Para pengunjuk rasa diketahui telah mengambil alih kampus-kampus besar di Hong Kong. Sementara kepolisian Hong Kong sebut tewasnya seorang pria akibat lemparan batu bata oleh pengunjuk rasa sebagai pembunuhan.
Iklan
Para pengunjuk rasa diketahui telah mengambil alih kampus-kampus universitas besar Hong Kong dan telah memblokir akses jalan menuju kampus-kampus tersebut. Kepolisian pun terus berupaya meredam jalannya aksi unjuk rasa dengan menambakkan gas air mata.
Pada hari Jumat (15/11) waktu setempat, pihak kepolisian Hong Kong menyampaikan bahwa tewasnya seorang petugas kebersihan jalan yang berusia 70 tahun dianggap sebagai tindak pembunuhan. Para pengunjuk rasa yang terkonsentrasi di kampus-kampus, melempari polisi dengan bebatuan serta menambakkan panah kepada petugas pemerintahan Hong Kong di jalanan.
Pria tersebut meninggal di rumah sakit akibat alami luka di kepala karena terkena lemparan sebuah batu bata oleh seorang pengunjuk rasa yang menggunakan topeng. Polisi menyebut insiden tersebut sebagai "tindak kejahatan pengunjuk rasa."
Para pengunjuk rasa mengaku akan segera kembali membuka akses masuk menuju ke kampus-kampus universitas. Namun, melihat dari tingkat kerusakan yang ada, pemerintah Hong Kong akan tetap menutup akses masuk tersebut.
"Karena jalan-jalan masih dipenuhi puing-puing sisa unjuk rasa, lalu rusaknya petunjuk lalu lintas, maka membuka kembali akses (jalan) berisiko membahayakan pengguna jalan," demikian pernyataan tertulis pemerintah Hong Kong.
Pada hari Kamis (15/11) di London, Menteri Kehakiman Hong Kong, Teresa Cheng, diserang pengunjuk rasa pro-demokrasi Hong Kong. Akibat penyerangan ini, Cheng menderita luka-luka yang cukup serius. Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, mengecam keras penyerangan tersebut dan menyebutnya sebagai "serangan biadab." Pemerintah Cina telah mendesak pihak berwenang Inggris untuk menangkap pelaku penyerangan. Insiden itu menjadi kali pertama serangan langsung yang menargetkan seorang pejabat pemerintah Hong Kong dalam rangkaian unjuk rasa selama lebih kurang enam bulan terakhir ini.
Protes pada hari Jumat ini (15/11) juga menyebabkan kemacetan parah di jalan-jalan protokol Hong Kong serta di Terowongan Cross-Harbour. Perjalanan kereta di sejumlah wilayah di Hong Kong terpaksa ditunda. Polisi pun mengimbau warga untuk tetap berada di dalam rumah, dan bepergian jika hanya merasa diperlukan.
Unjuk rasa pro-demokrasi di Hong Kong berawal ketika massa menuntut pemerintah untuk membatalkan RUU Ekstradisi Cina yang kini sudah dicabut. Namun, kini pengunjuk rasa menuntut hal yang lebih besar yakni adanya transparansi demokrasi di Hong Kong.
Seperti yang diberitakan, pemilu Hong Kong rencananya akan diselenggarakan pada 24 november 2019 mendatang.
rap/ts (AP, dpa, AFP, rtr)
Hong Kong: 20 Tahun Setelah Dikembalikan ke Cina
Hong Kong dikembalikan ke bawah kekuasaan Cina 20 tahun lalu, setelah dikuasai Inggris selama 156 tahun. Sejarah kawasan itu selama ini sudah ditandai sejumlah aksi protes terhadap Cina.
Foto: Reuters/B. Yip
1997: Momentum Bersejarah
Penyerahan Hong Kong dari Inggris kepada Cina terjadi tanggal 1 Juli 1997. Wilayah Hong Kong menjadi koloni Inggris tahun 1842 dan dikuasai Jepang selama Perang Dunia II. Setelah Hong Kong kembali ke Cina, situasi politiknya disebut "satu negara, dua sistem."
