Pengungsi Rohingya Takut Kembali ke Myanmar Setelah Kudeta
3 Februari 2021
“Militer membunuh kami, memperkosa saudara perempuan dan ibu kami, membakar desa kami. Bagaimana mungkin kami tetap aman di bawah kendali mereka?,'' ujar pengungsi Rohingya di Bangladesh yang tak ingin pulang ke Myanmar.
Iklan
Pengungsi Rohingya asal Myanmar yang tinggal di kamp-kamp di Bangladesh mengutuk kudeta militer yang terjadi di tanah air mereka dan mengatakan peristiwa itu membuat mereka lebih takut untuk kembali.
Operasi kontra pemberontakan oleh militer Myanmar pada tahun 2017 yang mengakibatkan pemerkosaan massal, pembunuhan, dan pembakaran desa mendorong lebih dari 700.000 Muslim Rohingya mengungsi ke negara tetangga Bangladesh.
Bangladesh telah menampung mereka di kamp-kamp pengungsi yang padat dan sangat ingin mengirim mereka kembali ke Myanmar yang mayoritas beragama Buddha. Beberapa upaya repatriasi di bawah kesepakatan bersama gagal karena Rohingya menolak untuk pergi, takut akan lebih banyak kekerasan di negara yang menyangkal hak-hak dasar mereka termasuk kewarganegaraan.
Para pengungsi pada Selasa (2/2) mengatakan bahwa mereka lebih takut dengan keadaan sekarang ini karena militer memegang kendali penuh.
“Militer membunuh kami, memperkosa saudara perempuan dan ibu kami, membakar desa kami. Bagaimana mungkin kami tetap aman di bawah kendali mereka? " kata Khin Maung, kepala Asosiasi Pemuda Rohingya di kamp-kamp di distrik Cox's Bazar.
“Setiap repatriasi damai akan sangat berdampak,” katanya kepada kantor berita The Associated Press. “Ini akan memakan waktu lama karena situasi politik di Myanmar sekarang lebih buruk,‘‘ tambahnya.
Aung San Suu Kyi: Ironi Pejuang Kemerdekaan
Aung San Suu Kyi dari Myanmar memiliki komunitas global yang mendukungnya ketika dia menjadi tahanan politik belasan tahun. Namun, dalam beberapa tahun terakhir dia dihujani protes soal militer membantai Muslim Rohingya.
Foto: picture-alliance/dpa
Lahir untuk demokrasi
Aung San Suu Kyi lahir tanggal 19 Juni 1945 di Yangon, yang dulu merupakan ibu kota Myanmar di yaman koloni Inggris. Ia anak perempuan pahlawan nasional Jenderal Aung San yang menjadi korban serangan tahun 1947. Suu Kyi mengenyam pendidikan di Inggris dan pulang ke Myanmar pada akhir 1980an. Dia menjadi tokoh kunci dalam pemberontakan 1988 melawan kediktatoran militer di negara tersebut.
Foto: dapd
Tahanan Rumah
Tahun 1989, sesaat sebelum pemilu, Aung San Suu Kyi untuk pertama kalinya menjadi tahanan rumah. Hampir selama 15 tahun ini hanya mendekam di rumahnya. Setelah tahun 1995, Suu Kyi dilarang bertemu kedua putra dan suaminya, Michael Aris, bahkan setelah suaminya didiagnosis menderita kanker. Aris, terlihat di foto menampilkan gelar doktor kehormatan yang diberikan kepada istrinya.
Foto: TORSTEN BLACKWOOD/AFP
Nobel Perdamaian
Tahun 1991 Aung San Suu Kyi diberi penghargaan Nobel Perdamaian bagi "usahanya memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia." Karena ia khawatir, junta militer tidak akan mengizinkannya kembali ke Myanmar, putranya Kim yang menerima penghargaannya di Oslo. Setelah 20 tahun berselang, Aung San Suu Kyi baru bisa menyampaikan pidato penerimaannya.
Foto: AP
Bebas dari tahanan rumah
Masa tahanan rumahnya benar-benar berakhir tanggal 13 November 2010. Ini momen yang menandakan proses pendekatan antara Aung San Suu Kyi dan junta militer. Militer tidak ingin terus diisolasi oleh dunia internasional dan Aung San Suu Kyi sadar, bahwa ia hanya akan sukses juga melakukan dialog dengan pihak militer.
Foto: picture alliance/epa/N. C. Naing
Kunjungan Pertama Seorang Presiden AS
Akhir 2012, Presiden AS Barack Obama berkunjung ke Myanmar. Ia bertemu dengan Aung San Suu Kyi di rumah tempat ia menjadi tahanan selama bertahun-tahun. Lewat kunjungannya, Obama seakan menghormati perjuangan sang tuan rumah dan membantu Myanmar keluar dari isolasi.
Foto: Reuters/K. Lamarque
Penghargaan dari Berlin
Tahun 2014 Aung San Suu Kyi berkunjung selama dua hari ke Berlin. Ia bertemu dengan Presiden Jerman Gauck dan meraih penghargaan Willy-Brandt atau upayanya memperjuangkan HAM dan demokrasi. Saat itu ia menegaskan, masa depan demokrasi negaranya masih belum jelas.
Foto: picture-alliance/dpa
Disumpah sebagai anggota parlemen
Usahanya selama puluhan tahun akhirnya membuahkan hasil, dan pada tahun 2012 Suu Kyi diizinkan mencalonkan diri dalam pemilu. Dia memenangkan kursi di parlemen saat Myanmar memulai peralihannya dari pemerintahan militer. Ia menjadi pemenang dalam pemilu tahun 2015, tapi pada akhirnya ia menjabat sebagai menteri luar negeri dan penasihat negara - peran yang mirip perdana menteri.
Foto: AP
Dikritik soal Rohingya
Krisis pengungsi Rohingya sedikti mencoreng namanya. Lembaga pembela hak asasi manusia melontarkan kritik terhadap pemenang hadiah Nobel perdamaian itu. Ia dtuding tidak berupaya untuk mengatasi krisis ini. Suu Kyi dianggap takut ditinggalkan pendukungnya yang mayoritas Buddha dalam Pemilu Parlemen.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Tidak lagi disukai
Ketika menjadi penasihat negara di tahun 2016, Suu Kyi membentuk komisi untuk menyelidiki klaim tindak kekejaman negara terhadap kaum Rohingya di negara bagian Rakhine. Suu Kyi menuding Rohingya menyebarkan "segunung informasi yang salah", dan prihatin dengan "ancaman teroris" yang ditimbulkan oleh para ekstremis. Sikapnya memicu protes di negara-negara mayoritas Muslim di seluruh dunia.
Foto: picture-alliance/Zumapress/J. Laghari
Pemilu kontroversial
Pada tahun 2020, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi(NLD) yang berkuasa di Myanmar memenangkan pemilu 8 November, dengan kursi yang cukup untuk membentuk pemerintahan berikutnya. Namun, pihak militer, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan, mengklaim penipuan dan menuntut pemilihan baru yang diawasi oleh militer. Dengan itu muncul komentar-komentar yang menyinggung kemungkinan kudeta.
Foto: Shwe Paw Mya Tin/REUTERS
Militer menahan Aung San Suu Kyi
Aung San Suu Kyi bersama dengan beberapa sekutu politiknya, ditahan dalam penggerebekakan dini hari pada 1 Februari 2021 yang dipimpin oleh militer. Langkah itu dilakukan di tengah meningkatnya ketegangan antara pemerintah sipil dan militer. Junta militer mengklaim kecurangan pemilu dan mengumumkan keadaan darurat selama setahun dan menunjuk seorang mantan jenderal sebagai penjabat presiden.
Foto: Franck Robichon/REUTERS
11 foto1 | 11
Para pejabat dari Myanmar dan Bangladesh bertemu bulan lalu untuk membahas cara-cara memulai repatriasi. Kementerian Luar Negeri Bangladesh tampaknya sangat mengharapkan upaya repatriasi ini bisa sukses dan mengatakan berharap untuk memulainya sekitar bulan Juni.
“Kami mengutuk keras kudeta itu. Kami mencintai demokrasi dan hak asasi manusia, jadi kami khawatir kehilangan keduanya di negara kami,” kata Maung.
“Kami adalah bagian dari Myanmar, jadi kami merasakan hal yang sama seperti rakyat Myanmar pada umumnya. Kami mendesak masyarakat internasional untuk bersuara menentang kudeta, ” tambahnya.
Iklan
'Akan lebih menyiksa kami'
Salah seorang pengungsi Rohingya, Mohammad Jaffar yang berusia 70 tahun, mengatakan mereka telah menunggu untuk kembali.
“Harapan bahwa kami harus kembali sekarang telah terputus oleh perubahan rezim di Myanmar ini,” kata Jaffar. “Repatriasi tidak akan aman sama sekali di bawah rezim ini. ... Sekarang jika kami kembali ke tangan orang-orang yang bertanggung jawab atas penyiksaan terhadap kami, kami mungkin harus menanggung rasa sakit dua kali lebih banyak dari sebelumnya.”
Sementara, para pengungsi lainnya mengatakan repatriasi tidak mungkin dilakukan sekarang.
“Bahkan jika mereka mencoba memulangkan kami, kami tidak akan setuju untuk kembali dalam situasi saat ini. Jika mereka membawa kami kembali ke rezim itu, mereka akan lebih menyiksa kami,” kata Nurul Amin salah seorang pengungsi Rohingya.
Kementerian Luar Negeri Bangladesh mengatakan pada Senin (1/2) bahwa pihaknya berharap kudeta tidak akan menghambat repatriasi para pengungsi.
“Sebagai negara tetangga yang dekat dan ramah, kami ingin melihat perdamaian dan stabilitas di Myanmar. Kami bertekad kuat dalam mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan dengan Myanmar dan telah bekerja dengan Myanmar untuk pemulangan Rohingya secara sukarela, aman dan berkelanjutan yang saat ini berlindung di Bangladesh,” katanya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menggambarkan tindakan keras militer Myanmar terhadap Rohingya sebagai bentuk genosida. Secara total, lebih dari 1 juta pengungsi dilindungi oleh Bangladesh.
Kudeta pada Senin (1/2) adalah kemunduran demokrasi secara dramatis bagi Myanmar, yang muncul dari pemerintahan militer yang ketat dan isolasi internasional yang dimulai pada tahun 1962.