1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Dunia Digital

Pemilu di Era Digital dalam Ancaman Manipulasi Media Sosial

17 Februari 2020

Facebook, Twitter, dan media sosial lain telah disalahgunakan untuk memanipulasi pemilu. Konferensi Keamanan di München, Jerman, membahas upaya melindungi nadi demokrasi ini.

Ilustrasi media sosial
Foto: imago images / ZUMA Press

Munich Security Conference (MSC) 2020 baru saja selesai diselenggarakan di kota München, Jerman. Dalam konferensi yang dihelat pada 14 hingga 16 Februari ini, sejumlah perwakilan pemerintahan hadir untuk membahas potensi ancaman dan konflik global seperti krisis Iran dan Timur Tengah. Saling silat lidah antara delegasi Amerika Serikat dan Cina juga mewarnai MSC 2020. Namun, terlepas dari semua itu, ada satu ancaman nyata yang datang dari dunia maya: serangan digital dalam pemilihan umum.

Pada tahun ini, bukan hanya Amerika Serikat yang akan menyelenggarakan pemilu. Menurut perhitungan Yayasan Kofi Annan yang bergerak di bidang perbaikan pemerintahan global dan pemberdayaan publik, pada tahun 2020 akan berlangsung sekitar 80 pemilu di seluruh dunia.

Satu pertanyaan lantas timbul: Bagaimana cara melindungi serangkaian pemilu tersebut dari gangguan asing atau kepentingan domestik yang dapat melakukan manipulasi skala besar dengan memobilisasi teknologi baru, media sosial dan menyebarkan disinformasi? Hal inilah yang coba dibahas oleh laporan dari Yayasan Kofi Anan pada MSC 2020.

Laporan Yayasan Kofi Anan berfokus pada belahan bumi bagian selatan, utamanya karena perselisihan tentang legitimasi hasil pemilu sering menyebabkan kerusuhan, bahkan pertumpahan darah. Laporan hasil pemilu juga bisa dimanipulasi dengan cara yang nyaris tidak terdeteksi. Selain itu, sering ada kekurangan tim pemantau dan kehadiran lembaga independen.

"Di masa depan, pemilihan umum di negara-negara belahan bumi selatan akan tetap menjadi titik fokus beredarnya ujaran kebencian di internet, disinformasi, campur tangan asing dan manipulasi domestik," demikian kesimpulan suram laporan tersebut.

Manipulasi data atas pesanan pelanggan

Toomas Hendrik Ilves, mantan Presiden Estonia juga turut menjadi pembicara ketika studi tersebut dipresentasikan. Sebagai negara yang serba online, Estonia sangat berpengalaman dalam menangani upaya pengaruh dan serangan asing di wilayah digital mereka.

Pada 2007 terjadi serangan hacker skala besar yang hampir melumpuhkan negara yang sangat digital ini. Serangan diarahkan terhadap badan-badan negara, termasuk parlemen Estonia, presiden dan berbagai kementerian, bank serta media. Pada 2009, seorang pejabat organisasi pemuda Rusia yang berafiliasi dengan pemerintah, yaitu Naschi, mengaku bertanggung jawab atas serangan itu. 

Pemilihan presiden tahun 2017 di Kenya diduga telah dimanipulasi. Gambar diambil pada 26 Oktober 2017 di Gatundu, Kenya.Foto: Reuters/S. Modola

Dalam percakapan dengan DW, Ilves menyebutkan perusahaan analisis data terkenal Cambridge Analytica. Perusahaan ini tidak hanya berperan dalam referendum Brexit pada tahun 2016 dan dalam pemilihan Donald Trump sebagai Presiden AS. Menurut Ilves, Cambridge Analytica sebelumnya juga aktif di sejumlah negara di belahan bumi selatan untuk memanipulasi pemilihan umum atas pesanan para pelanggan.

Menurut laporan media, ada intervensi dalam kampanye pemilu di Kenya pada tahun 2013 dan 2017. "Ketika mereka (Cambridge Analytica) melihat (manipulasi) itu berhasil, mereka menerapkan metode ini ke wilayah transatlantik," ujar Ilves.

Pekerjaan rumah bagi politisi dan pembuat kebijakan

Laporan tersebut mencantumkan 13 proposal guna melindungi pemilu sebagai elemen inti demokrasi. Salah satunya seperti menyerukan kandidat dan partai untuk berkomitmen membatalkan praktik kampanye penipuan antara lain dengan tidak menggunakan bahan curian dan tidak memanipulasi gambar.

Para pembuat kebijakan juga memiliki satu pekerjaan penting yaitu mengatur klarifikasi apa yang termasuk ke dalam lategori iklan politik. Mereka seharusnya dapat mewajibkan operator media sosial untuk menyediakan informasi yang luas tentang klien yang memesan iklan politik tertentu.

Operator penyedia layanan juga harus lebih transparan dan menyampaikan data ke lembaga akademik dan masyarakat sipil. Namun yang paling penting adalah mereka harus memberi kesempatan bagi para pengguna platform untuk dapat menolak iklan politik sama sekali.

Ada contoh positif juga

Rekan penulis laporan tersebut yaitu Alex Stamos, yang sebelumnya menjabat sebagai kepala keamanan di Facebook dan sekarang di Stanford University, memberikan contoh positif tentang bagaimana lembaga pemerintah berinteraksi dengan media sosial dalam penyelenggaraan pemilu.

Alex Stamos mencontohkan bahwa dalam pemilihan federal Jerman tahun 2017, Facebook bekerja erat dengan Dinas Federal Jerman bidang Keamanan Teknik Informasi, BSI. Saat itu, Facebook menghapus ribuan akun palsu yang digunakan untuk menyebarkan informasi bohong.

(ae/y)

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait