Komunikasi sains, sebuah ranah ilmu dan praktik yang rasanya masih merupakan barang asing di Indonesia. Apakah yang dimaksud komunikasi sains? Berikut opini Rahadian Rundjan.
Iklan
Usai tenggelam Dwi Hartanto, terbitlah Taruna Ikrar. Keduanya diterpa masalah serupa yang menjadikan mereka perhatian publik Indonesia, yakni membesar-besarkan prestasi akademis di media massa yang berujung luapan hujatan, karena ternyata mereka berdusta. Dwi Hartanto dulu menggadang-gadangkan dirinya sebagai seorang ilmuwan roket terkemuka, seorang "the next Habibie”. Sedangkan Taruna Ikrar mengklaim bahwa dirinya mendapatkan nominasi Nobel. Terlepas kebohongan keduanya, ada satu hal yang sejatinya turut penting untuk diperbincangkan: di manakah daya kritis media yang memberitakannya?
Terlihat bahwa media kita kerap memperlakukan hal-hal terkait sains, terutama yang datangnya dari anak bangsa sendiri, sebagai sesuatu yang otomatis layak dibombastiskan. Media lalai melakukan riset mendalam terkait latar belakang kedua tokoh tersebut, malah mentah-mentah mengamini pernyataan mereka, suatu hal yang dapat dikatakan sembrono dan justru mensponsori pemberitaan palsu alias hoax. Hasilnya, masyarakat kita yang termasuk kagetan dan amat senang berbagi informasi tanpa kritik, mencerna informasi yang keliru. Hal tersebut jelas memperlihatkan sebuah mentalitas buruk dalam merespon isu-isu sains.
Solusinya adalah science communication yang baik. Komunikasi sains, sebuah ranah ilmu dan praktik yang rasanya masih merupakan barang asing di Indonesia, saya rasa cukup mendesak untuk dikembangkan. Apakah komunikasi sains? Sederhananya, ia adalah ilmu mengomunikasikan topik-topik sains dari ilmuwan kepada ilmuwan, dan publik. Dalam praktik, hal tersebut dilakukan melalui pameran, jurnalisme, dan pemetaan kebijakan publik dengan sains sebagai elemen utamanya. Serta yang tak kalah penting, keberadaan komunikator sains selaku penyebar informasi sains dengan gaya populer dari ilmuwan kepada kalangan publik.
Kendala Mempopulerkan Sains
Neil deGrasse Tyson, ilmuwan astrofisika dan komunikator sains ternama asal Amerika Serikat, mengatakan bahwa keahlian menulis adalah syarat mendasar bagi seorang komunikator sains. Lebih tepatnya, kemampuan mengomunikasikan kompleksitas sains ke dalam bahasa yang mudah dimengerti dan menarik bagi masyarakat luas. Umumnya, komunikasi tersebut dilakukan di medium jurnalistik seperti blog, sosial media, dan televisi; terutama apabila sang komunikator sains mempunyai reputasi besar, misalnya Neil yang menjadi pembawa acara beberapa tayangan sains populer seperti Nova ScienceNow, Cosmos: A Spacetime Odyssey, dan StarTalk.
Sains Berutang Budi pada Perempuan-perempuan ini
Meski seksisme yang merajalela, sejumlah perempuan mampu membuktikan betapa gender tidak menentukan bakat seseorang. Hasil kerja mereka menjadi landasan kemajuan sains di era modern.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Thissen
Ada Lovelace, Matematika
Terlahir tahun 1815, Ada Lovelace adalah pakar matematika berbakat yang menulis instruksi program komputer pertama pada pertengahan abad 18. Ada termasuk ilmuwan paling pertama yang meyakini kalkulator memiliki kemampuan melebihi fungsinya sebagai alat menghitung. Namanya melambung setelah membantu pionir komputer, Charles Babbage, mengembangkan mesin komputasi pertama, Analytical Engine
Foto: public domain
Marie Curie, Fisika Nuklir
Marie Curie adalah perempuan pertama yang memenangkan hadiah Nobel, yang pertama mendapat dua penghargaan bergengsi itu dan satu-satunya manusia yang memenangkan hadiah Nobel di dua bidang yang berbeda. Dilahirkan pada 1867, Curie termasuk ilmuwan paling dikenal dalam sejarah berkat risetnya di bidang radiasi nuklir dan penemuan dua elemen baru, yakni radium dan polonium.
Foto: picture alliance/United Archiv
Rosalind Franklin, Kimia
Rosalind Franklin tidak pernah mendapatkan hadiah Nobel, meski karyanya bernilai penting buat ilmu pengetahuan. Pasalnya perempuan Yahudi asal Inggris ini berhasil mengungkap rahasia struktur molekuler DNA dan RNA. Berbekal hasil penelitian Franklin, dua ilmuwan lain, James Watson dan Francis Crick, berhasil menemukan DNA Heliks Ganda dan mendapat hadiah Nobel di bidang Kedokteran.
Foto: picture-alliance/HIP
Dorothy Hodgkin, Kimia
Pionir Biokimia Inggris, Dorothy Hodgkin, berteman dekat dan sering bekerjasama dengan Franklin. Ia mengembangkan teknik Kristalografi protein yang mampu mengungkap struktur biomolekul dan menjadi perempuan ketiga yang memenangkan Nobel Kimia pada 1964. Lima tahun setelah kemenangannya itu, Hodgkin kembali mencatat sejarah sains setelah berhasil mengurai struktur Insulin.
Foto: picture-alliance/dpa/Leemage
Elizabeth Blackburn, Biologi
Perempuan Amerika berdarah Australia ini memenangkan hadiah Nobel di bidang Medis pada 2009 silam. Bersama dua ilmuwan lain, Carol Greider dan Jack Szostak, Elizabeth Blackburn mengungkap bagaimana enzim telomer melindungi dan mengurangi kerusakan DNA, serta berperan pada proses penuaan. Hasil risetnya itu mendasari penelitian Kanker hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa/S.Merrell
Jane Goodall, Primatologi
Goodall bisa jadi merupakan pakar simpanse paling berbakat dalam sejarah. Ia menghabiskan puluhan tahun mempelajari perilaku sosial dan interaksi intim primata cerdas ini di Tanzania. Goodall yang juga menemukan bahwa satwa memiliki kepribadian unik sering dituduh melakukan Antropomorfisme alias mendefinisikan hewan berdasarkan atribut manusia.
Foto: picture alliance/Photoshot
Rita Levi-Montalcini, Neurobiologi
Dilahirkan di Italia 1909, karir Montalcini sempat mandek lantaran diskriminasi anti Yahudi yang marak di era Benito Mussolini. Karena dilarang bekerja, dia lalu membangun laboratorium di kamar tidurnya sendiri. Pada 1986 ia mendapat hadiah Nobel setelah berhasil mengosolasi Faktor Pertumbuhan Syaraf (NGF) dari jaringan kanker. Montalcini berusia 100 tahun ketika memenangkan Nobel.
Foto: picture-alliance/maxppp/Leemage
Jocelyne Bell-Burnell, Fisika
Pada 1967 Jocelyne Bell-Burnell menemukan sinyal yang berotasi secara berkala. Sinyal yang awalnya diduga pesan dari mahluk luar angkasa itu ternyata adalah bintang neutron. Penemuan tersebut dirayakan sebagai salah satu pencapaian terbesar Astronomi di abad ke-20. Hingga kini, keputusan panitia Nobel tidak menghargai hasil kerja Jocelyne masih menjadi kontroversi. (rzn/yf)
Foto: Getty Images/AFP/M. Cizek
8 foto1 | 8
Belum lama, ada kawan, seorang profesional perusahaan media dan lulusan studi sains, menceritakan pengalamannya kepada saya kala dirinya berkorespondensi dengan sejumlah ilmuwan lokal perihal mengapa mereka cenderung absen dalam mengomunikasikan sains yang mereka kuasai ke publik, terutama di media sosial. Jawabannya, kekhawatiran dalam menerima komentar negatif masyarakat, apalagi jika penelitian mereka menyinggung tabu lalu direspon secara kasar menggunakan dalil-dalil agama yang justru tidak nyambung. Biasanya, sebab masalahnya ada dua,yakni tidak terampilnya cara berkomunikasi sang ilmuwan, dan kebebalan masyarakatnya sendiri.
