1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Survei: Citra Uni Eropa Menguat di Asia Tenggara

13 Februari 2023

Survei terbaru mengungkap pengaruh Uni Eropa semakin kuat di Asia Tenggara. Citra UE membaik di Kamboja, tapi tidak demikian di Indonesia dan Malaysia. Ada apakah?

KTT Uni Eropa - ASEAN di Brussel, Belgia, 14 Desember 2022
KTT Uni Eropa - ASEAN di Brussel, Belgia, 14 Desember 2022Foto: Geert Vanden Wijngaert/AP/picture alliance

Citra Uni Eropa (UE) di Asia Tenggara meningkat dalam setahun terakhir, termasuk reputasinya sebagai pengusung perdagangan bebas dan hukum internasional, menurut laporan survei The State of Southeast Asia 2023 yang diterbitkan akhir pekan ini.

Brussel mengokohkan posisinya sebagai "pihak ketiga" yang dipilih oleh negara-negara Asia Tenggara di tengah persaingan Amerika Serikat (AS) dengan Cina di kawasan ini. Kepercayaan pada UE sebagai aktor ekonomi dan politik juga tumbuh, kata laporan itu.

Hampir 43% responden di kawasan Asia Tenggara lebih memilih UE sebagai mitra alternatif, jauh di atas Jepang, Inggris, dan India.

"Dengan latar belakang persaingan AS-Cina, ASEAN perlu memperluas pilihan strategisnya," kata Melinda Martinus, peneliti utama di Pusat Studi ASEAN, ISEAS-Yusof Ishak Institute, yang juga adalah penulis survei tahunan ini.

"Keterlibatan dengan UE memberi perlindungan dari persaingan yang kian intensif antara dua negara adidaya," tambahnya. "Sikap UE terhadap lingkungan dan iklim, hak asasi manusia, supremasi hukum, dan integritas wilayah menunjukkan bahwa mereka adalah mitra global yang bertanggung jawab dan diperlukan oleh ASEAN untuk menjaga tatanan dunia."

ASEAN ingin tatanan dunia berbasis aturan multilateral

Menurut survei tersebut, sekitar 4,2% responden Asia Tenggara berpendapat bahwa UE adalah pelaku ekonomi paling berpengaruh di kawasan ini. Angka ini naik dari hanya 1,7% pada tahun lalu. Hampir 5% responden mengatakan UE punya pengaruh paling politis dan strategis di kawasan ini, dibandingkan dengan hanya 0,8% tahun lalu.

Survei tersebut juga melihat adanya peningkatan jumlah orang Asia Tenggara yang memiliki kepercayaan kepada UE sebagai pengusung perdagangan bebas, serta kepemimpinan UE dalam mempertahankan tatanan berbasis aturan dan menegakkan hukum internasional. Dalam hal ini UE berada di peringkat kedua setelah AS.

Igor Driesmans, Duta Besar Uni Eropa untuk ASEAN, mengaku senang melihat hasil ini. "Persepsi ASEAN yang kian positif terhadap UE, menurut saya, adalah hasil dari konsistensi dan prediktabilitas kami selama puluhan tahun yang berpihak kepada hukum internasional dan multilateralisme," ujar Driesmans kepada DW.

"Seperti kita, orang-orang Asia Tenggara ingin hidup di dunia berbasis aturan multilateral, di mana hak asasi manusia dan hukum internasional ditegakkan." 

Uni Eropa kian populer di Kamboja

Popularitas UE tampaknya meningkat paling cepat di beberapa negara di Asia Tenggara. Laos contohnya. Pada tahun lalu hanya sepertiga warga Laos yang yakin bahwa UE akan "melakukan hal yang benar" dalam berkontribusi terhadap perdamaian, keamanan, kemakmuran, dan pemerintahan global. Pada survei tahun ini, jumlahnya naik menjadi hampir dua pertiga.

Kepercayaan terhadap UE juga meningkat secara dramatis di antara warga Kamboja. Hampir empat perlima warga Kamboja memilih UE sebagai "pihak ketiga" utama di tengah persaingan AS-Cina.

Seun Sam, analis kebijakan di Royal Academy of Cambodia, menganggap ini terjadi di antaranya karena UE menjadi importir utama barang-barang Kamboja. Selain itu, hubungan yang lebih baik juga tercipta setelah Kamboja memegang kursi kepemimpinan ASEAN pada tahun lalu, di mana Perdana Menteri Kamboja Hun Sen dipuji karena mendukung sikap Barat dalam invasi Rusia ke Ukraina.

Popularitas UE di Indonesia dan Malaysia turun

Namun demikian, citra UE tampaknya telah menurun di Malaysia dan Indonesia. Di kedua negara ini, rencana UE untuk menghentikan impor minyak kelapa sawit dan mengubah aturan lingkungan tentang impor dituding akan sangat merugikan industri pertanian lokal di kedua negara.

Indonesia dan Malaysia adalah salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia. Dua negara ini juga telah menuntut Brussel ke hadapan sidang WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) atas masalah ini.

Hampir setengah dari responden Indonesia pada survei kali ini memilih "tidak percaya" atau "kurang percaya" bahwa UE akan melakukan hal yang benar untuk berkontribusi pada perdamaian, keamanan, kemakmuran, dan pemerintahan global. Jumlah ini naik dari sepertiga responden pada tahun lalu. 

"Di Malaysia dan Indonesia, masalah kelapa sawit masih serius dan sepertinya tidak akan membaik dalam waktu dekat," ujar Bridget Welsh, analis di Institut Riset Asia di Universitas Nottingham. Ia juga menambahkan bahwa ada anggapan yang mendalam di mana Barat dipandang menargetkan negara-negara Muslim "dan memaksakan nilai-nilainya dengan cara yang munafik," tambah Welsh.

Menurutnya, UE perlu benar-benar mempertimbangkan betapa merusaknya diskriminasi aturan minyak sawit dalam hubungannya dengan Indonesia dan Malaysia.

Selama KTT UE-ASEAN Desember lalu di Brussel, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelaskan bahwa dia tidak ingin lagi diceramahi oleh UE. "Tidak boleh ada pemaksaan pandangan," ujar Jokowi. "Tidak boleh ada orang yang mendikte orang lain dan berpikir bahwa standar saya lebih baik daripada standar Anda."

Negosiator UE dan Indonesia dijadwalkan akan bertemu minggu ini di Jakarta untuk membicarakan perjanjian perdagangan bebas putaran ke-13, dan pejabat Eropa berharap kesepakatan perdagangan bebas dapat dicapai pada akhir tahun ini. ae/hp

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait