1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiGlobal

Penjualan Lesu, Barang-Barang ‘Branded’ sedang Krisis

20 Agustus 2025

Data penjualan terbaru menunjukkan industri barang mewah, yang bertahan menghadapi pandemi Covid, kini mulai goyah. Penurun pendapatan tercatat hingga 4%. Apakah barang-barang mewah sudah kehilangan pamornya?

Dapatkah produsen barang mewah terus menaikkan harga di tengah lesunya pembelian? (Foto pertujukkan mode di Paris awal Maret 2025)
Dapatkah produsen barang mewah terus menaikkan harga di tengah lesunya pembelian?Foto: Zeppelin/Avalon/Photoshot/picture alliance

Lebih dari seratus atlet Olimpiade Paris 2024 mengembalikan medali yang berkarat - ini jadi pertanda buruk bagi perusahaan yang mendesainnya. Medali tersebut dirancang oleh perusahaan perhiasan Prancis, Chaumet, yang dimiliki oleh LVMH, raksasa barang mewah.

Meskipun medali diproduksi oleh Lembaga Percetakan Uang Prancis, LVMH mendapat citra buruk atas promosi yang berlebihan namun gagal menampilkan kualitas yang sepadan.

Bernard Arnault (belakang kanan) saat inaugurasi Presiden TrumpFoto: Shawn Thew/ABACAPRESS/IMAGO

Pelopor barang mewah yang sedang tidak baik-baik saja

LVMH yang berbasis di Paris kini sedang stagnan. 

Pada akhir 2022, nilai pasar LVMH melonjak tinggi, hal ini membuat Bernard Arnault, pendiri dan pemimpin perusahaan yang memiliki sekitar setengah saham perusahaan tersebut didaulat menjadi orang terkaya di dunia.

Namun sejak itu, harga saham 75 merek bergengsi dan mahal seperti Louis Vuitton, Dior, dan perhiasan Bulgari dan Tiffany & Co mengalami penurunan signifikan.

Data semester pertama 2025 yang dirilis perusahaan tersebut pada 24 Juli, menunjukkan penurunan pendapatanan sebesar 4% dibandingkan periode yang sama di tahun 2024.

Laba operasional turun 15% menjadi €9 miliar (170 triliun rupiah). Wine, minuman beralkohol, fashion, dan produk dari kulit mengalami penurunan pendapatan dan laba operasional, sementara penjualan jam tangan mewah, perhiasan, parfum, dan kosmetik tetap stabil.

LVMH menyatakan, perusahaannya "menunjukkan resistensi yang baik dan mempertahankan inovasi yang kuat di tengah gangguan geopolitik dan ekonomi.” Permintaan di Eropa dikatakan ‘kuat' sedang permintaan AS "tetap stabil”.

Di tengah gempuran tarif, penjualan jam tangan Rolex masih tergolong stabilFoto: Jimin Kim/SOPA Images/IMAGO

Harga yang ‘meroket' dan stok berlebih

LVMH bukan satu-satunya produsen barang mewah yang sedang mengalami kesulitan. Kering, yang berbasis di Paris yang menaungi merek-merek seperti Gucci, Bottega Veneta, dan Yves Saint Laurent, juga melaporkan penurunan penjualan yang signifikan pada paruh pertama tahun ini.

"Industri barang mewah sedang memasuki pusaran kematian,” prediksi Katharine K. Zarrella dalam rubrik opini New York Times Desember 2024. "Setelah satu dekade pertumbuhan yang hampir tak terkendali, sektor ini mengalami penurunan drastis secara global. Analis menduga, pembeli kelas menengah mengurangi pengeluaran mereka untuk barang mewah, dan permintaan barang mewah di Cina menurun.”

Zarrella, seorang editor mode berpengalaman, melihat pertanda  buruk ini - seperti kenaikan harga dan kualitas yang buruk. Selain itu, semakin banyak barang bermerek yang tersisa dari stok yang berlebih, yang dijual di toko diskon. Barang mewah yang semakin umum didapat, semakin berkurang daya tariknya

"Tempat-tempat yang dulu disegani yan dengan bangga menonjolkan keahlian kerajinan tangan, layanan, dan menumbuhkan kebijakan berbasis  pelanggan setia, kini berubah menjadi ‘mesin pemasaran massal', sebanding dengan toko coklat M&M's di Times Square,” katanya menyimpulkan.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

‘Terpukul' tarif AS

Ketidakpastian tarif jadi masalah lainnya bagi industri. Saat ini, pemerintahan Trump telah memberlakukan tarif 15% untuk barang-barang dari Uni Eropa dan bahkan tarif 39% untuk barang-barang dari Swiss. Banyak barang mewah diproduksi di Prancis atau Italia, dan banyak jam tangan berasal dari Swiss.

Umumnya orang rela menghabiskan uang untuk berbelanja barang mewah jika mereka merasa optimis tentang masa depan, ekonomi yang stabil, pekerjaan mereka aman, dan investasi dapat berkembang. Namun, tarif-tarif dagang yang turun-naik atau hilang menyebabkan banyak ketidakpastian.

Pembeli Cina lebih berhati-hati

"Meskipun beberapa merek mewah masih digemari di Cina, penjualan merek lainnya turun drastis," kata Imke Wouters, mitra di perusahaan konsultan Oliver Wyman dan pakar ritel dengan pengalaman 15 tahun di Cina.

Kedepannya, Wouters memperkirakan industri ini akan mengalami pertumbuhan yang moderat, "Ini tidak seperti masa-masa kejayaan sebelumnya,” katanya kepada DW. Akan ada merek yang bertahan ada juga yang akan bangkrut.

Tarif AS terhadap barang mewah Eropa tidak akan mempengaruhi pembeli Cina, tetapi ketidakpastian geopolitik membuat mereka lebih memilih berbelanja di dalam negeri. 

Tren belanja di dalam negeri ini diperkirakan naik dari 40% menjadi sekitar 75%. Namun, dengan kondisi ekonomi Cina yang cenderung melemah, banyak pembeli kelas menengah berhenti membeli barang mewah. 

Untuk tetap menarik konsumen yang tersisa di Cina, produsen merek mewah harus fokus meningkatkan pengalaman berbelanja, menawarkan keunikan produk, dan memastikan kenaikan harga sebanding dengan kualitas.

Menyasar pembeli-pembeli muda kelas atas

Menurut perusahaan konsultan Bain&Company, lesunya pembelian membuat industri barang mewah menghadapi kemunduran terbesar sejak krisis keuangan yang terjadi di tahun 2008-2009, diluar dampak Pandemi Covid-19.

Tahun lalu, penjualan barang mewah turun 1% secara global, dan tahun ini angka penjualan terus menurun. Bain&Company memperkirakan akan terjadi penurunan sebesar 2-5% hingga akhir tahun, tetapi mereka yakin prospeknya lebih cerah di masa depan.

Claudia D'Arpizio dan Federica Levato dua analis Bain&Company menyatakan, jumlah pembeli barang mewah masih dapat ditingkatkan dengan "Memperluas jangkauan ke pasar yang sedang tumbuh dan menyasar lebih banyak pembeli generasi muda dari kalangan menengah keatas.”

Namun jumlah pembeli yang besar tidaklah cukup, "Merek-merek tersebut harus mengubah cara berinteraksi dengan konsumen muda, mengurangi ketergantungannya pada pelanggan lama, serta membangun hubungan emosional yang  lebih mendalam dan melewati batasan loyalitas transaksionbal belaka.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Sorta Caroline

Editor: Agus Setiawan