Pertama, keterampilan berkomunikasi. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa kemampuan menulis ilmuwan-ilmuwan Indonesia, baik untuk keperluan akademis maupun publik, masih bertaraf rendah. Sulit bagi mereka menembus jurnal-jurnal internasional dengan Bahasa Inggris yang pas-pasan, sama halnya dengan sulitnya mereka menembus media massa dengan gaya Bahasa Indonesia yang kaku dan tidak menarik; yang terakhir adalah keluhan yang cukup sering saya dengar dari kawan-kawan yang berprofesi sebagai editor. Agaknya, terlalu banyak berjibaku dengan urusan birokrasi-administratif membuat sebagian besar ilmuwan Indonesia jarang menulis.
Kedua, kebebalan masyarakat, terutama bagaimana sains seringkali diposisikan antagonis terhadap nilai-nilai keagamaan. Sebutlah isu halal-haram vaksin dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi program vaksinasi anak di beberapa daerah. Menurut data tahun 2017 terbaru dari Kementerian Kesehatan, provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat gagal memenuhi target vaksinasi sebesar 95%, alasannya karena masyarakat meragukan kehalalan enzim babi dalam vaksin. Padahal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa No. 4 tahun 2016 yang menghalalkan imunisasi, sayangnya informasi fatwa tersebut belum ampuh meyakinkan sebagian masyarakat.
7 Misteri Iptek Yang Belum Terpecahkan
Para ilmuwan sejak lama berusaha memecahkan sejumlah misteri ilmu pengetahuan yang ternyata hingga kini tetap belum terpecahkan. 7 diantara misteri sains yang masih dilacak jawabannya.
Foto: Fotolia/Noel Powell
Materi Lebih Banyak dari Anti Materi?
Berdasar ilmu fisika partikel yang dipahami saat ini, jumlah materi dan anti materi seharusnya seimbang dan jika bertemu akan saling memusnahkan. Tapi faktanya jumlah materi lebih banyak dari anti materi. Buktinya adalah milyaran galaksi dan trilyunan bintang di jagad raya yang tersusun dari materi. Hingga kini masih diteliti mengapa jumlah anti materi lebih sedikit dari materi?
Foto: picture alliance/dpa
Apa Penyusun Materi Gelap?
Lebih 80 persen massa di jagad raya tidak kasat mata dan disebut materi gelap. Para ilmuwan hingga kini belum mengetahui komposisi materi yang tidak memancarkan cahaya itu. Sejak ditemukan indikasinya 60 tahun lalu, hingga kini tidak ada bukti langsung eksistensi materi gelap ini. Artinya tidak ada yang tahu persis bagaimana komposisi materi gelap tersebut.
Foto: picture-alliance/dpa
Apa Energi Gelap itu?
Energi gelap menjadi misteri yang lebih besar dibanding materi gelap. Energi gelap diyakini mencakup lebih 70 persen dari seluruh energi di alam semesta dan diduga merupakan implikasi dari ekspansi jagad raya. Dipertanyakan apakah energinya konstan atau berfluktuasi mengikuti ekspansi alam semesta? Tersusun dari apa? Mengapa terindikasi kerapatannya mirip dengan densitas materi?
Foto: Zosia Rostomian, LBNL; Nic Ross, BOSS Lyman-alpha team, LBNL; and Springel et al, Virgo Consortium and the Max Planck Institute for Astrophysics
Adakah Makhluk Cerdas Lain?
Apakah manusia satu-satunya makhluk cerdas di jagad raya? Alam semesta kasat mata, diameternya sekitar 92 tahun cahaya dan berisi milyaran galaksi, bintang dan planet, tapi tidak ada pertanda eksistensi makhluk cerdas lain. Atau “alien” itu sejak lama telah berkunjung ke bumi, cuma kita tidak tahu atau mereka tidak mau menjalin kontak?
Foto: picture-alliance/dpa
Bagaimana Kehidupan Muncul?
