1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pengungsi Maluku Belum Bisa Pulang

24 Desember 2005

Akhir 2005, seluruh pengungsi Maluku mestinya kembali ke kampung asal. Tapi menjelang akhir tahun, dipastikan target itu sulit dicapai. Diduga karena bantuan pengungsi dikorupsi.

Maluku berulangkali dilanda kerusuhan. Sampai sekarang masih banyak pengungsi yang belum bisa pulang.
Maluku berulangkali dilanda kerusuhan. Sampai sekarang masih banyak pengungsi yang belum bisa pulang.Foto: AP

Sungguh bagus bila akhir Desember semua pengungsi di Maluku betul-betul sudah ada di kampung semula. Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu mengaku ada tenggat waktu dari pemerintah di Jakarta mengenai proses pemulangan mereka. Mulai tahun depan, tak ada lagi bantuan bagi pengungsi.

Karel Ralahalu: "Jadi untuk diketahui pemerintah pusat sudah menetapkan masalah pengungsi sudah harus selesai akhir 2005. Anggaran sudah disiapkan oleh pemerintah. Kita sekarang sedang memvalidasi data yang akurat. Sehingga pengungsi-pengungsi akan mendapatkan hak-hak mereka."

Pertanyaannya, bila sekarang proses validasi masih berlangsung, seperti disebut Gubernur, apa agenda pemulangan akhir Desember bisa selesai? Seorang pengungsi dari Wainitu, Ambon, Suryani Helud, mengaku belum menerima bantuan bahan bangunan rumah. Mestinya ia mendapat bahan bangunan rumah sebesar lima setengah juta rupiah ditambah satu setengah juta ongkos tukang. Dana senilai 7 juta rupiah itu diberikan kepada kontraktor sehingga para pengungsi mestinya tinggal terima beres. Uang kontan didapat untuk ongkos pindahan sebesar 3 juta rupiah. Tapi, Suryani mengaku belum menerima bantuan sejak tahun 2003.

Koordinator Koalisi Pengungsi Maluku, Pieter Pattiwaelapia, pesimis batas waktu akhir Desember bisa dipenuhi.

Pieter Pattiwaelapia: "Definisi pemerintah tentang batas waktu 31 Desember itu apa? Apa itu hanya validasi data, apa itu hanya memberi bahan-bahan rumah. Sementara mereka juga harus sudah terintegrasi dengan masyarakat sekitar. Sementara pemerintah masih berputar-putar pada validasi data. Dan itu tak mungkin terjadi."

Sampai sekarang, masih ada lebih dari 15 ribu keluarga pengungsi di Maluku. Dana yang turun dari Jakarta sebanyak 61 miliar rupiah. Bekas Inspektur Jenderal Departemen Dalam Negeri Sinyo Harry Sarundajang pernah menetapkan penanganan pengungsi berakhir bulan Desember 2002. Tapi target tak terwujud dan diundur hingga akhir tahun 2003. Saat Karel Albert Ralahalu menjadi gubernur, diperpanjang lagi hingga April 2004. Namun, inipun diperpanjang menjadi 15 September 2005. Lalu, dikoreksi lagi menjadi akhir Desember 2005.

Bila sampai Natal ternyata masih memvalidasi, sejak tahun 2002 dan 2004 apa yang terjadi? Gubernur Karel menjawab, data pengungsi berubah-ubah. Sebagai gambaran, angka 15 ribu keluarga pengungsi terdata sejak awal tahun. Tapi pada bulan Mei lalu jumlah bertambah menjadi 22 ribu lebih keluarga atau meningkat 43,7 persen.

Untuk mengatasi keruwetan penyaluran, pemerintah provinsi sempat mengalihkan persoalan ke kabupaten dan kota. Namun, upaya itu sempat diprotes oleh Walikota Ambon Max Joppie Papilaja. Ia menganggap kebijakan itu masih setengah-setengah. Pengalihan itu dilakukan pada bulan Februari lalu. Tapi sesungguhnya bulan Oktober tahun 2003, soal pemulangan pengungsi pernah pula diserahkan kepada kabupaten dan kota. Alasannya karena kabupaten dan kota lebih memahami masalah. Tapi, di tengah jalan tanpa pemberitahuan diambil alih, diserahkan kembali, dan diambil alih lagi.

