1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pengungsi dan Migran Dilanggar Haknya

23 Mei 2013

Dunia semakin tidak ramah kepada pencari suaka dan migran. Demikian dinyatakan organisasi HAM, Amnesty Internasional dalam laporan tahunannya.

Foto: Amnesty International

Jutaan manusia yang melarikan diri akibat pengejaran dan konflik, maupun yang meninggalkan tanah airnya untuk mencari kerja di negara lain, mengalami intimidasi, kekerasan dan pelanggaran hak dasarnya di tangan petugas pemerintah atau majikannya.

Demikian ditulis dalam laporan yang diluncurkan Rabu (22/05/13). Menurut organisasi yang bermarkas di Inggris itu, pada awal tahun lalu sekitar 12 juta orang di seluruh dunia tidak memiliki kewarganegaraan, sedangkan 15 juta orang terdaftar sebagai pencari suaka. Laporan itu mencatat sekitar 214 juta migran hidup tanpa perlindungan dari pemerintah negara asal mereka maupun pemerintah negara yang ditinggalinya.

Salil Shetty, Amnesty InternationalFoto: AP

"Kegagalan menangani konflik secara efektif telah menyebabkan timbulnya secara global kelas bawah yang tersisihkan," demikian Salil Shetty, Sekretaris Jenderal Amnesty International pada peluncuran itu. Kritiknya, "Tidak ada perlindungan hak bagi mereka yang melarikan diri dari konflik. Kelewat banyak pemerintahan yang dengan alasan kontrol imigrasi mengabaikan hak asasi para pengungsi, bertindak jauh melampaui aturan perbatasan yang legitim."

Tamu Tak Diinginkan

Para pengungsi dan pencari suaka biasanya meninggalkan situasi konflik yang amat berat, sementara kehadiran mereka tidak diinginkan, pun oleh negara yang menerimanya. Perjanjian pengawasan perbatasan antara Uni Eropa dan Afrika Utara merupakan salah satu contoh yang disorot oleh Shetty, karena menutup pintu Eropa bagi pengungsi tanpa memperhatikan apakah hak para pengungsi dihormati ketika mereka dipulangkan. Laporan itu juga mengritik kondisi kamp dan pusat tahanan pengungsi.

Saat ini ada 468.000 pengungsi Somalia yang menetap di kamp pengungsi Dadaab di Kenya. Akibat konflik di Mali sekitar 450.000 orang meninggalkan negaranya. Sedangkan di Asia, sekitar 130.000 pengungsi Myanmar mengisi kamp-kamp perbatasan Thailand.

“Kaum migran juga kerap menghadapi kekerasan dan pelecehan”, tambah Shetty, "Jutaan orang terpaksa mengalami kondisi yang tak beda dengan kerja paksa dan pelecehan seksual, akibat kebijakan-kebijakan yang anti imigrasi, dan menyebabkan para migran bisa dieksploitasi tanpa ganjaran hukum,“ begitu dinyatakan Shetty. "Apalagi retorika populis seringkali mengkambing hitamkan kaum pengungsi dan suaka sebagai penyebab kesulitan di dalam negeri."

Infografik pelaksanaan hukuman mati 2012

Hong Kong, Yordania, Libanon dan Kuwait, termasuk di antara sejumlah negara yang dikecam oleh Amnesty Internasional karena kegagalannya melindungi hak dasar para pekerja migran. Laporan Amnesty menyebutkan bahwa banyak diantara ke- 300 ribu  pekerja migran di Hong Kong yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga hanya menerima upah rendah. Sementara di beberapa negara Arab, banyak pekerja migran yang yang dilarang keluar rumah, dieksploitasi secara seksual, psikis dan psikologis.“

Kerjasama Masih Kurang

“Ada kemungkinan terciptanya dunia yang lebih adil, apabila setiap pemerintahan menghormati hak azasi setiap manusia, apapun kewarganegaraannya."

Laporan itu menyoroti berkurang jumlah negara yang mendukung hukuman mati dan bahwa bulan lalu pada Sidang Umum PBB, 155 negara memilih untuk mengadopsi perjanjian perdagangan senjata. Hanya tiga negara yang menentang perjanjian yang melarang penjualan senjata kepada negara yang akan menggunakan untuk menindas rakyat sendiri dan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketiga negara itu adalah Iran, Korea Utara dan Suriah.

ek/vlz/ap/afp

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait