
Apa Guna: “Apa guna punya ilmu tinggi, kalau hanya untuk mengibuli Apa guna banyak baca buku, kalau mulut kau bungkam melulu Dimana-mana moncong senjata berdiri gagah Kongkalikong dengan kaum cukong” (Wiji Thukul) Gambar: wijithukul.tk/BarisanPengingat
Foto: Barisan Pengingat / Wahyu Susilo
Janji Jokowi
Sebelum menjadi presiden, Joko Widodo menyatakan, baik hidup atau meninggal dunia, kejelasan nasib Wiji Thukul harus menjadi perhatian pemerintah. Dalam kunjungannya ke Eropa, April 2016, Jokowi berujar, pemerintah masih mendalami kasus pelanggaran HAM berat, termasuk di antaranya penghilangan aktivis 1997-1988.
Foto: DW/R.Nugraha
Perjuangan tiada akhir
Istri Wiji Thukul, Siti Dyah Sujirah (Sipon) tak kenal lelah mencari keadilan, setelaah suaminya dihilangkan secara paksa. Pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama bernama Fitri Nganthi Wani, kemudian pada tanggal 22 Desember 1993 anak kedua mereka lahir yang diberi nama Fajar Merah. Hingga kini Sipon, keluarga dan kawan-kawannya masih terus berjuang mencarinya. Kembalikan Wiji Thukul.