Enterprener Muda Turun Tangan Atasi Sampah di Indonesia
18 Maret 2016
Beberapa warga sudah frustrasi dengan masalah sampah. Mereka lalu turun tangan sendiri. Pengelolaan sampah bisa jadi celah bisnis baru di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia.
Iklan
Hamidi bisa disebut enterprener hijau. Karena dia begitu peduli dengan soal sampah yang terus bertimbun di Jakarta. Dia mencoba memroses sampah plastik jadi bahan bakar.
"Pada awalnya, saya hanya ingin memulai usaha," kata Hamidi, yang memulai prakarsa 'Limbah Untuk Energi' tahun lalu di Tangerang, kota satelit sekitar 25 km di barat Jakarta.
"Tapi melalui prosesnya saya jadi belajar tentang masalah sampah, dan saya pikir ini adalah masalah yang perlu diselesaikan," tutur Hamidi.
Dia adalah salah satu dari sekelompok kecil individu dan organisasi non-pemerintah yang telah melangkah untuk mengelola sampah. Mereka menyerukan kepada pemerintah daerah agar memberi bantuan dana proyek-proyek pengelolaan dan penanggulangan sampah.
Setiap hari, Hamidi mendaur ulang sekitar 25 kg sampah, dengan menyuling sampah plastik menjadi bahan bakar cair. Sebagian besar rumah tangga di Jakarta tidak melakukan daur ulang sama sekali. Sampah mereka dikumpulkan pertugas sampah atau para pemulung, yang membawa sampah pilihan untuk dijual ke pabrik daur ulang.
Indonesia memang termasuk gudang besar sampah plastik. Penduduk Jakarta sendiri setiap hari menghasilkan sampah yang bisa memenuhi beberapa lapangan sepak bola.
Senja di Bantar Gebang
Pemulung biasanya tidak mengenal kata pensiun. Jikapun ada, mereka tidak berhenti melainkan mewariskan pekerjaannya kepada anak-anaknya. Sebagian lain terpaksa mengais melewatii usia senja lantaran kondisi keuangan
Foto: DW
Minim Pengakuan
Muhaemin, 67, sudah mengais sampah di Bantar Gebang sejak 35 tahun. Ketika penglihatannya memburuk, ia memutuskan berhenti bekerja. Muhaemin dan isterinya tidak menerima uang kompensasi dari pemerintah kota. Keduanya dipersulit ketika hendak mengurus KTP lokal. Sebab itu ia masih membawa KTP dari Indramayu, kampung yang sudah ditinggalkannya sejak tiga dekade lalu.
Foto: DW/R. Nugraha
Pemberhentian Terakhir
Lebih dari 6000 ton sampah yang diangkut oleh 600 truk mendarat di Bantar Gebang setiap hari. Menjadikan tempat pembuangan akhir di Bekasi itu terbesar se Indonesia. 5000 pemulung mengais nafkah dan hidup dari sampah buangan penduduk. Kendati tidak diakui pemerintah lokal, keberadaan mereka tidak diusik.
Foto: DW
Turun Temurun
Muhaemin hidup di sebuah gubug berdinding rotan yang ditopang kayu bambu. Putra-puterinya hidup di gubug serupa berdampingan. Pria tua itu tergolong beruntung karena tidak lagi harus mengais sampah. Muhaemin mewariskan pekerjaannya itu kepada sang anak.
Foto: DW
Sepanjang Hari
Dayini, 57, menyortir sampah plastik buat dijual kepada penadah. Ia dan sang suami menempati sepetak tanah di atas tumpukan sampah untuk melakukan pekerjaan harian. Setiap hari keduanya mampu menjual lima keranjang sampah plastik yang bernilai kira-kira Rp. 30.000
Foto: DW
Ala Kadarnya
Pemulung biasanya mengenakan sepatu karet agar tidak terpapar zat-zat beracun selama bekerja di timbunan sampah. Tapi sebagian lain memilih cara yang lebih sederhana. Dayini misalnya memakai sepatu yang ia temukan di sampah. Penyakit bukan kekhawatiran terbesarnya. Ia sendiri bangga belum pernah sakit parah selama mengais di Bantar Gebang
Foto: DW
Ketergantungan
Rasja, 68, suami Dayini. Ia mendapatkan uang tambahan dengan menjahit karung buat dipakai para pemulung. Ia pernah bersumpah tidak akan meminjam uang dari penadah. Tapi kelahiran cucu pertama memaksanya berubah pikiran. Fenomena semacam ini menjamur di Bantar Gebang. Para penadah menjerat pemulung ke dalam ketergantungan melalui pinjaman berbunga tinggi.
Foto: DW
Kemiskinan
Rasja dan Dayini hidup beberapa ratus meter dari timbunan sampah, tanpa air bersih dan sanitasi yang memadai. Perlengkapan dapur yang mereka gunakan kebanyakan berasal dari sampah. Gambaran serupa sering ditemui di rumah-rumah pemulung di Bantar Gebang
Foto: DW
Kehidupan yang Lebih Baik
Rasja dan Dayini berharap nasib yang lebih baik jika sudah tidak lagi memulung. Keduanya berniat pulang ke kampung halamannya di Indramayu untuk menikmati sisa usia.
Foto: DW
8 foto1 | 8
Sebuah TPA di pinggiran kota menerima lebih dari 6.000 ton sampah per hari dari Jakarta. Tapi fasilitas pengolahan limbah tidak mampu menampung sampah yang terus membukit dan menimbulkan risiko lingkungan dan kesehatan.
Karena kapasitas kota-kota besar di Indonesia untuk mengelola sampah sangat terbatas, pemerintah pusat sekarang mempertimbangkan untuk membuka sektor pengelolaan sampah bagi investasi asing.
Menurut para ahli, investor asing memang bisa memboyong teknologi baru dan keahlian pengelolaan sampah yang saat ini sangat dibutuhkan Indonesia.
Negara Sumber Sampah Plastik di Laut
Puluhan juta ton sampah plastik mengotori samudera dan mengancam kehidupan fauna laut. Celakanya Indonesia termasuk deretan negara yang paling gemar membuang sampah plastik ke laut
Foto: Fotolia/sablin
5. Sri Lanka - 1,6 Juta Ton
Sebenarnya jika dilihat dari jumlah sampah plastik per tahun, Sri Lanka termasuk di urutan terbawah dengan cuma 1,8 juta ton. Tapi 84% di antaranya tidak diolah dan akhirnya mencemari laut. Tercatat setiap penduduk pesisir Sri Lanka bertanggungjawab atas 109 kilogram sampah plastik setiap tahunnya.
Foto: picture alliance/AP Photo
4. Filipina - 1,8 Juta Ton
Sedikitnya 2,2 juta ton sampah plastik diproduksi Filipina setiap tahun, 83 persen di antaranya tidak diolah alias mendarat di laut. Secara keseluruhan setiap penduduk pesisir Filipina membuang 22,6 kilogram sampah plastik ke laut setiap tahunnya.
Foto: picture-alliance/dpa
3. Vietnam - 1,8 Juta Ton
Dari dua juta ton sampah plastik yang diproduksi Vietnam, 1,8 juta ton alias 88 persen mencemari air laut. Artinya setiap penduduk pesisir Vietnam membuang 32,9 kilogram sampah plastik ke laut per tahun - termasuk yang paling tinggi di dunia.
Foto: DW/Manfred Götzke
2. Indonesia - 3,2 Juta Ton
Dihitung dari prosentase jumlah sampah plastik yang tidak diolah, Indonesia termasuk yang paling tinggi di dunia. Sebanyak 87 persen dari 3,8 juta ton sampah plastik yang dibuang setiap tahun mendarat di laut. Artinya setiap penduduk pesisir Indonesia bertanggungjawab atas 17,2 kilogram sampah plastik yang mengapung dan meracuni satwa laut.
Foto: JEWEL SAMAD/AFP/Getty Images
1. Cina - 8,8 Juta Ton
Hasil studi University of Georgia menempatkan Cina sebagai negara konsumen plastik terbesar di dunia. Dari rata.rata 11, 5 juta ton sampah plastik per tahun, sebanyak 78% diantaranya mendarat di lautan lepas. Jika dihitung setiap penduduk di wilayah pesisir Cina membuang 33,6 kilogram plastik ke laut per tahunnya.
Foto: STR/AFP/Getty Images
5 foto1 | 5
Bulan lalu, pemerintahan Presiden Joko Widodo meluncurkan aturan baru yang mengharuskan supermarket di beberapa kota besar menjual kantong plastiknya. Tapi harga wajibnya terlalu rendah, hanya 200 rupiah per kantong plastik, sehingga tidak mungkin menjadi pencegah sampah plastik yang efektif.
"Pemerintah melakukan terlalu sedikit, bukan hanya dengan sampah plastik, melainkan juga dengan pengelolaan sampah secara umum," kata Marco Kusumawijaya dari Rujak Center for Urban Studies di Jakarta.
"Kantong plastik seharusnya dilarang ... dan pemerintah harus memungkinkan inisiatif-inisiatif skala kecil untuk berkembang," kata dia.
hp/ml (rtr)
"Upcyling" Sampah Jadi Karya Seni
Bisakah membuat karya seni berkualitas tinggi dengan sampah? "Upcycling" membuat semuanya jadi mungkin. Di Kenya, orang-orang membuat produk-produk khas yang berguna dan ramah lingkungan dari sampah.
