Pengungsi di Lebanon Lebih Takut Kelaparan Daripada Corona
Diana Hodali
7 Mei 2020
Di kamp-kamp pengungsi Suriah di Lebanon yang penuh sesak, tidak mungkin menjaga jarak aman. Tapi kebanyakan pengungsi lebih takut menderita kelaparan daripada tertular virus corona.
Iklan
Ratusan kompleks penampungan pengungsi asal Suriah berjejer sepanjang jalan menuju lembah Bekaa di Lebanon. Di antara tenda-tenda juga banyak gubuk darurat yang dibuat sekadarnya dengan plastik bekas. Perbatasan ke Suriah terletak hanya 15 kilometer dari sini.
Kamp pengungsi Mehdyen terletak di desa kecil Bar Elias, diberi nama menurut pendirinya Mehdyen al-Ahmed. Di sini ada delapan tenda yang menampung sembilan keluarga dari distrik Homs di Suriah.
"Kami tinggal sembilan orang di satu tenda“, kata Mehdyen al-Ahmed, 43 tahun. Selain keluarganya sendiri, dia juga harus mengurus keuarga saudara perempuannya, yang kehilangan suaminya dalam perang Suriah.
Di Suriah, Medyen al-Ahmed punya usaha dagang, namun perang menghancurkan segalanya. Karena khawatir dengan keselamatan keluarga, terutama anak-anaknya, mereka mengungsi ke Lebanon.
Tidak ada pekerjaan, tidak ada sekolah
Tiba di Lebanon, Medyen al-Ahmed bekerja sebagai tenaga bantuan di organisasi bantuan pengungsi. Dengan sponsor dari Jerman, dia lalu mendirikan sekolah kecil untuk anak-anak pengungsi di tempat penampungan pengungsi. Sekarang, sekolah itu sudah punya bangunan dua tingkat di luar kamp. Tapi setelah ada pandemi corona, sekolah itu harus ditutup untuk sementara.
"Karena krisis corona, kegiatan sekolah terpaksa dihentikan dulu“, kata Medyen al-Ahmed. Padahal, kegiatan belajar sangat penting bagi anak-anak pengungsi, tidak hanya karena materi pelajaran, melainkan juga karena kontak sosial yang penting bagi anak-anak di lingkungan sekolah. Sekarang, tidak hanya murid-murid sekolah yang kehilangan kegiatan belajar, kontrak kerja Medyen al-Ahmed dengan beberapa organisasi bantuan juga dihentikan untuk sementara.
"Sekarang kami hanya mendapat kursus tambahan tentang penggunaan WhatsApp atau Zoom“, kata Medyen el-Ahmed. Dia tidak mendapat pembayaran upah lagi.
Idlib Hadapi Bencana Kemanusiaan
Pasukan Suriah yang disokong Rusia lancarkan pemboman kawasan Idlib, Suriah. Aliran pengungsi kini bergerak ke perbatasan Turki. PBB peringatkan kemungkinan terjadinya "pertumpahan darah."
Foto: picture-alliance/AA/E. Hacioglu
Melarikan diri
Jalan-jalan dipenuhi kendaraan yang bergerak dari kawasan Idlib di Suriah Utara menuju perbatasan Turki. Pasukan rezim Assad maju dari selatan dan timur, disokong sekutu Rusia dan Iran. Sebagian kelompok pemberontak didukung Turki, yang juga menempatkan serdadunya di daerah itu.
Foto: Reuters7K. Ashawi
"Kengerian berlipat ganda"
Hampir satu juta orang sudah berada di pengungsian sejak Desember. Menurut petugas urusan kemanusiaan PBB, Mark Lowcock, "kengerian sudah berlipat ganda" dalam dua pekan belakangan ini. Pertempuran semakin sengit dalam beberapa hari terakhir. Tentara Presiden Assad desak warga keluar dari provinsi Idlib dalam upaya menguasai daerah terakhir yang masih di tangan pemberontak.
Foto: Reuters/K. Ashawi
Dibom hingga luluh lantak
Maaret al Numan dan daerah sekitarnya jadi kawasan yang paling didera serangan. Kota itu dibom hingga luluh lantak dan ditinggalkan penduduknya. Jalan bebas hambatan M5 dari Damaskus menuju perbatasan dengan Turki melewati kawasan ini dan Aleppo. Para pengungsi berusaha mencapai perbatasan, tapi perbatasan sudah ditutup.
