Benar pada suatu titik Sukarno membuat orang Indonesia mampu menegakkan kepalanya. Tapi juga membuat bangsa ini tak punya rasa otokritik pada diri mereka sendiri. Demikian opini Andibachtiar Yusuf.
Iklan
"Wah bagus itu! Itulah yang dicita-citakan oleh Bung Karno, pernikahan antar etnis, agar Indonesia cepat membaur dan jadi satu,” ujar Pak Permadi dengan tampak sumringah. Ia bersemangat ketika mendengar saya beretnis Minangkabau bercampur Bugis dan Jawa, sementara istri saya Jawa. "Bung Karno memiliki gagasan menjadi Indonesia yang luar biasa, tetapi menyatukannya tidak mudah, ia sadar Indonesia adalah negara besar dengan bangsa yang besar,” tambahnya lagi dengan semangat yang ia angkat level-nya.
Pak Permadi adalah seorang klayaban, mereka yang di masa orde baru dicabut kewarganegaraannya oleh rezim yang berkuasa di masa itu. Ia meninggalkan Indonesia pada musim panas tahun 1959 dan tak pernah menginjak tanah airnya sampai sekitar tahun 2002!
Layaknya banyak generasi muda terpelajar di masa itu, ia sangat mencintai Sukarno, orang yang baginya punya visi besar terhadap Nusantara. Orang yang memiliki kemampuan diplomasi kelas tinggi, memiliki kosakata yang menggugah sekaligus menghipnotis pendengarnya.
Sukarno punya cita-cita yang luar biasa, ia percaya Nusantara adalah sebuah gagasan kebangsaan berlevel magnum opus. Modal ratusan etnis dan ribuan suku adalah senjata utama memaksimalkan potensi alam tak terkira. Garis pantai terpanjang di dunia, alam vulkanik yang menciptakan potensi wisata luar biasa sampai kekayaan alam yang jika disatukan dari ujung timur sampai barat, sulit rasanya mencari padanan kekuatannya.
Dimanapun berada, si Bung terus berkoar tentang gagasan ini. Pada setiap pidatonya di depan ribuan warga negeri baru itu, dengan gagah dan percaya sendiri ia tanamkan tentang kebesaran Majapahit, Sriwijaya sampai Kesultanan Gowa di masa lalu dan bagaimana bangsa di Nusantara ini punya potensi yang sangat besar jika menjadi satu, menjadi Indonesia.
Ia lalu merasa "terampok” ketika Malaysia mendadak merdeka dan tidak menjadi bagian dari kesatuan Nusantara alias Indonesia itu. Dengan semangat ekspansif ia memerintahkan untuk ‘mengganyang Malaysia' dan menyatakan keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena lembaga ini mengakui kedaulatan Malaysia.
Di kemudian hari di depan bangsanya, ia "menertawakan” cita-cita pendiri Singapura yang ingin menempatkan negeri baru itu sebagai titik kecil penghubung negara-negara di dunia ini. Sebaliknya Lee Kwan Yew, si Bung menyebut gagasan itu dengan kalimat yang kurang lebih berbunyi: "Titik kecil tanpa potensi di sisi raksasa Asia,”
Ganyang Malaysia: Manuver Terakhir Sukarno
Konfrontasi dengan Malaysia menandai tahun-tahun terakhir kekuasaan Sukarno. Berbekal dukungan Uni Sovyet dan Cina, sang pemimpin besar akhirnya memulai kampanye ganyang Malaysia yang berakhir pahit buat Indonesia.
Foto: gemeinfrei
Manuver Politik Berbuah Isolasi
"Soal pengganyangan Malaysia adalah soal nasional," teriak Sukarno saat berpidato membela politik konfrontasinya pada 1964. Setahun sebelumnya dia menentang niat Inggris membentuk negara federal Malaysia yang menggabungkan Serawak. Sebagian menulis Sukarno ingin mengalihkan publik dari kisruh politik dalam negeri. Akibat konflk Malaysia, Indonesia semakin terisolasi dari dunia internasional
Foto: picture-alliance/dpa
Krisis Diplomasi Disambut Amuk Massa
Setelah Malaysia terbentuk September 1963, Indonesia langsung memutuskan hubungan diplomatik. Beberapa hari kemudian massa merusak gedung Kedutaan Besar Inggris dan Singapura. Sebagai reaksi, pemerintah Malaysia menangkapi agen rahasia Indonesia. Ribuan penduduk juga berunjuk rasa di depan kedutaan besar Indonesia di Kuala Lumpur.
Foto: gemeinfrei
Perang Kecil demi Gagasan Besar
Sukarno pun memerintahkan RPKAD buat menyusup ke Serawak buat membina sukarelawan lokal. TNI juga mendukung upaya kudeta di Brunei Darussalam dengan mendidik 4000 milisi bersenjata. Akibatnya Inggris yang saat itu masih memiliki pangkalan tempur di Singapura mengirimkan pasukannya ke Kalimantan Utara.
Foto: gemeinfrei
Menyusup dan Takluk
TNI berulangkali menggelar operasi penyusupan dengan mengirimkan sukarelawan dan serdadu ke utara Kalimantan. Pada September 1964, militer Indonesia bahkan menerjunkan pasukan gerak cepat ke semenanjung Malaysia. Dari 96 pasukan terjun payung, 90 di antaranya berhasil ditangkap atau dibunuh oleh serdadu Malaysia dan Inggris.
Foto: gemeinfrei
Kalimantan Berdarah
Militer Inggris tidak cuma membantu pembentukan angkatan bersenjata Malaysia, melainkan juga mendidik anggota suku-suku lokal buat bertempur melawan penyusup Indonesia di utara Kalimantan. Tapi menyusul sikap keras Jakarta yang bersikukuh menyusupkan milisi bersenjata ke Malaysia, Inggris kemudian menggelar kampanye militer yang disebut Operasi Claret.
Foto: gemeinfrei
Operasi Claret
Dalam operasi tersebut Inggris dan Malaysia memindahkan garis pertahanan ke wilayah Indonesia buat menghadang penyusup. Karena kehawatir menyulut perang terbuka dengan Indonesia, Inggris melaksanakan operasi secara terbatas dan sangat rahasia. Kampanye militer ini berlangsung antara 1964 hingga 1966.
Foto: gemeinfrei
Berakhir di Era Suharto
Politik Ganyang Malaysia berakhir setelah kekuasaan Sukarno dilucuti setelah peristiwa G30SPKI. Suharto yang kemudian berkuasa tidak berniat melanjutkan kebijakan pendahulunya itu. Walhasil penguasa baru Indonesia menggelar berbagai perundingan rahasia yang berujung pada kesepakatan damai Agustus 1966. Sebanyak 590 tentara Indonesia tewas, sementara di pihak Inggris tercatat 114 serdadu.
Foto: DW
7 foto1 | 7
Semangat memotivasi
Saya sadar, sebagai pendiri sebuah negara baru yang bermula dari berbagai "negara dan kerajaan” yang terdapat diatasnya, Sukarno ingin memberi motivasi pada warganya. Agar mereka tidak berpikir bahwa mereka adalah orang-orang terjajah yang tak punya potensi maju. Ia ingin bangsanya tumbuh dengan kepercayaan diri dan keyakinan bahwa negeri barunya di suatu hari nanti mampu sejajar dengan kekuatan ekonomi atau teknologi manapun di belahan dunia ini.
Satu hal yang saya duga Sukarno lupa, bangsanya saat itu masih banyak yang rendah daya intelektualnya. Orang pintar mungkin masih bisa dihitung dengan jari, bangsanya tidak siap terus menerus dibombardir dengan segala jargon dan kepercayaan diri bahwa mereka sejajar dengan (saat itu) Inggris, Amerika Serikat atau bahkan hanya sekedar Belanda.
Misteri Di Balik Supersemar
Supersemar mengubah wajah Indonesia dalam sekejap. Tidak banyak yang diketahui tentang surat sakti yang membuka jalan kekuasaan Suharto itu. Sang diktatur sendiri memilih membawa rahasianya itu hingga ke alam baka
Foto: Public Domain
Sejarah di Surat Palsu
Saat ini arsip negara menyimpan tiga versi Surat Perintah Sebelas Maret. Salah satunya berasal dari Sekretariat Negara, yang lain dari Pusat Penerangan TNI Angkatan Darat dan terakhir cuma berupa salinan tanpa kop surat kenegaraan. Ketiga surat tersebut dinyatakan palsu oleh sejarahawan. Hingga kini tidak jelas di mana keberadaan salinan asli Supersemar.
Foto: Public Domain
Tiga Diutus Suharto
Misteri juga menggelayuti penandatanganan Supersemar. Awalnya Sukarno dilarikan ke Bogor setelah sidang kabinet 11 Maret 1966 di Jakarta dikepung oleh "pasukan liar" yang kemudian diketahui adalah pasukan Kostrad. Di Bogor Sukarno disantroni tiga jendral utusan Suharto. Sejarah lalu mencatat buram apa yang terjadi di Istana. Yang jelas pulang ke Jakarta ketiga jendral telah mengantongi Supersemar
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Sebuah Pistol dan Amuk Massa
Tidak jelas bagaimana Sukarno mau menandatangani surat yang praktis melucuti kekuasaannya itu. Kesaksian pengawal presiden, Sukardjo Wilardjito, menyebut Sukarno ditodong pistol oleh seorang jendral utusan Suharto. Catatan lain menyebut Sukarno terpaksa membubuhkan tandatangannya karena saat itu istana Bogor telah dikepung tank-tank TNI dan ribuan massa yang berunjuk rasa.
Foto: picture-alliance/dpa
Serah Kuasa Jendral Bintang Lima
Supersemar diyakini tidak menyebut secara eksplisit penyerahan kekuasaan kepada Suharto seperti yang dipropagandakan oleh TNI. Dalam pidato Sukarno pada 17 Agustus 1966 ia mengecam pihak yang telah menghianati perintahnya. "Jangan jegal perintah saya. Jangan saya dikentuti!" pekiknya saat itu. Sukarno kembali menekankan Supersemar bukan "transfer of authority, melainkan sekedar surat perintah"
Foto: picture-alliance/dpa
Surat Istana Berkop Militer
Sejumlah orang mengaku mengetik Supersemar, antara lain Letkol (Purn) Ali Ebram, seorang perwira Cakrabirawa. Menurutnya ia mengetik naskah Supersemar dengan didampingi langsung oleh Sukarno. Namun sejahrawan Irlandia, Benedict Anderson mencatat kesaksian perwira lain bahwa Supersemar ditulis di atas kertas berkop Markas Besar Angkatan Darat. Artinya naskah Supersemar tidak disusun oleh Sukarno
Foto: Bartlomiej Zyczynski/Fotolia.com
Gerak Cepat Suharto
Hanya 24 jam setelah terbitnya surat sakti itu Suharto membubarkan PKI, menangkapi anggota kabinet dan orang-orang tedekat Sukarno. Menurut adik Suharto, Probosutedjo, surat itu tidak secara eksplisit memerintahkan pembubaran PKI. Sebab itu pula Sukarno menerbitkan surat perintah 13 Maret buat menganulir Supersemar. Serupa Supersemar, naskah asli surat perintah itu hingga kini lenyap tanpa bekas
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Terbenamnya Sang Putra Fajar
Setelah kekuasaannya dilucuti, Sukarno diasingkan dari kancah politik di Jakarta. Ia dilarang membaca koran atau mendengar radio. Kunjungan keluarga dan layanan kesehatan dibatasi. Sementara itu Suharto mulai membangun kekuasaan dengan membentuk kabinet dan membujuk parlemen untuk mengesahkan Supersemar dalam TAP MPRS No. IX/MPRS/1966.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/A. Priyono
Membisu Hingga ke Alam Baka
Supersemar pada akhirnya digunakan oleh Suharto untuk melahirkan rejim orde baru. Hingga kematiannya sang diktatur tidak berniat membuka tabir sejarah gelap tersebut, begitu pula dengan orang-orang terdekatnya. Berbagai upaya yang dilakukan Arsip Nasional untuk menemukan naskah asli Supersemar terbentur sikap diam pejabat orba. Saat ini semua saksi kunci Supersemar telah meninggal dunia.
Foto: Public Domain
8 foto1 | 8
Bangsanya malah terkesiap ketika orasi demi orasi si Bung terus menggempur benak mereka. Orang-orang ini jadi betulan merasa bahwa di saat itu Indonesia memang adalah sebuah negara raksasa yang sejajar dengan Jepang. Padahal infrastruktur saja—sampai hari ini—masih nebeng bikinan Belanda.
Menjadi pongah
Indonesia masa kini terjebak menjadi sebuah negara yang pongah. Mayoritas bangsanya merasa bahwa mereka adalah pusat kekuatan dunia, negeri-negeri lain—terutama di sekitarnya—hanyalah bahan lelucon yang kadang sering terjebak jadi bernada rasis. Di tengah gempuran budaya barat, Korea atau Arab yang terus menggerus, orang Indonesia yakin bahwa negerinya punya budaya nasional yang adiluhung. Padahal apa sih budaya Indonesia itu sesungguhnya? Batik yang Jawa, Pendet yang Bali, Saman yang Aceh atau Mahabharata yang (sebenarnya) India?
Benar pada suatu titik Sukarno membuat orang Indonesia mampu menegakkan kepalanya di masa ketika bangsa-bangsa lain sedang berusaha keras untuk bisa merdeka dari cengkeraman bangsa barat. Tapi pada suatu sisi, ia membuat bangsa ini menjadi megalomaniak tanpa punya rasa otokritik pada diri mereka sendiri. Indonesia era kini, berpuluh tahun setelah Sukarno dkk memproklamirkan kemerdaan bangsa—secara sepihak—adalah negeri yang mubazir.
