Pengembangan Arsenal Korea Utara Ancam Perdamaian Asia
5 Januari 2023
Rezim Korea Utara mengawali tahun 2023 dengan mengancam Korea Selatan dan mengumumkan rencana pelngembangan rudal balistik yang lebih mumpuni serta persenjataan nuklir yang lebih besar.
Iklan
Korea Utara mengawali tahun 2023 dengan serangkaian peluncuran peluru kendali balistik. Pemimpin Korut Kim Jong Un menegaskan, Pyoyang siap meningkatkan produksi senjata nuklir dan mengembangkan rudal balistik antarbenua (ICBM) yang lebih handal, menurut pernyataan yang disiarkan oleh kantor berita milik negara KCNA.
Kim juga menyatakan, Korea Selatan adalah "musuh yang tidak diragukan lagi" dari Korea Utara dan "sangat ingin membangun senjata yang dahsyat dan berbahaya."
Korea Selatan hidup dalam bayang-bayang agresi dari tetangga utaranya sejak 1950-an. Namun, para analis mengatakan, ancaman dan provokasi yang dilontarkan Pyongyang saat ini harus menjadi perhatian yang mendalam.
Kim Sang-woo, mantan politikus sayap kiri Kongres Korea Selatan untuk Politik Baru dan sekarang menjadi anggota Dewan Yayasan Perdamaian Kim Dae-jung, mengatakan situasi keamanan di Semenanjung Korea kembali memburuk.
"Saya pikir ada alasan bagus untuk waspada, karena rezim Korea Utara memantau pemerintahan saat ini di Korea Selatan dan melihat pemerintahan sekarang tidak membuat nyaman Korea Utara, seperti halnya pemerintahan sebelumnya," katanya kepada DW.
Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol, yang mulai memangku jabatan pada Mei 2022, telah berjanji untuk mengambil sikap yang lebih keras terhadap Korea Utara dibandingkan dengan pendahulunya Moon Jae-in.
Yoon menanggapi dengan cepat provokasi negara tetangganya, di mana Kepala Staf Gabungan mengumumkan pembentukan direktorat baru untuk mengembangkan tanggapan terhadap ancaman rudal dan nuklir Korea Utara pada hari Senin (02/01).
Presiden Korea Selatan juga mengumumkan, sedang mendiskusikan kemungkinan Seoul menggelar latihan nuklir bersama dengan Washington.
Sejarah Perang Korea 1950-1953
Ambisi Kim Il Sung menguasai Semenanjung Korea tidak hanya merenggut jutaan nyawa, tetapi juga berakhir pahit untuk aliansi komunis di utara. Perang Korea gagal mengubah garis demarkasi yang masih bertahan hingga kini.
Foto: Public Domain
Korea Terbagi Dua
Selepas Perang Dunia II, Korea yang dijajah Jepang mendapat nasib serupa layaknya Jerman yang dibagi dua antara sekutu Barat dan Uni Soviet. Ketika AS membentuk pemerintahan boneka di bawah Presiden Syngman Rhee untuk kawasan di selatan garis lintang 38°, Uni Soviet membangun rezim komunis di bawah kepemimpinan Kim Il Sung.
Foto: Getty Images/AFP
Siasat Kim Lahirkan Perang Saudara
Awal 1949 Kim Il Sung berusaha meyakinkan Josef Stalin untuk memulai invasi ke selatan. Namun permintaan itu ditolak Stalin karena mengkhawatirkan intervensi AS. Terlebih serdadu Korut saat itu belum terlatih dan tidak mempunyai perlengkapan perang yang memadai. Atas desakan Kim, Soviet akhirnya membantu pelatihan militer Korut. Pada 1950 pasukan Korut sudah lebih mumpuni ketimbang serdadu Korsel
Foto: Bundesarchiv, Bild 183-R80329 / CC-BY-SA
Peluang Emas di Awal 1950
Keraguan Stalin bukan tanpa alasan. Sebelum 1950 Cina masih tenggelam dalam perang saudara antara kaum nasionalis dan komunis, pasukan AS masih bercokol di Korsel dan ilmuwan Soviet belum berhasil mengembangkan bom nuklir layaknya Amerika Serikat. Ketika situasi tersebut mulai berubah, Stalin memberikan lampu hijau bagi invasi pada April 1950.
