Penghargaan DW Freedom of Speech Award Diraih Wartawan Turki
21 April 2016
Kepala editor harian Turki "Hurriyet" Sedat Ergin raih penghargaan DW Freedom of Speech Award. Masih belum pasti apakah ia biasa hadir pada DW Global Media Forum pada bulan Juni untuk menerima penghargaan ini.
Iklan
Sedat Ergin masih harus menjalani sidang pengadilan sejak Maret lalu. Ia dituduh telah menghina Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Kamis (21/06/16), Deutsche Welle menetapkan kepala editor Hurriyet ini sebagai penerima penghargaan Freedom of Speech Award tahun ini. Ia dinilai telah yang memberikan contoh perjuangan membela hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi.
Ia menjadi cerminan ratusan wartawan di Turki yang menghadapi risiko dalam perjuangan untuk mempertahankan jurnalistik yang independen dan pers kebebasan. Demikian dikatakan Direktur Jenderal DW Peter Limbourg.
Mengomentari keputusan DW ini, Sedat Ergin mengatakan merasa terhormat dianugrahi penghargaan bagi kebebasan pers di seluruh dunia ini. Penghargaan ihi memiliki nilai penting menimbang berbagai penindasan terhadap para wartawan di negaranya.
Ia dinyatakan sebagai terdakwa pada akhir Maret lalu. Sedat Ergin menyiratkan gambaran suram kondisi bagi profesinya. „Kebebasan pers di Turki pada tahun 2016 hanya terbatas sekitar koridor pengadilan.“
Tahun lalu, kantor pusat Hürriyet, yang merupakan harian independen terkemuka di Turki, mengalami dua serangan yang dilancarkan oleh massa pro-pemerintah.
Kamis (21/04/16), Dirjen DW Limbourg mengatakan merasa memiliki ikatan persahabatan kuat dengan rakyat Turki. Sejak tahun 1962, DW memiliki siaran radio dalam Bahasa Turki. Dan sejak tahun 2015, DW menyediakan konten editorial di situs DW program Bahasa Turki.
“Kita tidak hanya berpaling muka dan diam, saat wartawan, seniman dan ilmuwan secara sistematis diintimidasi dan diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak berwenang,” dikatakan Limbourg.
Freedom of Speech Award merupakan bagian dari ajang The Bobs – Best of Online Activism. Penghargaan Freedom of Speech Award tahun ini merupakan yang kedua kalinya dianugrahkan DW. Tahun lalu. Freedom of Speech Award diraih oleh blogger Arab Saudi Raif Badawi.
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.