1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialCina

Awasi Perilaku Pengguna TikTok Cina Berlakukan Sistem Poin

19 Januari 2024

Pihak berwenang di Beijing meluncurkan sistem poin untuk TikTok versi Cina, Douyin, yang akan berikan hukumani bagi penyebar konten "streaming" yang oleh sensor diklategorikan melanggar nilai moral.

Moderator jaringan dari platform live streaming We-Media
"Live streaming" begitu populer di Cina, tetapi pengguna menghadapi pengawasan yang jauh lebih ketatFoto: Costfoto/picture alliance

Douyin, aplikasi menyerupai TikTok di Cina, memperkenalkan sistem penilaian peringkat untuk "live streamer” sebagai bagian dari upaya berkelanjutan pemerintah Xi Jinping untuk meningkatkan kontrol atas internet.

Sistem penilaian enam tingkatan, yang secara resmi disebut "poin sehat" di Cina ini mulai berlaku sejak awal tahun 2024 setelah diuji coba selama hampir setengah tahun.

Pada hari pertama peluncuran sistem, hampir 5.000 "streamer” terancam mendapatkan hukuman dan pembatasan akses ke fungsi-fungsi tertentu aplikasi itu.

Sistem ini dirancang untuk "menarik benang merah dan batasan" bagi industri live streaming yang berkembang pesat, lapor kantor berita Xinhua yang berafiliasi dengan pemerintah Cina.

Pada tahun 2021, Douyin juga telah meluncurkan "mode untuk anak remaja", membatasi jumlah waktu yang boleh dihabiskan pengguna di bawah usia 14 tahun untuk menggunakan aplikasi maksimal 40 menit per hari.

Poin akan dikurangi jika "streamer” terbukti melakukan "pelanggaran serius"Foto: Wang Jianfeng/Costfoto/picture alliance

Bagaimana cara kerja sistem pemeringkat ini?

Menurut aturan terbaru, semua "streamer” akan diberikan 100 poin sebagai standar. Mereka yang dianggap sebagai "streamer” pemuncak atau profesional akan mendapatkan 120 poin.

Poin akan dikurangi jika "streamer” terbukti melakukan "pelanggaran serius" yang mencakup konten atau perilaku yang menampilkan apa yang ditetapkan sensor sebagai vulgar atau mempromosikan "pandangan yang tidak sehat tentang suatu hubungan."

Sindiran seksual, pseudosains, promosi "standar kecantikan yang tidak normal", atau "pelanggaran ketertiban umum dan moral" akan dianggap sebagai pelanggaran sedang.

"Streamer” yang melanggar hal-hal tersebut akan dikurangi poinnya berdasarkan tingkat keparahan pelanggaran yang dituduhkan. Pelanggaran yang dianggap serius akan dikurangi 4-8 poin.

Sanksi baru akan dijatuhkan setelah poin turun di bawah 70. Hukuman itu mencakup pembatasan fungsi hingga larangan total untuk melakukan "streaming” jika jumlah poin menjadi nol.

TikTok Shop Resmi Dilarang Pemerintah RI

01:57

This browser does not support the video element.

Agenda politik Cina untuk konten daring

Banyak pengguna di Cina memuji sistem poin di platform mikroblog Weibo, di mana para pendukung mengatakan sistem tersebut dapat membantu untuk mengatur perilaku "streamer” dan membatasi konten mereka.

Namun, KK, seorang mantan manajer influencer yang berbicara kepada DW dengan syarat menggunakan nama samaran, mengungkapkan keprihatinannya tentang sistem yang "mungkin tidak adil" tersebut.

"Misalnya menurut Anda saya mengenakan pakaian terlalu minim sehingga siaran langsung saya terkesan seksual," katanya. "Penilaian itu seharusnya tidak dibuat oleh satu individu atau pun sistem AI, yang hanya didasarkan pada beberapa tangkapan layar."

Tai Yu-hui, seorang profesor komunikasi dan teknologi di Universitas Nasional Yang-Ming Chiao-Tung, Taiwan, juga menyuarakan keprihatinannya terhadap pedoman mengenai "pandangan yang tidak sehat mengenai suatu hubungan" dan "standar kecantikan yang tidak normal."

Tai menambahkan, narasi-narasi seperti itu dapat menyerang kelompok minoritas seksual karena "beberapa streamer pria terlihat feminin." Pada tahun 2021, Cina telah melarang "pria feminim" dari televisi karena pemimpin negara itu berusaha mempromosikan apa yang dianggapnya sebagai citra pria yang "maskulin".

Pada tahun 2016, Cina menerapkan undang-undang keamanan siber yang mengisyaratkan pengawasan yang lebih ketat terhadap penggunaan internet, diikuti dengan serangkaian tindakan tegas terhadap industri teknologi.

Selama beberapa tahun terakhir, tindakan tegas Cina tersebut secara bertahap bergeser ke platform video pendek seperti Douyin, diduga bertujuan menyetop anak muda menghabiskan terlalu banyak waktu untuk daring.

Profesor Tai lebih jauh menyebutkan, sistem pemeringkat ini merupakan bagian dari rencana yang lebih besar dari Presiden Cina Xi Jinping, untuk memperluas kendali Partai Komunis di dunia digital.

"Seluruh kebijakan dan nilai-nilai inti Xi Jinping adalah untuk membuat Partai (Komunis) kembali memasuki kehidupan sehari-hari masyarakat, mempengaruhi ideologi dan pemikiran mereka," jelasnya.

Pembatasan terhadap Douyin ini dapat memperluas dan memperkuat sensor Beijing terhadap konten-konten daring. Saat ini aplikasi tersebut memiliki sekitar 800 juta pengguna, dengan jumlah pengguna aktif tiap bulan melebihi 600 juta.

Pada tahun 2022, seorang penjual "streamer" dinonaktifkan dari media sosial selama hampir empat bulan akibat penampakan singkat "kue berbentuk tank" saat "live streaming” berlangsung. Netizen menduga "tank" tersebut ditafsirkan sebagai simbol penumpasan demonstrasi yang dipimpin oleh mahasiswa di Lapangan Tiananmen pada tahun 1989 silam.

Tai mengatakan kepada DW, meskipun pemerintah memang memiliki tanggung jawab untuk mengambil tindakan dalam mengatur konten-konten di media sosial, tetapi Xi menggunakan hal ini sebagai alasan untuk membenarkan agenda politik sensor sosialnya.

KK juga mengatakan, dia beberapa kali membantu para "streamer” menemukan ide bagi program mereka. Bahkan sebelum adanya sistem pemeringkat ini, tidak ada satu pun dari para "streamer” itu yang memiliki niat membicarakan masalah politik.

"Topik itu berisiko dan ada banyak hal yang perlu diperhatikan, terutama di negara ini. Banyak orang tidak ingin mencobanya," kata KK. "Jika Anda secara politik tidak benar, sangat besar kemungkinannya Anda akan dicekal."

(kp/ha/as)

Yu-chen Li Li adalah Jurnalis multimedia dan saat ini bekerja sebagai koresponden Taipei di DW.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait