Hadiah Nobel Kesusastraan 2020 dianugerahkan kepada penyair Amerika Serikat, Loiuse Glück. Komite Nobel menyebutkan, dengan suara puitisnya yang jernih dan indah membuat eksistensi individual menjadi universal.
Iklan
Louise Glück (77) adalah profesor sastra Inggris di Yale University. Karya perdananya Firstborn yang dirilis 1968 meroketkan namanya sebagai salah satu penyair paling kenamaan dalam tatanan kesusastraan kontemporer di Amerika Serikat.
"Puisinya punya karakter berusaha mencari kejernihan, seringnya berfokus pada masa kanak-kanak dan kehidupan keluarga serta relasi erat antara orang tua dan anak-anaknya", demikian pernyataan Komite Nobel di Stockholm.
Selain menulis sejumlah koleksi puisi, Glück juga dikenal sebagai penulis essay dan kritik sastra kenamaan. Sebelumnya penyair ini juga dianugerahi National Book Award.
Diwarnai keributan dan kontroversi
Penghargaan Nobel Kesusastraan tahun ini berada di bawah bayang-bayang keributan dan kontroversi dari penghargaan tahun-tahun sebelumnya. Penghargaan Nobel Kesusastraan tahun 2018 ditangguhkan, akibat tudingan pelecehan seksualdi dalam Swedish Academy yang merupakan lembaga pemilih pemenang penghargaan. Sejumlah anggota akademi kerajaan itu juga melakukan eksodus massal.
Tahun 2019, penghargaan Nobel Kesusastraan sekali lagi memicu kontroversi. Tahun lalu, dua pemenang diumumkan sekaligus, yakni untuk penghargaan tahun 2018 yang tertunda, yang diraih penulis Olga Tokarczuk dari Polandia dan penghargaan 2019 untuk penulis Peter Handke dari Austria.
Penghargaan Nobel Kesusastraan buat Handke sontak memicu gelombang protes, karena penulis ini adalah pendukung setia Serbia dalam perang Balkan tahun 1990. Handke dituding sebagai pendukung kejahatan perang Serbia.
Sejumlah negara, terutama Albania, Bosnia dan Turki memboikot acara penghargaan sebagai aksi protes. Juga beberapa anggota komite yang menominasikan kandidat untuk hadiah Nobel Kesusastraan menyatakan mengundurkan diri.
as/vlz (AP, afp,dpa)
Wajah 10 Tahun Nobel Sastra
Kurang perempuan, kurang literatur non Eropa, begitu kritik lama terhadap Akademi Swedia yang menetapkan pemenang Nobel Sastra. Bagaimana wajah pemenang Nobel Sastra selama 10 tahun terakhir?
Foto: AP
"Master" Cerita Pendek
Alice Munro, lahir 1931 di Ontario, Kanada adalah seorang penulis cerita pendek. Kumpulan cerpen pertamanya “Dance of Happy Shades” terbit 1968. Dua karyanya, Lives of girls and women (1994) dan "The Bear Came Over the Mountain” (2006) telah diadaptasi sebagai film. Pemenang Nobel Sastra 2013 disebut sebagai "Master" cerita pendek kontemporer.
Foto: PETER MUHLY/AFP/Getty Images
Realisme Fantastis
Mo Yan yang berarti "diam“ adalah nama pena Guan Moye. Ia lahir sebagai anak petani di propinsi Shandong, Cina. Terobosan dialaminya dengan karya “Red Sorghum” pada tahun 1987. Tim juri mengkategorikan tulisannya sebagai realisme fantastis.
Foto: picture-alliance/dpa
Buah Nominasi Panjang
Sejak 1993 dinominasi untuk Nobel Sastra, penyair Swedia Tomas Gösta Tranströmer memenangkan penghargaan ini pada tahun 2011. Kelahiran 1931, karyanya meliputi 12 kumpulan pusi. Pada usia 23 tahun, ia menerbitkan kumpulan puisi pertamanya "17 dikter“ pada tahun 1954.