Garis pantai yang luar biasa panjang tak membuat bangsa ini memiliki atlet selancar profesional layaknya Australia yang garis pantainya tak sampai seperempat negeri ini, kekayaan alam yang terserak tak membuat kesejahteraan menjadi merata, keindahan alam tak pula mampu membuat negeri ini menjadi tujuan utama para pelancong. Bahkan agama yang dilembagakan dan diatur oleh negara tak pula mampu membuat negeri ini jadi bebas dari korupsi.
National Geographic edisi tahun 1955 dengan sampul wajah Sukarno yang tengah mengepalkan tangannya menuliskan potensi Indonesia yang besar. Lalu lintas sungai dan hutan di Kalimantan, kelapa sawit dan minyak bumi di Sumatera, emas di Jawa dan Sulawesi, dan seterusnya. Majalah yang sama dengan sampul yang sama di tahun 2005 mengulang tulisan yang sama dengan tulisan yang dituliskan 50 tahun kemudian itu. Isinya kurang lebih: ”...mereka melakukan terlalu banyak kesalahan sehingga tidak berkembang kemana-mana dan terus terjebak pada nostalgia kebesaran masa lalunya…”
Penulis:
Andibachtiar Yusuf (ap/vlz)
Filmmaker & Traveller
@andibachtiar
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
Bandung di Jantung Politik Dunia
Konferensi Asia Afrika 1955 menempatkan Bandung sebagai episentrum kekuatan politik negara berkembang. Pertemuan itu juga digunakan berbagai negara untuk mengusung agenda pribadi, termasuk untuk menolak negara Malaysia.
Foto: National Archives of the Republic of Indonesia
Episentrum Politik Dunia
Sebanyak 29 negara yang baru atau belum merdeka mencoba membebaskan diri dari himpitan neokolonialisme dengan berkumpul di Bandung. Setidaknya pada tanggal 18 April 1955, kota tersebut menjadi pusat episentrum kekuatan politik negara-negara berkembang yang muak dengan tekanan Perang Dingin.
Netralitas di Tengah Perang Dingin
Konfrensi Asia Afrika di Bandung diikuti oleh 23 negara Asia dan enam negara Afrika yang mewakili separuh penduduk Bumi. Saat itu Perang Dingin antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat sedang memuncak. Konferensi di Bandung nantinya menjadi batu loncatan bagi terbentuknya kelompok negara-negara Non Blok.
Foto: National Archives of the Republic of Indonesia
Kepiawaian Nasser
Konferensi yang disiapkan oleh Ruslan Abdulgani itu antara lain dihadiri oleh Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser (3 dr. Ki.) dan pangeran Faisal Ibn Abdul Azis yang kemudian menjadi raja Arab Saudi (2 dr. Ki.) Terutama Nasser menjadi figur utama dalam konfrensi di Bandung. Ia antara lain berhasil membujuk negara lain mendukung kemerdekaan Tunisa, Aljazair dan Maroko dari penjajahan Perancis.
Foto: National Archives of the Republic of Indonesia
Misi Zhou
Perdana Menteri Cina, Zhou En Lai adalah nama mentereng lain yang hadir di Bandung. Zhou sempat selamat dari percobaan pembunuhan sesaat sebelum bertolak ke Indonesia. Di konfrensi Asia-Afrika pemimpin Cina itu memiliki misi besar, yakni memperkuat posisi Cina di dunia internasional dan mengisolasi Taiwan.
Foto: National Archives of the Republic of Indonesia
Loyalitas Tionghoa
PM Cina Zhou, tampak berbicara dengan Mufti Palestina Amin al Husaini, juga menandatangani deklarasi yang menyerukan kepada warga Tionghoa di luar negeri agar menyatakan loyalitas terhadap negara tempat tinggal dan bukan kepada Cina. Point tersebut adalah isu sensitif buat Indonesia dan beberapa negara lain yang hadir dalam konferensi.
Foto: National Archives of the Republic of Indonesia
Papua di Tangan Sukarno
Serupa kepala negara lain, Sukarno memanfaatkan Konferensi Asia Afrika buat mendorong agenda sendiri. Ia misalnya sukses memasukkan butir penolakan terhadap pembentukan negara Malaysia oleh Inggris dan membetoni klaim Indonesia atas Papua Barat.
Foto: Getty Images
Lima Menentang Adidaya
Kendati kemudian menghilang, Konferensi Asia-Afrika membuka jalan bagi terbentuknya Gerakan Non Blok yang digalang oleh Sukarno, Gamal Abdul Nasser, PM India Jawaharlal Nehru, Presiden Ghana Kwame Nkrumah dan Presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito. Kelima negarawan sepakat menerapkan konsep "netralitas positif" untuk menghindari himpitan dua adidaya, Uni Sovyet dan Amerika Serikat.
Foto: National Archives of the Republic of Indonesia