Foto: picture-alliance/AA/M. Said
Menunggu di perbatasan
Sekitar 100 orang, di antaranya 35 anak, tewas dalam paruh pertama Februari saja. Demikian keterangan PBB, yang juga mengatakan bahwa keselamatan warga sipil dengan sengaja tidak dipedulikan. Keluarga ini lari ke perbatasan dengan Turki beberapa bulan lalu. Mereka tinggal di kamp pengungsi Kafr Lusin, dengan harapan Turki akan membiarkan mereka masuk.
Foto: Getty Images/AFP/A. Watad
500.000 anak menderita
Dari sekitar satu juta orang yang melarikan diri, diperkirakan separuhnya anak-anak. Dan sebagian besar dari separuh lainnya perempuan. Di dekat perbatasan tidak cukup banyak gubug untuk menampung mereka, sehingga sebagian tinggal di tenda-tenda. Orang-orang tidur hanya beralas karton, kadang dalam suhu di bawah nol.
Foto: Getty Images/AFP/A. Watad
Hanya sedikit makanan dan obat-obatan
Yang memiliki tenda biasanya tinggal di sana bersama lusinan anggota keluarga. Di banyak kamp pengungsi obat-obatan tidak ada lagi, sementara makanan dan pakaian sudah semakin berkurang. Menurut dokter yang bertugas, anak-anak menderita kekurangan makanan, dan sebagian bahkan terancam mati kelaparan. Sebagian orang sudah mati kedinginan.
Foto: Getty Images/AFP/A. Watad
Mengungsi di sekolah
Banyak anak di daerah itu tidak bisa bersekolah lagi. Jadi banyak bangunan sekolah sudah dialihfungsikan. Kadang, bahkan kamp pengungsi jadi sasaran pemboman.
Foto: Getty Images/B. Kara
Berusaha selamat
Jika ingin menyeberangi perbatasan lewat rute ilegal, orang harus membayar mahal. Tidak semua orang bisa membayar. Penyelundup manusia meminta uang sekitar 29 juta Rupiah. Dan mereka yang nekad mempertaruhkan nyawa, karena penjaga perbatasan Turki memiliki kamera pencitraan termal yang bisa membantu mereka melacak pengungsi yang berusaha melintasi perbatasan.
Foto: Getty Images/AFP/A. Watad
Ingin hidup yang bermartabat
Menurut PBB, situasi di Idlib bisa jadi bencana kemanusiaan terbesar di abad ke-21. Tidak ada yang tahu apakan akan ada gencatan senjata. Sementara bagi para pengungsi, siapa yang yang mengakhiri perang tidak terlalu penting. Mereka memerlukan keamanan, dan ingin hidup secara terhormat, juga untuk anak-anak mereka. (Ed.: ml/ap)
Foto: Getty Images/B. Kara
9 foto1 | 9
Belum ada kasus infeksi Covid-19
Sejauh ini, belum ada kasus infeksi Covid-19 di tempat-tempat penampungan pengungsi asal Suriah di wilayah itu. Tapi di sebuah penampungan pengungsi asal Palestina ada beberapa kasus. Menurut data Johns Hopkins University, di seluruh Lebanon tercatat sekitar 750 kasus Covid-19, dengan 25 orang meninggal. Namun tidak ada yang tahu, berapa angka infeksi yang tidak terkonfirmasi atau tidak terdaftar.
“Tentu saja situasinya parah, kalau infeksi mulai menyebar di penampungan pengungsi Suriah, karena di sana penuh sesak, dan hubungan sosial orang-orang sangat dekat”, kata Mohammed Taleb, koordinator organisasi bantuan pengungsi Basmeh Zeitooneh.
Beberapa organisasi bantuan, salah satunya Dokter Tanpa Batas Negara, sudah mendirikan pusat pelayananan kesehatan khusus untuk pengungsi asal Suriah. Tapi banyak pengungsi yang justru enggan memeriksakan diri, sekalipun mengalami gejala-gejala Covid-19. Terutama karena banyak dari mereka tidak punya dokumen resmi. Selain itu, mereka juga khawatir dikenakan karantina.
Otoritas Lebanon sebelumnya mendeportasi ratusan pengungsi yang tidak memiliki dokumen resmi. Jadi para pengungsi Suriah di kamp penampungan harus berpikir dua kali, mana ancaman yang lebih besar bagi mereka: Ancaman kesehatan atau ancaman dideportasi. Kebanyakan pengungsi lebih khawatir menderita kelaparan, daripada tertular virus corona. (hp/vlz)