Foto: Isabella Bauer
Mode Ramah Lingkungan
London-Paris-Nairobi. Sudah sejak lama ibukota Kenya mengukir nama menjadi kota mode. Banyak rancangan yang tak hanya asli tapi juga ramah lingkungan. "Upcycling" kini jadi tren di Kenya. Sampah dan barang-barang tak berguna dijadikan produk baru. Di Eropa, masyarakat pengolah limbah sampah merupakan fenomena langka. Di Kenya, hal tersebut sudah jadi rutinitas harian.
Foto: Mia Collis
Diolah Untuk Catwalk
“Hidup kedua“ adalah tema rancangan Nike Gilager Kondakis yang terbuat dari hasil upcycling baju-baju bekas. Berton-ton baju-baju diimpor dari Eropa, itu alasannya mengapa Afrika Timur makin jarang memproduksi kain dan baju kulit sendiri. Kondakis memotong baju-baju tersebut, mengkombinasikannya satu sama lain dan membuatnya jadi rajutan. Hasilnya bisa sebuah bolero atau kemeja.
Foto: Mia Collis
Serpihan Pembawa Keberuntungan dan Seni
Kaca bekas adalah bahan bakunya. Di kota Kitengela yang terletak di selatan Nairobi, seorang seniman Jerman, Nani Crozi telah mendirikan tempat pembuatan seni kaca terbesar di Afrika Timur. Ada sekitar 40 orang pekerja kreatif yang hidup dan bekerja disana. Setiap-hari, berton-ton gelas bekas diserahkan ke “desa para seniman“ itu, untuk di hancurkan dan dicairkan di tungku khusus kaca.
Foto: Isabella Bauer
Aksesoris Warna-warni
Seniman-seniman Kitengela juga terkenal dengan pernak-pernik kaca buatan mereka yang unik dan terbuat dari tangan. Pernak-pernik ini sangat digemari oleh para perancang mode Kenia. Manik-manik tersebut bisa dijual langsung atau dibawa ke “desa para seniman“ untuk diproses lebih lanjut.
Foto: Isabella Bauer
Bukan Untuk Dibuang
Kibe Patrick telah hidup dan bekerja selama 4 tahun di komunitas para seniman di Kitengela. “Saya selalu menggunakan barang bekas untuk karya seni," katanya. Kini, ia sedang berusaha menggabungkan kaleng dengan manik-manik khas Kitengela. Baginya ini tentang menciptakan hal baru yang asli buatannya sendiri.
Foto: Isabella Bauer
Kesenian Hijau
Sejak tinggal di Kitengela, Kibe Patrick bisa medapat uang lewat keahlian seninya. Karya seninya sangat ramah lingkungan. Di Afrika sampah melimpah, sebab plastik, botol atau logam bekas hampir tak pernah di daur ulang. Siapapun yang bekerja dengan sampah-sampah ini hanya perlu sedikit energi. Selain mengurangi polusi udara dan air, ia juga telah mengurangi emisi gas rumah kaca.
Foto: Isabella Bauer
Perhiasan dari Sampah
Perancang perhiasan Marie Rose Iberli juga memakai manik-manik Kitengela di koleksinya. Selain itu, ia juga membuat manik-manik dari kertas, tulang, almunium dan tanduk. “Sebagai seorang perancang yang membuat saya terpesona adalah keterbatasan alami bahan-bahan ini", katanya. Lebih menarik bekerja menggunakan barang-barang itu, daripada plastik - bahan yang hampir bisa dibuat untuk apa saja.
Foto: Isabella Bauer
Dari Bahan Jadi Ide
Apakah pekerjaan menggunakan tanduk atau tulang itu termasuk “recycling“ atau “upcycling“ atau tidak dua-duanya? Iberli membiarkan pertanyaan itu tetap terbuka. Baginya satu hal yang jelas: Ketika membuat perhiasan berkulitas tinggi dengan menggunakan almunium motor bekas- ia sadar, bahwa seringkali bahan pembuat kerajinan senilah yang memberikan ide-ide pada rancangannya.
Foto: Isabella Bauer
Tradisi dan Tren
Ide untuk memungut dan menggunakan sesuatu kembali, sering menghinggapinya, kata Iberli. Seperti, seniman Nani Croze, Iberli juga berasal dari Jerman. Ia adalah seniman yang banyak dipengaruhi oleh masa setelah Perang Dunia II. Dan terserah saja, mau disebut sebagai "recycling" atau "upcycling"- kesenian Kitengela adalah sebuah tradisi sekaligus tren dan telah diterima baik di Eropa.