Rumah Budaya Indonesia adalah salah satu alamat utama bagi masyarakat Berlin yang ingin berkenalan dengan budaya Indonesia. Birgit Steffan yang sudah 20 tahun bekerja untuk KBRI mengelola institusi ini.
Iklan
"Yang paling memikat hati saya adalah orang-orang di Indonesia. Saya senang dengan sifat ramah orang-orangnya dan bahwa segala hal dilihat dengan humor, bahwa orang-orang banyak tertawa. Dalam hal ini saya juga belajar banyak dari Indonesia,” ujar Birgit Steffan, koordinator Rumah Budaya Indonesia di Berlin.
Perjumpaan dengan Indonesia terjadi di awal masa kuliahnya tahun 1991 silam. Ketika itu Birgit ingin mencari pengalaman di Asia Tenggara. Atas saran seorang teman, ia pergi ke Bandung untuk magang di Goethe Institut. Sejak itu hidup perempuan kelahiran selatan Jerman ini selalu terhubung dengan Indonesia.
Di penghujung masa kuliahnya, Birgit yang mengambil jurusan musik di Universitas Bonn, Jerman mendapat beasiswa Darmasiswa untuk belajar karawitan dan gamelan di Jogjakarta dan Denpasar selama satu tahun. Selesai kuliah, Birgit ingin menulis tesis mengenai pengaruh gamelan terhadap musik barat dan sering mencari informasi di perpustakaan KBRI Jerman, yang dulu masih berlokasi di Bonn.
Mulai bekerja di KBRI
Pada tahun 1997 atase kebudayaan ingin mempunyai anggota staf orang Jerman yang bisa berbahasa Indonesia. Berbekal pengalamannya dan ketertarikannya atas Indonesia, Birgit melamar dan berhasil mendapatkan pekerjaannya di sana. "Saya senang pekerjaan ini karena bisa mengorganisisasikan berbagai acara budaya dan dalam waktu bersamaan menyebarkan pengetahuan dan antusiasme saya terkait Indonesia,” tutur Birgit.
Di KBRI, Birgit juga semakin mempelajari Bahasa Indonesia karena ia sering harus menerjemahkan percakapan atau teks, sering kali secara simultan. Sampai sekarang, Birgit setiap hari menggunakan Bahasa Indonesia. Kecuali di akhir pekan, ketika ia sedang tidak bekerja, akunya sambil tertawa.
Membangun Wisma Jerman di Surabaya
Pada tahun 2011, Birgit mengambil jeda dari pekerjaan di KBRI dan pergi ke Surabaya sebagai tenaga ahli dari organisasi kerjasama internasional pemerintah Jerman GIZ. Bersama-sama dengan Goethe Institut dan Kamar Dagang Indonesia-Jerman EKONID, ia bertugas untuk menghidupkan sebuah yayasan kebudayaan di ibu kota Jawa Timur, yang waktu itu sudah terancam mungkin akan ditutup.
Di masa penugasan Birgit, yayasan ini mendapat format baru dengan fokus di bidang kebudayaan, pendidikan dan ekonomi, dan akhirnya menjadi sangat maju. Sekarang Wisma Jerman, yang ide namanya datang dari Birgit, menawarkan kursus Bahasa Jerman bagi orang-orang Indonesia serta loka karya atau pelatihan bagi pegawai-pegawai perusahaan-perusahaan Jerman yang berada di Surabaya. Mereka tidak lagi harus jauh-jauh ke Jakarta untuk hal ini. Acara budaya pun tentu tidak ketinggalan: Wisma Jerman menyelenggarakan Oktoberfest setiap tahunnya.
Ibu dari satu anak ini sangat bangga atas prestasi membangun Wisma Jerman. Dan walaupun diakui cuacanya agak terlalu panas untuknya, Birgit sangat senang tinggal di Surabaya. "Saya ingat, kalau dulu ada masalah di kantor, saya kesal. Di jalan pulang saya masih harus belanja dan petugas kasirnya selalu ramah. Saya selalu berpikir, karena inilah saya senang di sini karena orang-orangnya ramah sekali. Setelah itu semuanya menjadi lebih baik,” kenang Birgit. "Senyuman atau perbuatan baik antar manusia bisa menghapus banyak pengalaman buruk.”
Mempererat Persahabatan Jerman-Indonesia dari Surabaya Sampai Berlin
Birgit Steffan berkenalan dengan Indonesia pada awal tahun 1990-an dan sejak itu perempuan berusia 55 tahun ini selalu dekat dengan budaya Indonesia. Sekarang ia mengelola Rumah Budaya Indonesia yang berlokasi di Berlin.
Foto: DW/A.Gollmer
Koordinator Rumah Budaya Indonesia di Berlin
Sejak pembukaan Rumah Budaya Indonesia di lokasi barunya tahun 2017, Birgit bekerja sebagai koordinator yang salah satunya bertugas merencanakan kegiatan-kegiatan budaya yang diselenggarakan di sini.
Foto: DW/A. Gollmer
Memperkenalkan budaya Indonesia
Tarian Bali, pertunjukan wayang, latihan gamelan dan lain-lain selalu meramaikan pusat budaya yang terletak di selatan kota Berlin ini. Selain pertunjukan kesenian, khalayak umum juga diundang untuk memperdalam Bahasa Indonesia melalui kursus bahasa dan buku-buku di perpustakaan.
Foto: Dokumentation Rumah Budaya Indonesia
Memberikan Sambutan
Walaupun perempuan kelahiran Jerman Selatan ini mengaku, bahwa ia tidak terlalu suka tampil di atas panggung, sebagai koordinator Rumah Budaya Indonesia Birgit kerap memberi sambutan pembukaan dalam berbagai acara, tentunya dalam Bahasa Indonesia yang lancar.
Foto: Zulfitri Daruddin/ Dokumentation Rumah Budaya Indonesia
Bekerja di balik layar
Untuk banyak acara Birgit tidak hanya bertanggung jawab atas perencanaan, ia juga langsung turun tangan dalam persiapan dengan rekan-rekan kerjanya. Di belakang panggung utama Rumah Budaya Indonesia, ia sedang mendiskusikan peralatan yang bisa dipakai untuk pameran keris yang akan dibuka beberapa hari kemudian.
Foto: DW/A. Gollmer
Bekerja di depan komputer
Tantangan terbesar dalam pekerjaan Birgit adalah agar sebanyak mungkin orang datang ke acara-acara yang diadakan Rumah Budaya Indonesia. Berlin adalah kota yang sarat dengan acara budaya, jadi saingan cukup berat. Bagian besar dari pekerjaan Birgit adalah melakukan hubungan masyarakat dan promosi.
Foto: DW/A. Gollmer
Wisma Jerman
Selama 5 tahun Birgit tinggal di Surabaya untuk turut membangun pusat budaya, pendidikan dan ekonomi, yang merupakan kerja sama antara Goethe Institut dan kamar dagang Indonesia-Jerman EKONID.
Foto: Wisma Jerman Surabaya
Oktoberfest di Surabaya
Salah satu ide acara Birgit yang sampai sekarang terus diselenggarakan oleh Wisma Jerman adalah Oktoberfest. Setiap tahunnya warga Surabaya bisa ikut serta dalam tradisi Bayern ini.
Foto: privat
Senang menjelajahi Indonesia
Alam Indonesia termasuk hal yang paling dicintai Birgit dan ia senang mengunjungi berbagai daerah selama disana. Perjalanan menggunakan perahu klotok di Tanjung Puting, Kalimantan adalah perjalanan yang tidak akan ia lupakan. (ck/ap)
Foto: privat
8 foto1 | 8
Tantangan komunikasi antar budaya
Tetapi kadang sifat ramah orang Indonesia juga bisa membingungkan bagi Birgit. "Jika mereka tidak suka dengan sesuatu, orang Jerman mengungkapkannya secara langsung . Lalu kami akan membahasnya dan jika beruntung, kami akan mencapai level yang sama (saling mengerti).” jelasnya.
"Ketika saya bekerja di Indonesia, saya kadang merasa, ada sesuatu yang salah. Tetapi tidak ada yang bilang apa-apa ke saya. Semua ramah ke saya tetapi saya tetap merasa sebenarnya ada yang salah, tapi saya tidak tahu pasti,” lanjut Birgit.
Untungnya di sana ia kerap dibantu oleh seorang rekan kerjanya yang berdarah campuran Belanda-Indonesia. Baginya sangat penting mempunyai seorang yang bisa dipercayai, yang kenal baik dengan dua budaya dan bisa memberi nasihat apa yang harus dilakukan.
Memperkalkan budaya Indonesia kepada masayarakat Jerman
Sekembalinya di Jerman, Birgit kembali bekerja di KBRI selama satu tahun, sampai Rumah Budaya Indonesia, yang sempat ditutup, kembali dibuka di sebuah lokasi baru. Sejak akhir 2017, perempuan yang senang dengan segala manisan Indonesia ini bekerja di Rumah Budaya Indonesia sebagai koordinator.
Birgit bertanggung jawab atas perencanaan tahunan dan bersama timnya, ia memastikan, bahwa Rumah Budaya Indonesia selalu hidup dengan berbagai acara. Secara berkala di sini diadakan acara Temu Sastra dengan sastrawan dari Indonesia dan Sarasehan dengan berbagai pakar Indonesia yang berbagi ilmunya tentang beragam topik. Musik tradisional juga merupakan bagian besar dari program Rumah Budaya Indonesia: Berbagai kelompok gamelan, angklung atau keroncong latihan dan mengadakan pertunjukan di sini. Kursus bahasa dan perpusatakaan juga tidak ketinggalan di program Rumah Budaya.
Sendratari Candrakirana, Pementasan Terbesar Masyarakat Indonesia di Jerman
Kisah percintaan klasik di tanah Jawa antara Candrakirana dan Inu Kertapati sampai juga ke Jerman. Dengan improvisasi mengedepankan budaya nusantara, Sendratari Candrakirana tampil memukau penonton di kota Frankfurt.
