Penulis Novel Salman Rushdie Terluka Parah setelah Ditikam
24 Oktober 2022
Manajemen Salman Rushdie mengatakan kepada sebuah surat kabar Spanyol bahwa sang penulis telah kehilangan fungsi mata dan gerakan di tangan akibat insiden penikaman yang dialami di New York, Agustus lalu.
Iklan
Salah seorang agen Salman Rushdie mengatakan kepada surat kabar Spanyol, El Pais, bahwa kliennya terluka parah pada Agustus lalu di New York, Amerika Serikat, ketika seorang pria berulang kali menikamnya di atas panggung.
"Dia kehilangan penglihatan satu matanya ... Dia memiliki tiga luka serius di lehernya. Satu tangannya lumpuh karena saraf di lengannya terputus. Dan dia memiliki sekitar 15 luka lagi di dada," kata Andrew Wylie. El Pais, dalam sebuah wawancara yang diterbitkan pada hari Sabtu (22/10).
Wylie menggambarkan Rushdie menderita luka dalam, seraya mengatakan "insiden itu adalah serangan brutal." Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang keberadaan sang penulis selain mengatakan dia masih dirawat di rumah sakit, tetapi menambahkan: "Dia tetap hidup ... Itu yang penting."
Rushdie diserang saat dia hendak berpidato di atas panggung di Chautauqua Institution, di pedesaan sekitar kira-kira 90 kilometer barat daya Buffalo dekat Danau Erie yang terkenal, dalam rangkaian kuliah musim panasnya.
Iklan
Hidup di bawah fatwa
Pria berusia 75 tahun itu menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam persembunyian setelah pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Khomeini mengeluarkan fatwa untuk membunuhnya pada tahun 1989, sebagai tanggapan atas novel "The Satanic Verses" (Ayat-ayat Setan).
Khomeini tampaknya menganggap sebagian karya fiksi Rushdie sebagai bentuk penghujatan. Namun, setelah bertahun-tahun mengasingkan diri dengan keamanan tinggi, Rushdie mulai bepergian dengan lebih bebas lagi dalam dua dekade terakhir.
Agennya, Wylie, mengatakan serangan itu persis seperti apa yang dia dan kliennya takutkan, "orang yang datang entah dari mana dan menyerang."
"Jadi Anda tidak bisa melindunginya karena itu benar-benar tidak terduga dan tidak logis," katanya kepada El Pais.
Serangan itu memicu kemarahan di Barat dan di antara pendukung kebebasan berbicara, tetapi justru menuai beberapa pujian dari para ekstremis di negara-negara Muslim seperti Iran dan Pakistan.
Pelaku menanti persidangan atas percobaan pembunuhan
Pelaku penikaman yang ditangkap di TKP adalah seorang pria berusia 24 tahun dari New Jersey, diyakini keturunan Lebanon, mengaku tidak bersalah atas percobaan pembunuhan.
Namun, tersangka juga memberikan sebuah wawancara kepada surat kabar, di mana dia terkejut mendengar serangan itu tidak membunuh Rushdie. Pelaku memuji Khomeini dan mengatakan dia tidak menyukai Rushdie atau buku "The Satanic Verses", yang katanya telah dia baca beberapa halaman.