Misteri lain yang terkait erat dengan manusia adalah, bagaimana kehidupan muncul? Dari mana asal usul kehidupan di bumi? Mengapa di bumi? Banyak teori dilontarkan, mulai dari model adonan purba yang berkembang mejadi molekul kompleks yang punya DNA hingga teori kehidupan berupa mikroba yang terbawa komet atau meteorit. Tapi semua itu tidak menjawab pertanyaan bagaiama kehidupan bisa terjadi?
Foto: Fotolia/Gernot Krautberger
Bagaimana Mekanisme Gravitasi?
Semua tahu, gravitasi dari bulan membuat siklus pasang dan surut laut di bumi. Gravitasi bumi membuat manusia tetap berada di permukannya dan gravitasi matahari membuat bumi stabil di orbitnya. Tapi para ilmuwan hingga kini masih belum dapat memastikan, bagaimana cara kerja gravitasi itu. Mengapa gaya yang menjaga stabilitas atom beda dengan gaya tarik bumi? Apakah gravitasi itu partikel?
Foto: NASA
Bagaimana Cara Kerja Lempeng Tektonik?
Kita juga tahu, pergerakan lempeng tektonik memicu gempa, aktivitas gunung api, membentuk benua dan gunung, tapi para ilmuwan belum tahu sepenuhnya mekanisme gerakan lempeng ini. Alfred Wegener saat melontarkan teorinya tahun 1932 ditertawakan banyak ilmuwan, dan baru 1960 teori dapat dibuktikan. Tapi hingga kini masih jadi misteri, apa pemicu gerakan ini dan bagaimana batas lempengan tercipta.
Foto: picture-alliance/ Globus Infografik
7 foto1 | 7
Agama bukan satu-satunya alasan perihal rendahnya penetrasi sains dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pemerintah juga sering menelurkan kebijakan sains yang tidak tepat sasaran, mulai dari kecilnya kucuran dana riset, minimnya pengadaan alat-alat penelitian, sampai buruknya koordinasi dengan stakeholder di lapangan. Berbeda dengan negara maju, misalnya Amerika, yang pemerintah maupun pihak swastanya mampu mengolah sains untuk mendorong perekonomian dan kesejahteraan sosial masyarakatnya. Bahkan pihak swasta, terutama perusahaan-perusahaan media televisi, berani memberikan dana dan ruang bagi para ilmuwan untuk tampil sebagai mengomunikasikan keahliannya.
Momen kolaborasi media-ilmuwan terpenting dalam masa kontemporer adalah diproduksinya serial dokumenter Cosmos: A Personal Voyage, disiarkan tahun 1980 di Amerika, dipandu kosmolog Carl Sagan sebagai pembawa acaranya. Cosmos, yang membahas tentang sejarah alam semesta dan seputar fenomena sainsnya, tercatat ditonton oleh 500 juta orang di 60 negara, menjadikannya salah satu tayangan paling banyak ditonton dalam sejarah pertelevisian. Cosmos, dan Carl Sagan, lantas menjadi inspirasi bagi para komunikator sains ternama masa kini, seperti Neil deGrasse Tyson, Brian Cox, dan Bill Nye.
Sains berkaitan dengan inovasi, dan media massa berperan menyebarluaskannya. Sayangnya, saya melihat stasiun televisi Indonesia cenderung belum mampu mempersembahkan acara-acara bertemakan sains yang dibalut dengan elegan, inspiratif bagi kalangan anak-anak maupun dewasa, dan dipandu seorang komunikator sains yang kharismatik layaknya di Amerika; kecuali mungkin acara kuis Indosat Galileo yang dulu sempat tayang di SCTV pada periode 1999-2003. Masalah sumber daya, dana produksi, dan pangsa penonton yang mungkin relatif khas, menjadikan tayangan berbau sains bagaikan barang mahal yang meragukan untuk dijual.
Inilah Universitas Terbaik di Dunia
Universitas Oxford, MIT... Anda tentu mengenal nama-nama universitas beken tersebut. Tapi universitas manakah yang terbaik di dunia? Berikut 10 teratas untuk tahun 2016 berdasarkan Times Higher Education.
