Peneliti Pesimistis Anggota DPR Baru Akan Bawa Perubahan
Prihardani Ganda Tuah Purba
1 Oktober 2019
Peneliti FORMAPPI berpendapat, anggota DPR yang baru dilantik masih banyak diisi oleh wajah-wajah lama sehingga membuat masyarakat sulit percaya bahwa DPR akan bekerja menghasilkan perubahan yang signifikan.
Iklan
Derasnya kritikan masyarakat terhadap DPR yang muncul dengan berbagai RUU yang dinilai kontroversial, membuat anggota DPR periode 2019-2024 yang baru saja dilantik memiliki tugas besar, yakni untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap DPR.
Menanggapi hal ini, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Lucius Karus, menyatakan pesimistis hal ini bisa dilakukan oleh anggota DPR periode yang baru. Menurutnya, anggota DPR yang baru dilantik masih banyak diisi oleh wajah-wajah lama sehingga membuat masyarakat sulit percaya bahwa DPR akan bekerja menghasilkan perubahan yang signifikan.
Kuatnya pengaruh partai politik terhadap semua kebijakan yang diproses di DPR selama ini juga dinilai menyulitkan anggota DPR baru untuk membawa perubahan. Lucius mengatakan pengaruh ini membuat perjuangan yang dilakukan oleh anggota DPR adalah perjuangan partai politik, bukan perjuangan untuk kepentingan rakyat banyak.
Lucius menambahkan, ada porsi di mana partai politik memang punya kepentingan untuk memastikan anggota DPR bekerja untuk partai politiknya, tetapi ada hal-hal lain yang dilakukan, yang mestinya tidak punya kaitan langsung dengan kepentingan politik partai.
"Dalam arti, ada begitu banyak kebijakan yang terkait dengan rakyat banyak yang mestinya bisa diperjuangkan oleh anggota DPR tanpa harus selalu takut pada nasib atau karier politiknya yang dipegang di partai politik", katanya kepada DW.
Tidak lebih baik dari yang lama
Komposisi anggota DPR periode 2019-2024 yang berisikan wajah-wajah lama juga membuat Lucius pesimistis terhadap kinerja DPR dalam menghasilkan UU yang berkualitas. Lucius lebih lanjut mengatakan pada DW bahwa DPR periode yang baru tidak akan lebih baik dari periode lama yang justru banyak menuai kritikan. Menurut Lucius, kunci dalam pembentukan UU yang berkualitas tidak hanya terletak pada DPR saja, namun juga pada komitmen DPR untuk melibatkan partisipasi masyarakat luas dalam proses pembahasannya.
"Saya kira faktor kepentingan partai politik itulah yang membuat kualitas legislasi kita menjadi buruk selama ini, karena dominasi kepentingan partai politik itu menguasai lebih banyak norma-norma yang ada dalam legislasi yang dibuat oleh DPR dan juga menutup peluang bagi partisipasi publik dalam proses pembahasan", ujarnya.
10 Pasal Kontroversial di RKUHP
Mulai dari aturan tentang kumpul kebo yang bisa diancam penjara enam bulan hingga gelandangan yang dikenai denda Rp 1 juta. DW merangkum 10 pasal kontroversial RUU KUHP yang sedang menunggu pengesahan di DPR.
Foto: Fotolia/Sebastian Duda
Kriminalisasi seks di luar nikah
Dalam BAB XV Tindak Pidana Kesusilaan, Pasal 417 ayat (1) menyebutkan "Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II." Denda pada kategori ini berjumlah sekitar 50 juta Rupiah.
Foto: picture-alliance/dpa/C. Klose
Kumpul kebo
Sedangkan dalam Pasal 419 ayat (1) menyebutkan "Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II."
Foto: picture-alliance/Godong/P. Deloche
4,5 tahun penjara bagi penghina presiden dan wakilnya
Pasal 218 ayat (1) menyebutkan "Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV. " Hukuman itu diperberat menjadi 4,5 tahun bagi yang menyiarkan hinaan tersebut. Pasal tersebut pernah dicabut Mahkamah Konstitusi (MK).
Foto: Rusman - Biro Pers Sekretariat Presiden
Penodaan agama
BAB VII Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, Pasal 304 menyebutkan "Setiap Orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun" atau denda paling banyak Rp 2 miliar. Banyak pihak menilai pasal tersebut bersifat multitafsir.
Foto: Getty Images/AFP/M. Hayat
Kriminalisasi alat kontrasepsi
Dalam Pasal 414 menyebutkan "Setiap Orang yang secara terang terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada anak dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I." Menurut banyak pihak, alat kontrasepsi menjadi penting untuk memastikan masyarakat terlindungi dari transmisi HIV/AIDS akibat perilaku beresiko.
Foto: Imago/Westend61
Gelandangan tak lagi dipenjara
Pasal 432 menyebutkan "Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I (denda maksimal Rp 1 juta)." KUHP sebelumnya memasukkan gelandangan sebagai delik pelanggaran, sehingga dapat dihukum kurungan tiga bulan.
Foto: picture-alliance/Winfried Rothermel
Hukuman mati
Pasal 98 menyebutkan Pidana mati dijatuhkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat. Hukuman ini dinilai bertentangan dengan prinsip ketentuan HAM internasional. Banyak negara juga sudah menghapuskan hukuman mati.
Foto: picture-alliance/W. Steinberg
Unggas rusak lahan
Dalam Pasal 278 menyebutkan "Setiap Orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II." Banyak pihak berpendapat pasal yang bisa berlakukan denda Rp 10 juta ini dihapuskan dan diganti dengan hukum perdata sebab menyangkut kerugian materil dari kebun yang dimasuki.
Foto: Skye Meaker
Kebebasan pers terancam
Koalisi Pemantau Peradilan menilai delik contempt of court dalam RKUHP seperti yang tertuang dalam Pasal 281 huruf a, b, dan khususnya huruf c yang berbunyi 'secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.' dinilai mengekang kebebasan pers.
Foto: DW
Tindak pidana pelanggaran HAM
Dalam Pasal 599 dan Pasal 600 RKUHP menyebutkan ancaman hukuman maksimal terhadap pelaku genosida dan kejahatan kemanusiaan hanya 20 tahun. Ini lebih ringan dibanding yang termaktub dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yakni 25 tahun.
Foto: picture-alliance/dpa/A. I. Bänsch
10 foto1 | 10
DPR RI periode 2014-2019 adalah yang terburuk
Sebagai bahan evaluasi dari DPR periode sebelumnya, Lucius sebutkan beberapa hal yang perlu dilakukan oleh anggota DPR yang baru saja dilantik. Pertama, DPR diminta membenahi manajemennya agar secara serius fokus pada peningkatan kinerja.
Menurutnya, pimpinan DPR seharusnya tidak menjadi simbol atau lambang saja tapi harus bisa menjadi pemimpin bagi semua kelompok fraksi yang ada di DPR. Pimpinan DPR juga harus bisa mengontrol perkembangan kinerja dari komisi-komisi maupun alat kelengkapan lain di DPR.
Yang kedua, DPR harus bisa menekan terjadinya kasus korupsi yang berulang kali melibatkan anggota DPR. Anggota DPR yang baru harus bisa memastikan bahwa korupsi tidak lagi dipergunakan untuk memperkaya diri atau alat untuk menyumbang partai politik.
Berakhirnya masa kerja anggota DPR periode 2014-2019, mendapat catatan buruk dari FORMAPPI. Lucius mengatakan, DPR periode ini menjadi yang terburuk karena secara kuantitatif, hanya mampu menghasilkan 36 RUU dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dari 189 yang direncanakan. Lucius juga menjelaskan buruknya kinerja DPR periode 2014-2019, karena ada komisi yang selama 5 tahun masa kerja, tidak menghasilkan satu pun RUU prioritas.
"Ada pula komisi yang bahkan tidak menghasilkan satu pun RUU prioritas selama 5 tahun selama satu periode, Komisi III, Komisi VI, Komisi VII, jadi bagaimana bisa membayangkan komisi seperti itu pincang hasilnya, tidak ada RUU prioritas yang mereka hasilkan padahal fungsi utama DPR itu ada legislasi, ada anggaran dan ada pengawasan," jelasnya. (gtp/na)
Wawancara dilakukan oleh Prihardani Ganda Tuah Purba