1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Penyambung Lidah Rakyat

7 Juni 2017

Benar pada suatu titik Sukarno membuat orang Indonesia mampu menegakkan kepalanya. Tapi juga membuat bangsa ini tak punya rasa otokritik pada diri mereka sendiri. Demikian opini Andibachtiar Yusuf.

Indonesien Präsident Sukarno
Foto: Getty Images

"Wah bagus itu! Itulah yang dicita-citakan oleh Bung Karno, pernikahan antar etnis, agar Indonesia cepat membaur dan jadi satu,” ujar Pak Permadi dengan tampak sumringah. Ia bersemangat ketika mendengar saya beretnis Minangkabau bercampur Bugis dan Jawa, sementara istri saya Jawa. "Bung Karno memiliki gagasan menjadi Indonesia yang luar biasa, tetapi menyatukannya tidak mudah, ia sadar Indonesia adalah negara besar dengan bangsa yang besar,” tambahnya lagi dengan semangat yang ia angkat level-nya.

Pak Permadi adalah seorang klayaban, mereka yang di masa orde baru dicabut kewarganegaraannya oleh rezim yang berkuasa di masa itu. Ia meninggalkan Indonesia pada musim panas tahun 1959 dan tak pernah menginjak tanah airnya sampai sekitar tahun 2002!

Penulis: Andibachtiar Yusuf Foto: Andibachtiar Yusuf

Layaknya banyak generasi muda terpelajar di masa itu, ia sangat mencintai Sukarno, orang yang baginya punya visi besar terhadap Nusantara. Orang yang memiliki kemampuan diplomasi kelas tinggi, memiliki kosakata yang menggugah sekaligus menghipnotis pendengarnya.

Sukarno punya cita-cita yang luar biasa, ia percaya Nusantara adalah sebuah gagasan kebangsaan berlevel magnum opus. Modal ratusan etnis dan ribuan suku adalah senjata utama memaksimalkan potensi alam tak terkira. Garis pantai terpanjang di dunia, alam vulkanik yang menciptakan potensi wisata luar biasa sampai kekayaan alam yang jika disatukan dari ujung timur sampai barat, sulit rasanya mencari padanan kekuatannya.

Dimanapun berada, si Bung terus berkoar tentang gagasan ini. Pada setiap pidatonya di depan ribuan warga negeri baru itu, dengan gagah dan percaya sendiri ia tanamkan tentang kebesaran Majapahit, Sriwijaya sampai Kesultanan Gowa di masa lalu dan bagaimana bangsa di Nusantara ini punya potensi yang sangat besar jika menjadi satu, menjadi Indonesia.

Ia lalu merasa "terampok” ketika Malaysia mendadak merdeka dan tidak menjadi bagian dari kesatuan Nusantara alias Indonesia itu. Dengan semangat ekspansif ia memerintahkan untuk ‘mengganyang Malaysia' dan menyatakan keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena lembaga ini mengakui kedaulatan Malaysia.

Di kemudian hari di depan bangsanya, ia "menertawakan” cita-cita pendiri Singapura yang ingin menempatkan negeri baru itu sebagai titik kecil penghubung negara-negara di dunia ini. Sebaliknya Lee Kwan Yew, si Bung menyebut gagasan itu dengan kalimat yang kurang lebih berbunyi: "Titik kecil tanpa potensi di sisi raksasa Asia,”

Semangat memotivasi

Saya sadar, sebagai pendiri sebuah negara baru yang bermula dari berbagai "negara dan kerajaan” yang terdapat diatasnya, Sukarno ingin memberi motivasi pada warganya. Agar mereka tidak berpikir bahwa mereka adalah orang-orang terjajah yang tak punya potensi maju. Ia ingin bangsanya tumbuh dengan kepercayaan diri dan keyakinan bahwa negeri barunya di suatu hari nanti mampu sejajar dengan kekuatan ekonomi atau teknologi manapun di belahan dunia ini.

Satu hal yang saya duga Sukarno lupa, bangsanya saat itu masih banyak yang rendah daya intelektualnya. Orang pintar mungkin masih bisa dihitung dengan jari, bangsanya tidak siap terus menerus dibombardir dengan segala jargon dan kepercayaan diri bahwa mereka sejajar dengan (saat itu) Inggris, Amerika Serikat atau bahkan hanya sekedar Belanda.

Bangsanya malah terkesiap ketika orasi demi orasi si Bung terus menggempur benak mereka. Orang-orang ini jadi betulan merasa bahwa di saat itu Indonesia memang adalah sebuah negara raksasa yang sejajar dengan Jepang. Padahal infrastruktur saja—sampai hari ini—masih nebeng bikinan Belanda.

Menjadi pongah

Indonesia masa kini terjebak menjadi sebuah negara yang pongah. Mayoritas bangsanya merasa bahwa mereka adalah pusat kekuatan dunia, negeri-negeri lain—terutama di sekitarnya—hanyalah bahan lelucon yang kadang sering terjebak jadi bernada rasis. Di tengah gempuran budaya barat, Korea atau Arab yang terus menggerus, orang Indonesia yakin bahwa negerinya punya budaya nasional yang adiluhung. Padahal apa sih budaya Indonesia itu sesungguhnya? Batik yang Jawa, Pendet yang Bali, Saman yang Aceh atau Mahabharata yang (sebenarnya) India?

Benar pada suatu titik Sukarno membuat orang Indonesia mampu menegakkan kepalanya di masa ketika bangsa-bangsa lain sedang berusaha keras untuk bisa merdeka dari cengkeraman bangsa barat. Tapi pada suatu sisi, ia membuat bangsa ini menjadi megalomaniak tanpa punya rasa otokritik pada diri mereka sendiri. Indonesia era kini, berpuluh tahun setelah Sukarno dkk memproklamirkan kemerdaan bangsa—secara sepihak—adalah negeri yang mubazir.

Garis pantai yang luar biasa panjang tak membuat bangsa ini memiliki atlet selancar profesional layaknya Australia yang garis pantainya tak sampai seperempat negeri ini, kekayaan alam yang terserak tak membuat kesejahteraan menjadi merata, keindahan alam tak pula mampu membuat negeri ini menjadi tujuan utama para pelancong. Bahkan agama yang dilembagakan dan diatur oleh negara tak pula mampu membuat negeri ini jadi bebas dari korupsi.

National Geographic edisi tahun 1955 dengan sampul wajah Sukarno yang tengah mengepalkan tangannya menuliskan potensi Indonesia yang besar. Lalu lintas sungai dan hutan di Kalimantan, kelapa sawit dan minyak bumi di Sumatera, emas di Jawa dan Sulawesi, dan seterusnya. Majalah yang sama dengan sampul yang sama di tahun 2005 mengulang tulisan yang sama dengan tulisan yang dituliskan 50 tahun kemudian itu. Isinya kurang lebih: ”...mereka melakukan terlalu banyak kesalahan sehingga tidak berkembang kemana-mana dan terus terjebak pada nostalgia kebesaran masa lalunya…”

Penulis:

Andibachtiar Yusuf (ap/vlz)

Filmmaker & Traveller

@andibachtiar

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis