1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Terorisme

Penundaan Rekonstruksi Marawi Bisa Jadi Bumerang

27 Mei 2019

Pemerintah Filipina terkesan tidak serius memulai tahap pembangunan kota Marawi yang beberapa tahun belakangan porak-poranda akibat konflik.

Philippinen Zerstörte Bato Ali Moschee in der Stadt Marawi
Foto: DW/S. Petersmann

Dua tahun setelah dikuasai kelompok jihadis, kota di wilayah selatan Filipina ini tetap terbengkalai dengan banyak reruntuhan. Para pakar memperingatkan bahwa rekonstruksi yang terus tertunda dapat menguntungkan grup ekstremis untuk kembali berkembang di daerah yang masih rawan ini.

Pada 23 Mei 2017 invasi kelompok bersenjata yang membawa bendera Islamic State memicu pertempuran selama lima bulan yang menghancurkan sebagian besar kota.

Penghancuran gedung-gedung yang penuh ledakan akhirnya telah dimulai, tetapi setelah adanya beberapa kesalahan, pemerintah tidak berharap pembangunan kembali di kota ini akan selesai sebelum akhir tahun 2021.

Penundaan ini telah menyebabkan sekitar 100.000 penduduk tinggal di kamp-kamp relokasi kumuh atau menumpang pada kerabat. Keadaan ini menyebabkan kegelisahan dan kemarahan berkelanjutan bagi para pengungsi dan menjadi media rekrutmen yang bagus bagi para ekstremis.

"Dahulu narasinya adalah (untuk bergabung dengan IS) di Timur Tengah dan tentang penderitaan umat Islam di seluruh dunia," kata Mouhammad Sharief, yang ikut mendirikan kelompok pendukung untuk pemuda Marawi.

"Sekarang ini lebih dekat ke hati kami karena narasinya adalah Marawi," kata pemuda berusia berusia 32 tahun yang juga harus mengungsi karena peristiwa tersebut.

Diselubungi kehancuran dan kemiskinan

Marawi adalah kota yang penting mengingat ini adalah area dengan penduduk Muslim terbesar di sebelah selatan negara itu. Kota ini diselubungi kemiskinan dan ekstremisme karena adanya gerakan separatis yang telah beroperasi selama beberapa dekade.

Daerah ini kian penting karena IS berupaya mempertahankan kehadirannya melalui afiliasi globalnya setelah jatuhnya "kekhalifahan" yang diproklamirkan di Timur Tengah.

IS secara rutin mengklaim bertanggung jawab atas pembunuhan pasukan pemerintah Filipina dan mengakui melakukan pengeboman katedral Katolik Januari selama misa Minggu yang merupakan serangan paling mematikan di negara itu.

Organisasi itu memiliki hubungan dengan jaringan ekstrimis lokal, termasuk kelompok penculik yang meminta uang tebusan, Abu Sayyaf, yang telah lama beroperasi di wilayah selatan Filipina.

Dalam konteks ini, populasi pengungsi yang marah dan tidak bahagia di Marawi bukanlah risiko yang dapat diabaikan, kata para ahli.

"Pemerintah perlu khawatir tentang ancaman ISIS dalam menarik kaum muda (penduduk setempat) karena kebencian berkelanjutan yang berasal dari kegagalan pembangunan kembali dan kemarahan atas kehancuran," ujar analis Sidney Jones.

Rekonstruksi terus tertunda

Rencana memperbaiki kota telah berulang kali tertunda. Sebuah konsorsium yang dipimpin Cina awalnya berrencana mempelopori proses awal rehabilitasi, namun didiskualifikasi karena masalah hukum dan keuangan.

Pemerintah pun berharap pembersihan puing-puing sebagai langkah awal rekonstruksi akan selesai pada November.

"Ini lagi-lagi bisa dipakai sebagai contoh diskriminasi pemerintah terhadap komunitas Muslim dan bahwa pemerintah mengabaikan tanggung jawab untuk membangun kembali Marawi," kata Francisco Lara, penasihat kelompok perdamaian International Alert.

Pemerintah mengatakan sudah membuat kemajuan dalam memperbaiki kota yang dihantam oleh serangan udara dan artileri militer ketika berusaha untuk mengusir para jihadis.

"Kami mengikuti petunjuk dan instruksi presiden bahwa ia akan memastikan Marawi akan bangkit sebagai kota yang makmur lagi," ujar Eduardo del Rosario, pensiunan jenderal yang mengawasi upaya pembangunan kembali, kepada wartawan pekan ini.

"Kami ... semua melakukan tugas yang diberikan kepada kami sesuai instruksi presiden," tambahnya.

Meskipun Presiden Rodrigo Duterte berusaha menggambarkan dirinya sensitif terhadap minoritas Muslim Filipina, ia telah mengirim sinyal beragam tentang Marawi.

Duterte mengklaim kota itu adalah sarang aktivitas narkoba ilegal. Ini adalah tuduhan yang sangat serius dari seorang pemimpin yang mengklai perang melawan narkoba dan telah menewaskan lebih dari 5.300 orang yang diduga sebagai pengedar dan penjual narkoba.

"Saya tidak berpikir bahwa saya harus menghabiskan anggaran untuk membangun. Orang-orang di sana memiliki banyak uang," katanya mengacu pada Marawi dalam pidato April.

ae/hp (AFP)