Kekuasaan Berdarah Ayatollah Khomeini
Ayatollah Khomeini mengobarkan revolusi 1979 buat mengakhiri kekuasaan monarki yang represif dan sarat penindasan. Ironisnya negara agama yang ia dirikan justru menggunakan cara-cara serupa untuk bisa bertahan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/FY
Reformasi Setengah Hati
Iran pada dekade 1970an mengalami perubahan besar lewat "Reformasi Putih" yang digenjot Syah Reza Pahlevi. Program yang antara lain berisikan reformasi agraria dan pendidikan itu sebenarnya diarahkan untuk mempersempit pengaruh kaum Mullah dan tuan tanah. Namun Reformasi Putih menciptakan ketegangan sosial yang justru ingin dihindari pemerintah. Seluruh negeri tiba-tiba bergejolak.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Monarki Tanpa Oposisi
Iran pada era Pahlevi membungkam oposisi lewat penculikan, pembunuhan, penyiksaan dan eksekusi mati. Pada demonstrasi massal 1963, sekitar 15.000 mahasiswa tewas terbunuh. Antara 1971 hingga Revolusi Islam 1979, sebanyak 100 tokoh oposisi melepas nyawa di tiang gantungan. Sampai 1975 pemerintah menahan hampir semua jurnalis, seniman, sastrawan, ulama dan akademisi yang bersimpati pada oposisi
Foto: picture alliance/Herbert Rowan
Arus Balik Khomeini
Ayatollah Khomeini yang awalnya mendukung kekuasaan terbatas Monarki Iran, berbalik arah memperkenalkan sistem pemerintahan Islam berbasis kekuasaan Ulama, Wilayatul Faqih. Oleh Pahlevi ia dikucilkan. Putra Khomeini, Mostafa, dibunuh oleh pasukan rahasia Syah Iran, Savak, setahun sebelum revolusi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/FY
Sekulerisme Islam
Namun begitu Khomeini tidak serta merta membangun pemerintahan Mullah di tahun pertama revolusi. Sebaliknya ia mengakui peran kelas menengah dalam menjatuhkan Pahlevi dengan membentuk pemerintahan sekuler di bawah tokoh liberal dan moderat Mehdi Bazargan (gambar) sebagai perdana menteri dan kemudian Abolhassan Banisadr yang merupakan aktivis HAM Iran.
Foto: Iranian.com
Kebangkitan Islam Militan
Tapi menguatnya militansi pengikut Khomeini yang ditandai dengan penyerbuan Kedutaan Besar Amerika Serikat menyudahi peran kaum liberal. Terutama sejak perang Iran-Irak, Khomeini banyak memberangus oposisi. Antara 1981 dan 1985, pemerintah Islam Iran mengeksekusi mati 7900 simpatisan oposisi.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Pengkhianatan Ayatollah
Untuk mempertahankan idenya tentang kekuasaan Ulama, Khomeini tidak cuma mengucilkan perdana menterinya sendiri, ia juga memenjarakan ulama besar Syiah, Ayatollah Sayid Muhammad Kazim Shariatmadari (gambar) dengan tudingan makar dan calon penggantinya, Ayatollah Hossein-Ali Montazeri karena menentang tindakan represif pemerintah.
Foto: tarikhirani.ir
Dekade Berdarah
Dekade 1980-an menandai kekuasaan berdarah Khomeini. Dalam Tribunal Iran, PBB menuding rejim Islam Iran melakukan "pelanggaran berat Hak Azasi Manusia." Selama tahun 1980-an, sebanyak 20.000 tahanan politik meninggal dunia di penjara dan lusinan media diberangus paksa.
Foto: sarafsazan.com
Derita di Balik Jeruji
Pengadilan Kejahatan HAM Iran yang digelar di Den Haag tahun 2012 silam mengungkap berbagai kesaksian mantan tapol. Sebagian besar mengabarkan penyiksaan di penjara, antara lain digantung terbalik selama berhari-hari dan dipaksa melihat adegan penyiksaan terhadap rekannya, serta dikurung di sel isolasi tanpa sinar matahari selama berminggu-minggu.
Foto: iranwebgard.ir
Eksekusi Massal
Hingga kini Iran menjadi salah satu negara dengan jumlah hukuman mati tertinggi di dunia terhadap tahanan politik. Setahun menjelang kematiannya (3 Juni 1989), Khomeini menggulirkan gelombang eksekusi massal terhadap tokoh oposisi. Tidak jelas berapa jumlah tahanan politik yang tewas. Sebuah sumber menyebut jumlah tapol yang dieksekusi mati mencapai 30.000 orang.
Foto: picture-alliance/dpa
9 foto1 | 9
Sebelumnya, Rushdie masuk nominasi dalam Booker Prize lima kali dan memenangkannya satu kali. Dia terus menulis bahkan sepanjang waktunya dalam persembunyian. Novelnya yang kelima belas, "Victory City", dijadwalkan terbit Februari mendatang.