1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Penumpang Gelap Wabah adalah Kebencian terhadap yang Lain 

Indonesien Geger Riyanto Autor, Essayist und Aktivist
Geger Riyanto
18 April 2020

COVID-19 memantik watak-watak paling tidak masuk akal di masyarakat. Termasuk rasisme. Ini bukan hal baru yang memperlihatkan ketakutan kita pada orang lain. Opini Geger Riyanto. 

Foto: picture-alliance/dpa/F. Sommer

Kekhawatiran saya kembali ke Eropa di tengah wabah COVID-19 bukanlah wabah penyakit itu sendiri. Pada titik ini, risiko tinggal di Jerman maupun di Indonesia sama-sama tinggi.  
 
Di Jerman, angka kasus COVID-19 terkonfirmasi tinggi tapi hal tersebut tak lepas dari angka tesnya yang tinggi. Di Indonesia, pemerintah membanggakan angka infeksi COVID-19 yang rendah. Hanya saja, dengan angka tes yang rendah, diskriminasi terhadap pengidap, saya merasa COVID-19 dapat menyebar dalam senyap di sini. 
 
Apa yang saya khawatirkan ialah rasisme yang mengikuti pandemi COVID-19. Tak lama sebelum kedatangan saya, seorang warga Singapura menjadi korban pemukulan di London. “Saya tak mau virus Coronamu di negara saya,” ujar seseorang yang menghajarnya. Jonathan Mok, sang korban, mengalami retak di tulang wajahnya lantaran serangan tersebut. 
 
Saya segera menelusuri insiden serupa di Jerman. Hal serupa terjadi dan berulang. Seorang warga China dipukuli di stasiun kereta. Seorang warga Jerman keturunan China diserang oleh tetangganya dan diancam akan dipenggal kepalanya.  
 
Pada 6 Februari 2020, Der Spiegel, salah satu majalah paling mentereng di Jerman, menerbitkan edisi spesial tentang corona. Sampulnya, sosok yang memakai pakai hazmat merah tertunduk menatap telepon genggamnya. Tulisannya, “Corona Virus, Made in China”. 
 
Selama berada di Jerman, saya mendengar kampanye-kampanye melawan rasisme didengungkan. Anak-anak muda berunjuk rasa terhadap AfD, partai sayap kanan mentok yang mengambinghitamkan pendatang untuk semua persoalan di Jerman. Partai-partai di Jerman menganggap nista ide koalisi dengan AfD. Namun, virus corona membuka panggung untuk mementaskan rasisme. Ia memperlihatkan betapa alotnya kebencian terhadap yang lain di saat-saat krisis seperti ini. 
 
Preseden Sejarah 
 
Ketika virus Ebola mewabah di tahun 2014, diskriminasi terjadi kepada orang-orang Afrika. Sebagaimana virus corona dinamai sebagai “virus China” atau “Kung Flu,” wabah ini pun ditautkan dengan orang-orang Afrika lewat namanya—“wabah hitam”. Pekerja-pekerja berkulit hitam dihentikan di AS. Para pencari suaka dari Afrika dikambinghitamkan sebagai penyebab wabah ini oleh politisi populis Italia. 
 
Namun, yang ironis ialah yang terjadi dengan Haiti dan diskriminasi terhadap negara ini lantaran persepsi penduduknya menularkan AIDS. Haiti memiliki jumlah penderita HIV yang tinggi. Di AS pada tahun 1980-an, kurun di mana diskriminasi terhadap orang Haiti ada di puncaknya, berseliweran teori bahwa AIDS mewabah di negara kepulauan Karibia ini karena orang-orangnya melakoni perdukunan. Orang-orang Haiti dianggap mendatangkan AIDS dari Afrika lantas menularkannya kepada satu sama lain lewat praktik klenik yang melibatkan guna-guna dan pertukaran darah. 
 