Foto: Reuters/D. Martinez
1999: Tidak Ada Reuni Keluarga
Keluarga-keluarga yang terpisah akibat perbatasan Hong Kong berharap akan bisa bersatu lagi, saat Hong Kong kembali ke Cina. Tetapi karena adanya kuota, hanya 150 orang Cina boleh tinggal di Hong Kong, banyak yang kecewa. Foto: Aksi protes warga Cina (1999) setelah permintaan izin tinggal ditolak oleh Hong Kong.
Foto: Reuters/B. Yip
2002: Harapan Yang Kandas
Masalah izin tinggal muncul lagi April 2002 ketika Hong Kong mulai mendeportasi sekitar 4.000 warga Cina yang "kalah perang" untuk dapat izin tinggal di daerah itu. Keluarga-keluarga yang melancarkan aksi protes di lapangan utama digiring secara paksa.
Foto: Reuters/K. Cheung
2003: Pandemi SARS
2003, virus SARS yang sangat mudah menular mencengkeram Hong Kong. Maret tahun itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan adanya pandemi di kawasan itu. Pria ini (foto) hadir dalam upacara penguburan Dokter Tse Yuen-man bulan Mei. Dr. Tse secara sukarela menangani pasien SARS dan tertular virus itu. Hong Kong dinyatakan bebas SARS Juni 2003. Hampir 300 orang tewas akibat penyakit ini.
Foto: Reuters/B. Yip
2004: Demonstrasi bagi Demokrasi
Politik Cina "satu negara, dua sistem" kerap sebabkan ketegangan. 2004, dalam peringatan ke tujuh penyerahan kembali Hong Kong, ratusan ribu orang memprotes, dan menuntut reformasi politik. Mereka menyerukan demokrasi dan pemilihan pemimpin Hong Kong berikutnya.
Foto: Reuters/B. Yip
2008: Tidak Ada Tempat Tinggal
Harga properti yang sangat tinggi sebabkan biaya sewa yang juga tinggi. 2008 rasanya tak aneh jika melihat orang seperti Kong Siu-kau tinggal di apa yang disebut "rumah kandang." Besarnya 1,4 m persegi, dikelilingi kawat besi, dan dalam satu ruang biasanya ada delapan. Sekarang sekitar 200.000 orang menyebut sebuah "kandang" atau satu tempat tidur di apartemen yang disewa bersama, sebagai rumah.
Foto: Reuters/V. Fraile
2009: Mengingat Lapangan Tiananmen
Saat peringatan 20 tahun pembantaian brutal pemerintah Cina di Lapangan Tiananmen (4 Juni 1989), penduduk Hong Kong berkumpul dan menyalakan lilin di Victoria Park. Ini menunjukkan perbedaan besar antara Hong Kong dan Cina. Di Cina pembantaian atas orang-orang dan mahasiswa yang prodemokrasi hanya disebut Insiden Empat Juni.
Foto: Reuters/A. Tam
2014: Aksi Occupy Central
Sejak September 2014, protes skala besar yang menuntut lebih luasnya otonomi mencengkeram Hong Kong selama lebih dari dua bulan. Ketika itu Beijing mengumumkan Cina akan memutuskan calon pemimpin eksekutif Hong Kong dalam pemilihan 2017. Aksi protes disebut Revolusi Payung, karena demonstran menggunakan payung untuk melindungi diri dari semprotan merica dan gas air mata.
Foto: Reuters/T. Siu
2015: Olah Raga Yang Penuh Politik
Kurang dari setahun setelah Occupy Central berakhir, Cina bertanding lawan Hong Kong dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia sepak bola, 17 November 2015. Para pendukung Cina tidak disambut di Hong Kong. Para fans Hong Kong mengejek dan berteriak-teriak ketika lagu kebangsaan Cina dimainkan, dan mengangkat poster bertuliskan "Hong Kong bukan Cina." Pertandingan berakhir 0-0.
Foto: Reuters/B. Yip
2016: Kekerasan Baru
February 2016 tindakan brutal polisi Hong Kong kembali jadi kepala berita. Pihak berwenang berusaha singkirkan pedagang ilegal di jalanan dari kawasan pemukiman kaum buruh di Hong Kong. Mereka mengirim polisi anti huru-hara, yang menggunakan pentungan dan semprotan merica. Bentrokan ini yang terbesar setelah Revolusi Payung 2014. Penulis: Carla Bleiker (ml/hp)