Pemimpin redaksi Suara Maluku, Novi Pinontoan, mengakui praktik nakal dilakukan oleh beberapa pengungsi.

Novi Pinontoan: "Tapi, ia juga menggarisbawahi penggelembungan angka oleh pejabat-pejabat daerah. Juga indikasi korupsi dengan modus lain seperti manipulasi penyaluran bahan bangunan rumah."

Pada kasus bahan bangunan rumah praktik nakal itu melibatkan juga kontraktor. Bedanya, bukan membuat bengkak angka pembangunan rumah, justru memperkecil jumlah. Pada proses penyaluran bantuan tahun 2003 dan 2004, misalnya, rata-rata angka laporan ke pemerintah akan ditekan sampai 40 persen dari realisasi. Dengan begitu pada penyaluran bantuan berikutnya, dana tidak perlu lagi diberikan kepada pengungsi.

Arie Sahetapy adalah direktur PT Intimkara, salah satu kontraktor rumah pengungsi. Sebagai kontraktor ia bertugas untuk menyalurkan barang. Ia menerangkan, produk lokal biasanya diberikan dalam bentuk uang. Sedangkan biaya pembangunan disalurkan dari PU (Pekerjaan umum), sementara dana pemulangan dari dinas sosial.

Data Dinas Sosial Maluku sampai tahun 2004 menyebutkan PT Intimkara menangani 400 keluarga. Tapi, Arie Sahetapy menampik. Menurut catatan Arie, angka yang keluar dua kali lipat lebih. Intimkara menangani 800 keluarga di Pokka, Rumahtiga dan Tihu. Sebelumnya 200 keluarga di Ahuru, Rinjani dan Kebon Cengkeh. Jadi, total seribu keluarga.

Menanggapi pernyataan gubernur tentang adanya pengungsi yang nakal, anggota DPRD Maluku, Ridwan Marasabessy, menolak.

Ridwan Marasabessy: "Pengungsi nakal akibat keteledoran kita di dalam meng-cover data-data dari bawah. Kita lalai sebenarnya. Jangan kita mempersalahkan pengungsi. Bagi pengungsi ini kesempatan. Saya tidak cenderung mempersalahkan pengungsi. Pendidikan mereka juga di bawah. Ekonomi mereka terbatas. Apapun kesempatan akan mereka manfaatkan. Tapi sebagai pemerintah yang dibekali dengan fasilitas, harusnya memiliki kemampuan meng-cover semua itu."

Sebaliknya, Marasabessy menuding para kontraktor yang nakal. Mereka mendapat proyek tanpa melalui penilaian semestinya dari pemerintah daerah. Ada kontraktor yang kantornya tidak ada pegawai, tetapi memegang sampai ratusan unit rumah. Apakah ada kontraktor yang dapat proyek karena kedekatan dengan pejabat?

Ridwan Marasabessy: "Oh, itu lebih banyak lagi. Itu lebih banyak lagi. Ada justru kontraktor sampai-sampai dia bertindak bagaikan owner. Pemilik proyek, begitu. Jadi, ada kontraktor yang mengambil dari dia lagi."

Dana untuk pemulangan pengungsi Maluku sejak tahun 2003 terhitung sudah hampir setengah triliun rupiah. Data Dinas Kesejahteraan Sosial Maluku menerangkan, tahun 2003 pemerintah pusat mengucurkan dana 176 miliar rupiah lalu ditambah lagi 30 miliar rupiah. Setahun berikutnya, sebesar 86 miliar rupiah. Sedangkan total dana dari pemerintah pusat tahun ini sebanyak 170 miliar rupiah. Dana itu masih ditambah dengan anggaran belanja daerah. Dana yang besar, kata Ridwan Marasabessy, mengundang praktik penyelewengan.

Ridwan Marasabessy: "Itu bukan rahasia lagi di Ambon. Bagaimana antriannya gubernur dengan pasukannya. Wagub dengan pasukannya. Sudah kayak pemilik proyek, gila."

Ia pun menyarankan agar bekas kepala dinas sosial yang sudah dimutasi ke jabatan bagian Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat, AR Uluputty, dimintai pertanggungjawaban. Karena dinas sosial punya banyak peran menentukan siapa-siapa dapat proyek penyaluran bantuan bagi pengungsi.