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk
Kekuatan Militer Korut
Berkat Soviet, pada pertengahan 1950-an Korut memiliki 200.000 serdadu yang terbagi dalam 10 divisi infanteri, satu divisi kendaraan lapis baja berkekuatan 280 tank dan satu divisi angkatan udara dengan 210 pesawat tempur. Militer Korut juga dipersenjatai 200 senjata artileri, 110 pesawat pembom dan satu divisi pasukan cadangan berkekuatan 30.000 serdadu dengan 114 pesawat tempur dan 105 tank
Foto: AFP/Getty Images
Kekuatan Militer Korsel
Sebaliknya kekuatan militer Korea selatan masih berada jauh di bawah saudaranya di utara. Secara umum Korsel hanya berkekuatan 98.000 pasukan, di antaranya cuma 65.000 yang memiliki kemampuan tempur, dan belasan pesawat, tapi tanpa tank tempur atau artileri berat. Saat itu pasukan AS banyak terkonsentrasi di Jepang dan hanya menempatkan 300 serdadu di Korsel.
Foto: picture-alliance/dpa
Badai Komunis Mengamuk di Selatan
Pada 25 Juni 1950 sekitar 75.000 pasukan Korut menyebrang garis lintang 38° untuk menginvasi Korea Selatan. Hanya dalam tiga hari Korut yang meniru strategi Blitzkrieg ala NAZI Jerman merebut ibu kota Seoul dengan mengandalkan divisi lapis baja dan serangan udara. Pada hari kelima kekuatan Korsel menyusut menjadi hanya 22.000 pasukan
Foto: picture-alliance/dpa
Arus Balik dari Busan
Kendati AS mulai memindahkan pasukan dari Jepang ke Korsel, hingga awal September 1950 pasukan Korut berhasil menguasai 90% wilayah selatan, kecuali secuil garis pertahanan di sekitar kota Busan. Dari kota inilah Amerika Serikat dan pasukan PBB melancarkan serangan balik yang kelak mengubur impian Kim Il Sung menguasai semenanjung Korea.
Foto: Public Domain
September Berdarah
Di bawah komando Jendral Douglas MacArthur, pasukan gabungan antara AS, PBB dan Korea Selatan yang kini berjumlah 180.000 serdadu mulai mematahkan kepungan Korut terhadap Busan. Berbeda dengan pasukan Sekutu, Korut yang tidak diperkuat bantuan laut dan udara mulai kewalahan dan dipaksa mundur semakin ke utara.
Foto: Public Domain
Nasib Buruk Berputar ke Utara
Pada 25 September pasukan sekutu berhasil merebut kembali Seoul. Serangan udara dan artileri militer AS berhasil menghancurkan sebagian besar tank dan senjata artileri milik Korut. Atas saran Cina, Kim menarik mundur pasukannya dari selatan. Jelang Oktober hanya sekitar 30.000 pasukan Korut yang berhasil kembali ke utara.
Foto: Public Domain
Intervensi Mao
Ketika pasukan AS melewati batas demarkasi pada 1 Oktober, Stalin dan Kim mendesak Mao Zedong dan Zhou Enlai agar mengirimkan enam divisi invanteri Cina ke Korea. Soviet sendiri sudah menegaskan tidak akan menurunkan langsung pasukannya. Permintaan tersebut baru dijawab pada 25 Oktober, setelah serangkaian perjalanan diplomasi antara Beijing dan Moskow.
Foto: gemeinfrei
Mundur Teratur
Hingga November 1950 pasukan AS tidak hanya merebut Pyongyang, tetapi juga berhasil merangsek hingga ke dekat perbatasan Cina. Kemenangan AS terhenti setelah pasukan Cina yang berkekuatan 200.000 tentara mulai melakukan serangan balik. Intervensi tersebut menyebabkan kekalahan besar pada pasukan AS yang terpaksa mengundurkan diri dari Korea Utara pada pertengahan Desember.
