1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Penyakit Akibat Virus Binatang pada Manusia

17 Januari 2011

SARS, Ebola, Flu Babi dan Flu Burung diketahui dipicu oleh virus yang berasal dari binatang yang menyerang manusia atau sebaliknya.

Sebuah plakat akan bahayanya SARS terpampang di Seoul, Korea Selatan, ketika wabah berjangkit tahun 2003 laluFoto: AP

Awal tahun 2003, Asia panik diserang wabah penyakit mematikan yang misterius. Gejalanya mula-mula seperti flu biasa, yakni demam, sakit tenggorokan dan meriang. Tapi dalam waktu seminggu muncul gejala radang paru-paru akut. Pasien sulit bernafas dan 10 persen penderita meninggal. Lembaga kesehatan menyebut penyakit ini SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) atau sindroma penyakit sistem pernafasan berat akut.

Pakar virologi Christian Dorsten, yang ketika itu bekerja di Institut Bernhard-Nocht untuk penelitian penyakit tropis, berhasil mengidentifikasi bibit penyakit SARS. Yakni apa yang disebut corona-virus. Dorsten menjelaskan lebih jauh, “Namun dengan itu kami belum memperoleh informasi dari mana virusnya tiba-tiba menyerang. Penelitian lanjutan pada binatang sumber virus menunjukkan, kelelawar diduga merupakan inang virus jenis ini.”

Para peneliti kemudian melakukan analisa genetika kelelewar. Kelihatannya virus SARS sudah cukup lama hidup dalam tubuh kelelawar, sebelum melakukan lompatan menyerang manusia. SARS bukan kasus satu-satunya penularan virus dari kelelawar kepada manusia. Cukup banyak virus mematikan yang menjadikan kelelawar sebagai inangnya, misalnya ebola, rabies, flu dan virus diare.

Christian Dorsten yang kini memimpin Institut untuk Virologi di Bonn mengungkapkan, “Kami tidak tahu persis, mengapa virus tertentu melompat dari kelelewar kepada manusia atau bagaimana mekanismenya. Yang dapat kami katakan secara pasti, pada kelelawar ditemukan amat banyak virus, sebuah keragaman amat besar. Dan gambaran yang terlihat saat ini adalah, manusia dan binatang menyusui lainnya, masing-masing mendapatkan bagian kecil dari keragaman besar virus pada kelelawar tersebut.“

Kelelawar merupakan inang yang ideal bagi virus. Pertama, kelelawar hidup bersama dalam populasi amat besar, kadang kadang sampai satu juta binatang. Dengan begitu virus dapat dengan mudah melakukan penyebaran. Dan kedua kelelawar adalah binatang menyusui, dikatakan Christian Dorsten.

Kemungkinan manusia melakukan kontak dengan virusnya melalui kotoran kelelawar atau mereka mengkonsumsi binatang yang makanan utamanya adalah kelelawar. Lewat cara inilah kemungkinan virus SARS di Asia melakukan lompatan kepada inang barunya, yakni manusia. Pakar virologi Christian Dorsten menandaskan, tidak mencukupi jika para peneliti hanya melakukan riset terhadap virus pada manusia saja. Para ilmuwan harus meneliti, dari mana virusnya berasal, dari binatang apa, dan bagaimana sifatnya dalam tubuh binatang?

“Mungkin kami dapat melihat lebih jelas interaksi antara virus tertentu dengan inangnya, jika kami meneliti di mana virus sebelumnya hidup bertahun-tahun lamanya. Mungkin kami dapat belajar dari situ, apa yang membuat virusnya amat berbahaya. Atau juga apa yang membedakan antara virus jinak dari virus berbahaya,“ dijelaskan Christian Dorsten lebih lanjut.

Yang paling menarik perhatian para peneliti adalah, bagaimana virusnya harus melakukan mutasi agar dapat melompat ke inang manusia?  Mutasinya harus benar-benar diketahui oleh para peneliti. Dengan begitu, suatu hari nanti kemungkinan semua jenis virus pada sarang kelelawar dapat dilacak dan diteliti, apakah virusnya menciptakan ancaman bagi manusia. Christian Dorsten menuturkan, “Saya menilai, kemungkinan dalam 10 atau 20 tahun mendatang kami memiliki kemampuan untuk mengatakan: pada sumber tertentu, di lokasi tertentu, terdapat virus yang berbahaya. Dan kita harus memikirkan, bagaimana kita akan memusnahkan virusnya.”

Cara yang paling mudah tapi tidak dapat dilakukan adalah membunuh kelelawarnya. Karena binatang menyusui ini amat penting bagi ekosystem, sebagai pemangsa hama tanaman. Para peneliti virologi dan zoonosis kini memikirkan cara lain. Mungkin saja manusia melakukan vaksinasi terhadap kelelawar. Dengan itu hendak dicegah dari awal, agar virusnya tidak melakukan lompatan kepada manusia. Namun berbagai metode harus diujicoba, mengingat virusnya telah melakukan evolusi dan adaptasi selama jutaan tahun untuk tetap bertahan hidup dalam tubuh kelelawar, dan suatu hari nanti melakukan lompatan mencari inang baru, salah satunya adalah manusia.

Marieke Degen/Agus Setiawan

Editor: Carissa Paramita