Data, lucunya, berbicara lain. Haiti ialah negara yang ekonominya bergantung dengan relasinya dengan AS. Pariwisata menjadi salah satu sumber penerimaan asing utamanya, dan turis terbanyak negaranya berasal dari AS. Anda mungkin sudah bisa menerka apa yang hendak saya sampaikan. Negara-negara di seputar Laut Karibia yang memiliki angka prevalensi HIV tertinggi ialah negara-negara yang memiliki hubungan erat dengan AS. Turis AS ialah yang pertama-tama menularkan virus bersangkutan kepada orang-orang Haiti yang malang. 
 
Ketakutan di Mana-mana 
 
Dan tentu saja, diskriminasi berpijak epidemi bukan milik eksklusif negara-negara Barat. Di China, sentimen terhadap orang asing kini menyemarak. Orang-orang Afrika yang tinggal di Kota Guangzhou diusir oleh pemilik kontrakan mereka dan tak diterima menginap di hotel-hotel. Mereka bahkan tidak bepergian ke negara-negara lain, tidak memiliki kontak dengan penderita COVID-19, pun tidak memperlihatkan gejala penyakit. 
 
Dan yang secara khusus mencemaskan saya ialah yang terjadi dengan warga negara yang pulang dari bepergian. Persepsi yang kini tegak di antara negara-negara, salah satunya karena manuver Jokowi membabarkan 10 negara dengan kasus COVID-19 terkonfirmasi tertinggi, ialah Barat merupakan episentrum baru COVID-19.  
 
Di Myanmar, kemarahan terhadap Barat menjelma menjadi kemarahan terhadap warga negara mereka yang pulang dari negara-negara. “Karena binatang-binatang yang pulang setelah memiliki izin tinggal permanen di AS itu dan mereka yang meninggi-ninggikan negara asing, semuanya kacau!” ujar seseorang menanggapi berita kasus pertama COVID-19 di Myanmar. “Mengapa kita mesti menerima mereka pulang?” 
 
Thailand mendadak saja menutup batas negaranya, termasuk buat warga negaranya sendiri yang hendak pulang. Warga negara Thailand yang mau masuk ke negaranya sendiri mesti memperlihatkan sertifikat bebas COVID-19 tanpa mempertimbangkan bagaimana di banyak negara, jumlah tes dibatasi karena kurangnya kapasitas melakukan tes. 
 
Namun, yang paling menggelikan dan memprihatinkan tentu saja tak lain dari pernyataan juru bicara penanganan COVID-19 Indonesia, Achmad Yurianto. “Yang miskin,” ujarnya, “melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya.” Apa yang diperlihatkan oleh keseleo lidah ini kalau bukan naluri orang berpunya adalah selalu memproyeksikan penyakit ke mereka yang lain—yang tidak berpunya? 
 
Skenario Film Wabah 

 
Apa yang akan terjadi bila saya harus pulang di waktu-waktu seperti ini? Bila sesuatu terjadi dengan keluarga saya, apa yang akan saya alami sebelum dapat bertemu dengan mereka? 
 
Kita melihat skenario yang sebelumnya ditayangkan oleh film-film wabah merebak. Orang-orang menjadi keji terhadap siapa pun yang dicurigainya mengidap penyakit mewabah. Kemanusiaan, kebebasan menjadi asas-asas yang usang dan hanya berlaku dalam keadaan normal. Kita menikmati film-film ini. Kini, kita berangsur-angsur terperosok ke dalam skenario yang mereka tampilkan. Kerja, koordinasi yang lebih masif diperlukan agar skenario mereka tak benar-benar menjadi nyata. 
 
Kita berada di fajar dari tatanan dunia baru, banyak pemikir mengingatkan. Tak sedikit pula dari antara para pemikir ini yang optimistis dengan tatanan yang bakal datang ini. Saya tak ingin muluk-muluk. Saya hanya berharap, tatanan baru tersebut bukan tempat di mana yang lain dikorbankan.  
 
@gegerriy 
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg. 
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. 
*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.
 

Penulis: Geger RiyantoFoto: Privat