Foto: public domain
1. Universitas Oxford (Inggris)
Oxford adalah universitas tertua di belahan dunia yang berbahasa Inggris dan universitas tertua kedua di dunia yang masih eksis sampai sekarang. Banyak alumni terkenal dari universitas ini. Termasuk 26 pemenang Hadiah Nobel dan lebih dari 30 pemimpin dunia, misalnya Bill Clinton, Aung San Suu Kyi, Indira Ghandi dan 26 perdana menteri Inggris.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Burton
2. California Institute of Technology (AS)
Awalnya didirikan dengan nama Throop University tahun 1891 di Pasadena, California. Namanya berganti menjadi California Institute of Technology tahun 1920. Hingga sekarang, 34 alumni dan fakultas Caltech telah meraih 35 penghargaan Nobel.
Foto: picture-alliance/dpa/R.Chiu
3. Universitas Stanford (AS)
Stanford University memiliki salah satu kampus terbesar di Amerika Serikat. 21 alumninya adalah penerima hadiah Nobel. Para pendiri Google berkenalan di Stanford saat mengambil gelar doktor, walau pada akhirnya tidak ada satu pun yang berhasil menyelesaikan disertasinya.
Foto: King of Hearts/Wikimedia Commons/dpa
4. Universitas Cambridge (Inggris)
Didirikan tahun 1209, Cambridge adalah universitas tertua keempat di dunia dan tertua kedua di belahan dunia yang berbahasa Inggris.
Foto: Fotolia/Konstiantyn
5. Massachusetts Institute of Technology (AS)
85 peraih Nobel adalah alumni MIT. Termasuk Kofi Annan, mantan Sekjen PBB yang bersama PBB memperoleh Nobel Perdamaian tahun 2001.
Foto: AFP/Getty Images
6. Universitas Harvard
Nama universitas ini merujuk pada nama pemberi dana awal John Harvard. Ia menyumbangkan perpustakaan dan setengah kekayaannya bagi insitusi ini setelah meninggal di tahun 1638. 13 presiden AS diberi gelar kehormatan dari Harvard. Perpustakaan akademik terbesar di dunia juga ada di universitas ini.
Foto: Getty Images
7. Universitas Princeton (AS)
Anggota fakultas yang meraih Nobel dalam beberapa tahun terakhir termasuk ahli kimia Tomas Lindahl dan Osamu Shimomura, ekonom Paul Krugman dan Angus Deaton, ahli fisika Arthur McDonald dan David Gross.
Foto: cc-by-carbonnyc
8. Imperial College London (Inggris)
Alumni yang terkenal termasuk penulis fiksi ilmiah H.G. Wells, gitaris Queen Brian May, dan mantan PM India Rajiv Gandhi. Moto Imperial College London adalah Scientia imperii decus et tutamen, yang artinya “pengetahuan ilmiah adalah perhiasan dan perlindungan dari kekaisaran”.
Foto: Getty Images/J.Li
9. ETH Zurich – Swiss Federal Institute of Technology Zurich
Pada awalnya didirikan tahun 1855 sebagai Federal Polytechnic School. Kini ETH Zurich dianggap sebagai universitas yang paling bergengsi di dunia di bidang sains dan teknologi. 20 alumninya meraih penghargaan Nobel. Termasuk Albert Einstein.
Foto: picture-alliance/KEYSTONE
10. University of California, Berkeley
Selain terkenal di bidang akademis, Universitas Berkeley memiliki tradisi sebagai lokasi pusat kegiatan politik. Di tahun 60-an dan 70-an, kampus ini jadi tempat berkumpulnya mahasiswa yang memprotes perang Vietnam.
Foto: Imago
10. Universitas Chicago
80 penerima Nobel pernah menimba ilmu atau bekerja di universitas ini. Termasuk diantaranya ekonom Robert E. Lucas (1995), James J. Heckman (2000), Roger Myerson (2007), Lars Peter Hansen (2013), Eugene Fama (2013), dan ahli fisika James Cronin (1980).
Foto: picture-alliance/dpa/J. T. Werner
24. National University of Singapore (NUS)
Inilah universitas terbaik di Asia. NUS memiliki tiga lokasi kampus - Kent Ridge, Bukit Timah dan Outram. Ada sekitar 38.000 mahasiswa dari 100 negara. Selain itu, NUS juga memiliki tiga pusat penelitian unggulan (RCE).
Foto: Imago
801. UI dan ITB
Dari 980 institusi yang disurvey, dua universitas dari Indonesia menempati peringkat yang sama, yakni 801. Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia. Sangat jauh perbedaannya dengan universitas terbaik di Asia, National University of Singapore (NUS) yang berada di peringkat 24.
Foto: public domain
13 foto1 | 13
Membuka Dialog, Mencerahkan Publik
Penerapan komunikasi sains adalah missing link dari upaya pengembangan sains di Indonesia. Padahal, membagikan pengetahuan yang dimiliki dan menebar inspirasi melaluinya adalah aspek terindah dari sains itu sendiri. Di masa kini, sains tidak bisa lagi eksklusif, ia harus memicu dialog publik. Komunikasi sains yang mumpuni berperan penting dalam merawat nalar publik, terutama di masa modern seperti sekarang.
Harapan lainnya, agar masyarakat tidak termakan isu-isu hoax seputar inovasi sains di negeri sendiri. Contohnya cukup banyak ditemukan dalam satu dekade belakangan ini, seperti kasus Pupuk Nutrisi Saputra, Blue Energy, Padi Supertoy, Pembangkit Listrik Tenaga Hampa, dan lain-lain. Alih-alih membanggakan, fenomena produk-produk inovasi palsu buatan anak negeri tersebut malah menjadi catatan kaki memalukan dalam sejarah kita.
Sudah waktunya bagi pihak-pihak yang bekerja dengan sains, baik itu ilmuwan, jurnalis, dan para pemangku kebijakan publik di Indonesia, berani mengemas sains sebagai wacana publik dan mempromosikannya secara akurat, inspiratif, dan juga menarik. Pelatihan, penyuluhan, dan pembelajaran komunikasi sains rasanya harus segera dilaksanakan di kampus-kampus dan institusi-institusi sains lainnya. Selain untuk mencetak kader-kader ilmiah nan cerdas, juga menyiapkan mereka sebagai agen perubahan untuk mendorong pembentukan masyarakat Indonesia berbasis sains yang rasional, kritis, dan peka terhadap modernitas serta kemajuan zaman.
Penulis: Rahadian Rundjan (ap/vlz)
Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
@RahadianRundjan
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
Nobel Kimia dalam Keseharian
Hadiah Nobel Kimia merupakan salah satu penghargaan bagi hasil penelitian ilmiah, yang ditekuni periset selama bertahun-tahun. Banyak diantara temuan bergengsi ini mengubah dunia secara revolusioner.
Reseptor Perasa dan G-Protein
Milyaran reseptor perasa ada di permukaan sel tubuh manusia. Reseptor ini memungkinkan sel memindai lingkungannya, melakukan pergerakan dan komunikasi dengan sel-sel lainnya. Reseptor yang terintegrasi dengan G-Protein amat penting, untuk indera penciuman dan rasa. Brian Kobilka meraih Nobel pada 2012 untuk hasil penelitiannya seputar keluarga protein ini.
Pabrik Kehidupan
DNA memasok rancang bangun bagi bagian-bagian sel. Kode genetika ini diproduksi Ribosom yang ibaratnya pabrik mikro. Setiap Ribosom memproduksi ribuan bagian sel yang berbeda-beda. Bagaimana sosok dan mekanisme pabrik itu? Ada Yonath, Venkatraman Ramakrishnan dan Thomas Steitz meraih hadiah Nobel 2009 dengan jawaban atas pertanyaan ini.
Foto: picture-alliance/dpa
Membaca Kode Genetika
Untuk memetakan seluruh sekuens genom manusia para peneliti perlu waktu 13 tahun. Hasilnya, manusia terdiri dari tiga milyar sekuens yang dibangun oleh 20.000 gen. Metode sekuens genom manusia secara eksakta dikukuhkan oleh Walter Gilbert dan Fred Sanger, yang dianugerahi hadiah Nobel pada 1980.
Foto: Fotolia/majcot
Pembangkit Energi Pada Daun
Fotosintesa merupakan reaksi kimia terpenting di Bumi. Tanaman, ganggang dan bakteri mengikat CO2 dengan bantuan cahaya matahari dan memproduksi oksigen. Prosesnya dilakukan ikatan protein tertentu di dalam sel. Robert Huber, Hartmut Michel dan Johann Deisenhofer meneliti mekanismenya, dan meraih hadiah Nobel 1988.
Cahaya di Kegelapan
Cahaya kehijauan pada ubur-ubur Aequorea victoria dipicu sejenis protein, yang kini secara luas digunakan dalam bidang biologi. Martin Chalfie mendapat anugerah Nobel 2008 sebagai pionir dalam teknik pemanfaatan protein bercahaya fluoresens. Ia menandai bagian sel cacing gelang dengan protein berwarna itu. Terbuka kemungklinan amat luas dalam riset, misalnya untuk memahami fungsi sel saraf.
Air Untuk Sel
Sel dalam tubuh berfungsi seperti jaringan pipa air di rumah. Ada saluran yang memasok air bersih masuk dan yang membuang air limbah keluar. Peter Agre pada 1988 membuktikan fungsi ini. Tahun 2003 ia mendapat hadiah Nobel untuk temuannya, sebuah protein yang seperti jaringan pipa, meregulasi transportasi air di dalam membran sel. Prinsip ini berlaku universal bagi semua makhluk hidup.
Sumber Energi ATP
Sel memerlukan energi untuk melakukan fungsinya. Adenosintriphosphat (ATP) adalah sumber energi universal bagi sel, misalnya untuk menggerakkan sel otot. Seorang manusia dewasa, setiap harinya mengubah sekitar separuh berat badannya menjadi ATP. Sir John Walker mendapat hadiah Nobel pada 1997, untuk penjelasannya mengenai mekanisme produksi molekul ATP di dalam sel.
Foto: Fotolia/Kzenon
Kimia Hijau
Sasaran kimia hijau adalah melindungi lingkungan sekaligus menghemat energi dan bahan mentah. Kini target kimia hijau bukan lagi utopia melainkan realita. Robert Grubbs, Richard Schock dan Yves Chauvin mendapat hadiah Nobel 2005 untuk temuannya: proses produksi senyawa kimia kompleks untuk kebutuhan industri secara efisien, sederhana dan ramah lingkungan.
Foto: picture-alliance/dpa
Molekul Bola Karbon
Fullerene adalah struktur berbentuk bola yang terdiri dari 60 atom karbon. Robert Curl Jr., Sir Harold Kroto dan Richard Smalley mendapat hadiah Nobel 1996 untuk temuannya ini. Bola karbon membuka peluang bagi pemanfaatan secara luas di bidang medis dan farmasi.
Menyelamatkan Lapisan Ozon
Berkat lapisan ozon di atmosfir, manusia bisa menikmati cahaya matahari tanpa terancam bahaya. Pasalnya, lapisan ozon memfilter sebagian besar pancaran Ultra Violet yang membahayakan kulit. Penelitian Paul Crutzen, Mario Molina dan Sherwood Rowland menjelaskan mekanisme perusakan lapisan ozon oleh emisi Nitrogen Oksida dan senyawa Chloro-Fluor-Carbon (CFC). Temuan ini dianugerahi Nobel 1995.
Foto: picture-alliance/dpa
Resonansi Inti Menembus Tubuh
Jantung, otak, tulang-semua bisa dilihat secara rinci lewat tomografi resonansi magnetik. Dengan itu, sel tumor dapat dilacak dengan lebih seksama. Landasan untuk prosedur diagnosa ini adalah spektroskopi resonansi magnetik inti berresolusi tinggi. Richart Ernst dianugerahi Nobel 1991 untuk pengembangan prosedur teknik ini.
Foto: picture-alliance/dpa
Quasikristal Untuk Masak
Eksistensi Quasikristal cukup lama jadi silang sengketa. Dan Shechtman membuktikan keberadaan kristal yang molekulnya tersusun secara aperiodik seperti gambar mosaik di mesjid terkemuka dunia ini dan mendapat hadiah Nobel 2011. Struktur quasikristal bisa digunakan sebagai pelapis anti lengket pada perabot memasak, sebagai alternatif lapisan teflon.