Foto: DW/G. Anggasta
Pementasan terbesar
Sendratari Candrakirana merupakan pementasan terbesar kelompok tari Pesona Indonesia di Frankfurt am Main dan sekitarnya. Kisah yang dimainkan berawal dari terusirnya Candrakirana dari Kerajaan Dhaha, petualangan keliling Indonesia dari pasangan Candrakirana dan Inu Kertapati dimulai. Pentas seni ditampilkan dua kali pada hari Minggu (28/4).
Foto: DW/G. Anggasta
Tiket terjual habis
Antusias penonton menyaksikan Sendratari Candrakirana tak hanya datang dari masyarakat Indonesia, banyak warga negara Jerman juga ingin menyaksikan pementasan akbar ini. Lebih 400 tiket yang disediakan penyelenggara semuanya habis terjual. Tiket dijual mulai dari harga 11,80 Euro atau sekitar Rp180 ribu Rupiah.
Foto: DW/G. Anggasta
Puluhan penari
Para penari berasal tak hanya dari kelompok tari Pesona Indonesia, melainkan individu lain yang lolos audisi. Pencarian pemeran tokoh dan para penari telah dilakukan pada November 2018 lalu. Ada sekitar 40 penari yang terlibat di sini, yang paling muda diwakili penari cilik berusia 7 tahun. Mereka membawakan delapan buah tarian klasik Indonesia dan beberapa tarian modifikasi.
Foto: DW/G. Anggasta
Antusias dari jauh
Setiap minggunya, para penari bisa datang tiga kali untuk berlatih mempersiapkan pementasan ini. Ratu Dety Aulia tak hiraukan lelahnya perjalanan, meski jarak yang ditempuh bisa makan waktu hingga dua jam. "Suka sekali menari dari dulu. Apalagi di Jerman, mereka 'kan belum tahu semua budaya Indonesia, ya. Ingin 'banget' menunjukkan kultur Indonesia, banyak sekali dari Sabang sampai Merauke."
Foto: DW/G. Anggasta
Belanja fesyen
Sambil menunggu pertunjukan dimulai atau saat rehat, pengunjung juga bisa berbelanja gaun, luaran pakaian atau rok bercorak aneka batik untuk menambah koleksi busana musim semi dan musim panas kali ini. Desain busana dan corak batik yang sederhana menjadi favorit orang Jerman, kata Ester Bolten, pemilik butik yang berpartisipasi.
Foto: DW/G. Anggasta
Bazaar makanan
Kehadiran aneka makanan dan jajanan khas nusantara cukup mengobati rasa rindu pada kuliner tanah air. Kehadirannya juga tentunya diburu orang Jerman yang penasaran. Selain mie ayam, ada juga nasi uduk, nasi campur, siomay, rempeyek, martabak telor, kue dadar gulung dan masih banyak lagi.
Foto: DW/G. Anggasta
Gamelan Jawa
Sambil asyik bersantap, iringan musik dari gamelan Jawa setia menemani pengunjung. Ada sekitar lima buah lagu yang dibawakan oleh Kelompok Gemelan Wacana Budaya, antara lain Gebo Giro, Mangarsewu dan Subakastowo.
Foto: DW/G. Anggasta
Pameran foto
Pengunjung juga bisa menelusuri pameran fotografi dari BUGI, sebuah organisasi masyarakat internasional yang bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan untuk Indonesia. Foto milik Nugroho Dwiadhiseno di atas adalah salah satu dari 25 koleksi foto yang dipamerkan untuk proyek sanitasi di Desa Tambak Lorok, Semarang.
Foto: DW/G. Anggasta
Penonton belajar banyak
"Pementasannya sangat indah. Tariannya sangat bagus, juga kostum dan aksesorisnya. Ceritanya juga sangat bagus. Saya belajar banyak tentang Indonesia dari pementasan tadi," kata Levin, salah seorang pengunjung. Di pintu masuk teater, penyelenggara menyiapkan booklet berisikan sinopsis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jerman untuk setiap pengunjung. (Teks: Geofani Anggasta/hp)
Foto: DW/G. Anggasta
9 foto1 | 9
Birgit sangat menyenangi acara-acara yang melibatkan kerjasama, seperti jika orang Indonesia dan orang Jerman mengembangkan sesuatu yang baru atau jika seni klasik bertemu seni kontemporer, seperti ketika pemain wayang Agus Bimo Prayitno menampilkan seni wayang modern hasil garapannya dengan sejumlah seniman lain. Salah satu impian Birgit adalah untuk menyelenggarakan sebuah konser jazz Indonesia di Rumah Budaya suatu saat nanti.
Ketika ditanya, mengapa ia senang menyebarkan kebudayaan Indonesia, wanita berusia 55 tahun ini mengatakan, karena orang Jerman bisa belajar banyak dari Indonesia. "Bisa belajar lebih santai,” kata Birgit, disambung tawa. "Indonesia juga merupakan tujuan wisata yang hebat. Ada kebudayaan yang luar biasa menarik yang bisa ditemukan di berbagai pulau. Ini adalah sebuah kekayaan yang jarang ditemukan di tempat lain di dunia,” paparnya lebih lanjut.