Foto: Public Domain
Berakhir dengan Kebuntuan
Hingga Juli 1951 pasukan Cina dan AS masih bertempur sengit di sekitar perbatasan garis lintang 38°. Baru pada pertengahan tahun kedua pihak mulai mengendurkan serangan yang menyebabkan situasi buntu. Setelah kematian Josef Stalin, sikap Uni Soviet mulai melunak dan pada 27. Juli 1953 kedua pihak menyepakati gencatan senjata yang masih berlaku hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Hilang Nyawa Terbuang
Pada akhir Perang Korea, sebanyak 33.000 pasukan AS dilaporkan tewas dalam pertempuran. Sementara Korsel melaporkan sebanyak 373.000 warga sipil dan 137.000 pasukan tewas. Sebaliknya Cina kehilangan 400.000 serdadu dan Korut 215.000 pasukan, serta 600.000 warga sipil. Secara umum angka kematian yang diderita kedua pihak mencapai 1,2 juta jiwa.
Foto: Public Domain
13 foto1 | 13
Kim targetkan kekuatan militer yang luar biasa
Pada pertemuan Partai Buruh Korea selama pekan terakhir di bulan Desember 2022, dalam pernyataan yang pertama kali dirilis1 Januari 2023, Kim menggarisbawahi perlunya mengembangkan dan mengerahkan "kekuatan militer yang luar biasa" dan mengklaim perlunya melindungi kedaulatan Korea Utara.
Iklan
Kim menyebut Amerika Serikat dan Korea Selatan berusaha untuk "mengisolasi dan mencekik" negaranya, menurut KCNA.
Solusinya, kata Kim kepada kabinetnya, adalah ICBM baru "yang misi utamanya adalah reaksi cepat serangan balasan nuklir" dibarengi dengan pengembangan senjata nuklir taktis yang ditujukan ke Korea Selatan.
Analisis gambar satelit mata-mata dari Tempat Peluncuran Satelit Sohae di Korea Utara menunjukkan, pekerjaan berlanjut pada pengembangan kendaraan peluncur yang lebih besar dan lebih mumpuni untuk satelit dan rudal jarak jauh, termasuk sistem pendorong bahan bakar padat.
"Dibandingkan dengan senjata berbahan bakar cair, rudal berbahan bakar padat lebih mobile, lebih cepat diluncurkan, dan lebih mudah disembunyikan serta digunakan selama konflik,” kata Leif-Eric Easley, seorang profesor studi internasional di Ewha Womans University di Seoul.
Ancaman nuklir Korea Utara
Korea Utara juga diperkirakan akan segera melakukan uji coba senjata nuklir bawah tanah lainnya, yang pertama sejak 2017.
Cheong Seong-chang, seorang analis di think tank Institut Sejong, mengatakan kepada surat kabar The Korea Times pada pekan ini, dia meyakini uji coba nuklir ketujuh Korea Utara akan bertepatan dengan salah satu dari tiga tanggal penting yang akan datang di Korea Utara.
8 Januari adalah hari ulang tahun Kim Jong Un, 16 Februari menandai hari ulang tahun Kim Jong Il, mendiang ayahnya, sedangkan 8 Februari adalah peringatan 75 tahun berdirinya Tentara Rakyat Korea.
Kim Sang-woo dari Kim Dae-jung Peace Foundation mengatakan, pengumuman bahwa Korea Utara berhak untuk melakukan serangan nuklir preventiv jika dianggap ada ancaman terhadap rezim di Pyongyang, merupakan perubahan yang mengkhawatirkan dalam filosofi keamanan.
"Saya tidak melihat ini sebagai perlombaan senjata di semenanjung Korea, karena Korut terus-menerus mengembangkan kemampuan nuklirnya, bahkan ketika mereka membantahnya, tetapi jelas ada alasan untuk khawatir dengan situasi keamanan saat ini," kata Kim.
"Dan ada kemungkinan yang sangat menakutkan, konflik bisa pecah jika insiden kecil di perbatasan, misalnya, dengan cepat menjadi eskalasi situasi, karena kedua Korea selama ini tidak melakukan pembicaraan," tambahnya.