Foto: Fredrik Sandberg/AFP/Getty Images
Gambaran Perlawanan Individu
Menulis dalam bahasa Spanyol, Jorge Mario Pedro Vargas Llosa, lahir di Peru pada tahun 1936. Salah seorang novelis dan esais Amerika Latin paling signifikan, namanya melejit tahun 60-an, dengan novel “La ciudad y los perros”. Nobel Sastra 2010 diterimanya untuk penggambaran perlawanan, pemberontakan dan kekalahan individu serta kartografi struktur kekuasaan dalam novel-novelnya.
Foto: picture-alliance/dpa
Menyorot Kekerasan dan Teror
Herta Müller, penyair dan penulis Jerman keturunan Romania lahir tahun 1953. Ia pemenang Nobel Sastra 2009. Ttulisannya sudah diterjemahkan ke dalam lebih 20 bahasa. Karyanya banyak mengangkat dampak kekerasan dan teror. Novelnya, “Atemschaukel" (2009) bercerita tentang deportasi minoritas Roma-Jerman yang dideportasi ke gulag-gulag di Uni Soviet.
Foto: DW/N. Naumann
Utamakan Bahasa Perancis
Menulis dalam berbagai genre, karya-karya Jean-Marie Gustave Le Clézio meliputi puisi hingga cerita anak-anak yang seluruhnya dalam bahasa Perancis. Dengan sedikitnya 40 karya ia menerima Nobel Sastra, sebagai penulis yang mengeksplorasi kemanusiaan di luar masyarakat normatif. Le Clézio, penulis Mauritius-Perancis ini kelahiran 1940.
Foto: AP
Nobel di Usia Senja
Penulis Inggris Doris May Lessing lahir tahun 1919 di Kermansyah, Iran. Novel pertama “The Grass is Singing“ terbit tahun 1950. 2008 ia masuk ranking lima daftar “50 penulis terbaik Inggris sejak 1945”. Aktifitasnya menentang senjata nuklir dan apartheid di Afrika Selatan menyebabkan pencekalan dari negara itu. Pada tahun 2007, Lessing menjadi perempuan ke sebelas yang menerima Nobel Sastra.
Foto: AP
Mengusik Kebebasan
Nobel Sastra 2006 dimenangkan Orhan Pamuk, penulis Turki kelahiran 1952. Karyanya seperti “My name is Red” diterjemahkan ke dalam lebih 60 bahasa. 2005, Pamuk diadili karena mengangkat isu genosida warga Armenia di masa kekuasaan Otoman. Kontroversi yang berawal dari kritik soal kebebasan bersuara di Turki itu, disusul aksi-aksi pembakaran buku-bukunya.
Foto: DW
Angka Magis 50
50 merupakan angka magis sastrawan kenamaan Inggris Harold Pinter, kelahiran1930. Dalam 50 tahun karirnya, ia menyutradarai 50 produksi teater dan film, dan telah menerima 50 penghargaan, antara lain Nobel Sastra 2005. Karyanya yang paling terkenal termasuk “The French Lieutenant's Woman” (1981) dan “The Trial“ (1993). Ia meninggal Desember 2008.
Foto: AP
Musikalitas Suara
Penulis Austria Elfriede Jelinek, kelahiran 1946, menerima Nobel Sastra pada tahun 2004 untuk musikalitas suara-suara yang bertentangan, dalam tulisan-tulisannya yang menunjukkan absurditas dan tekanan yang terjadi, akibat gambaran-gambaran klise dalam masyarakat. Ia seorang penulis feminis. Tulisannya sering menyoroti seksualitas perempuan dan eksploitasi.
Foto: AP
Fokus Afrika
Penulis Afrika Selatan kedua, setelah Nadine Gordimer, yang memenangkan Nobel Sastra adalah John Maxwell "J. M." Coetzee. Ia menerima hadiah itu pada tahun 2003. Akademi Swedia mengatakan, Coetzee secara istimewa menggambarkan keterlibatan orang luar dalam berbagai pergulatan moral. Karyanya “Disgrace“ (1999) diadaptasi untuk film pada tahun 2008.