Aktivis HAM menilai pengakuan tanpa upaya mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat masa lalu akan menambah garam pada luka korban dan keluarga.
Foto: picture alliance
Iklan
Sejumlah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) menilai pengakuan dan penyesalan yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pelanggaran HAM berat di masa lalu hanya sebagai pelengkap janji politik, mengesampingkan hal utama yaitu penegakan hukum terhadap pelakunya.
Ia menyebut 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu antara tahun 1965 hingga setelah tahun 2000, termasuk peristiwa 1965- 1966, kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Sebagai tindak lanjut, pada Senin (16/01) Jokowi mengadakan pertemuan dengan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2022-2027 di Istana Merdeka, Jakarta.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam), Mahfud MD, dalam keterangan persnya mengatakan bahwa dalam pertemuan tersebut presiden dan Komnas HAM membahas sejumlah hal termasuk pelanggaran HAM berat masa lalu, beserta penyelesaiannya baik secara yudisial maupun nonyudisial.
Hak korban juga harus dipenuhi
Pengakuan Presiden Jokowi merupakan salah satu rekomendasi tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) yang dibentuk Agustus 2022 melalui Keputusan Presiden No.17/2022. Tim terdiri dari 12 orang pelaksana dan 6 menteri sebagai dewan pengarah yang ketuanya dijabat oleh Menko Polhukam Mahfud MD.
Sebelumnya Jokowi mengatakan dirinya sebagai kepala negara "mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi di berbagai peristiwa dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat (tersebut)."
"Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada korban dan keluarga korban," ucap Jokowi.
Kepada DW Indonesia, Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, mengapresiasi pengakuan Jokowi bahwa ada pelanggaran HAM berat masa lalu dengan membentuk PPHAM yang menghasilkan rekomendasi untuk pemulihan hak korban secara adil.
Anis Hidayah berharap, ke depan, tim penyelesaian pelanggaran HAM berat ini dapat ditindaklanjuti secara memadai agar para korban yang sudah didata oleh tim mendapatkan hak-hak mereka.
"Kami juga mendorong presiden agar ada komitmen di bidang penegakan hukum agar kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang sudah selesai diselidiki oleh Komnas HAM bisa ditindaklanjuti melalui proses hukum di pengadilan HAM," ujarnya kepada DW Indonesia.
Daftar Pelanggaran HAM yang Belum Terselesaikan
Sejumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia berat tersandung oleh sikap batu lembaga negara. Kejaksaan Agung seringkali menjadi kuburan bagi keadilan. Inilah sebagian kasus besar yang masih menjadi PR buat pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images/Dewira
Tragedi Trisakti
Pada 12 Mei 1998 demonstrasi mahasiswa menuntut pengunduran diri Suharto memuncak di kampus Universitas Trisakti, Jakarta. Komnas HAM mencatat jumlah korban kekerasan oleh aparat keamanan mencapai 685 orang, sementara tiga meninggal dunia akibat tembakan. Ironisnya berkas penyelidikan yang dikirimkan ke Kejaksaan Agung dinyatakan hilang pada Maret 2008 oleh Jampidsus Kemas Yahya Rahman.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. husni
Semanggi Berdarah
Kejaksaan Agung di bawah kendali Hendarman Supandji menjadi jalan buntu pengungkapan kasus pelanggaran HAM 1998. Berkas laporan Komnas HAM terhadap kasus kekerasan aparat yang menewaskan 17 orang (Semanggi I) dan melukai 127 lainnya pada November 1998 menghilang tak berbekas. Setahun berselang tragedi kembali berulang, kali ini korban mencapai 228 orang.
Foto: picture alliance/dpa
Hilangnya Widji Tukul
Satu per satu aktivis pro demokrasi menghilang tanpa jejak menjelang runtuhnya kekuasaan Suharto, termasuk di antaranya Widji Thukul. Ia diduga diculik aparat keamanan setelah dinyatakan buron sejak peristiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli 1996 (Kudatuli). Kasus Widji Thukul mewakili puluhan aktivis yang sengaja dilenyapkan demi kekuasaan.
Foto: Wahyu Susilo
Pembantaian 1965
Antara 500.000 hingga tiga juta nyawa simpatisan PKI melayang di tangan militer dan penduduk sipil setelah kudeta yang gagal pada 1965. Hingga kini upaya pengungkapan tragedi tersebut tidak pernah menyentuh pelaku. Adalah sikap membatu TNI yang melulu menjadi sandungan bagi penuntasan tragedi 1965.
Petaka di Wamena
Tragedi Wamena berawal dari penyerangan gudang senjata oleh orang tak dikenal yang menewaskan 2 anggota TNI pada April 2003. Aksi penyisiran yang kemudian dilakukan aparat menewaskan 9 penduduk sipil, sementara 38 luka berat. Seperti kasus sebelumnya, laporan penyelidikan Komnas HAM ditolak Kejagung dengan alasan tidak lengkap. TNI juga dituding menghalangi penyelidikan kasus tersebut.
Foto: picture-alliance/AP/dpa/A. Vembrianto
Pembunuhan Munir
Sosok yang sukses membongkar pelanggaran HAM berat oleh Tim Mawar dan mengakhiri karir Danjen Kopassus Prabowo Subianto ini meninggal dunia setelah diracun dalam perjalanan menuju Belanda. Pollycarpus Budihari Priyanto dinyatakan bersalah dan divonis 14 tahun penjara. Namun hingga kini kejaksaan sulit memburu tersangka utama yakni Muchdi Pr. yang dikenal dekat dengan Prabowo.
Foto: AFP/Getty Images/Dewira
6 foto1 | 6
Namun Deputi Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar, mengatakan pengakuan dan penyesalan yang disampaikan Presiden Joko Widodo tidak ada artinya jika tidak diikuti dengan langkah konkret pertanggungjawaban hukum dan akuntabilitas negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Pengakuan adanya kejahatan kemanusiaan bukanlah hal baru. Komnas HAM sejak 1999 sudah merekomendasikan itu bahkan tidak hanya sekadar pengakuan, melainkan permintaan maaf," ujar Rivanlee kepada DW Indonesia.
Tentu saja pengakuan dan permintaan maaf kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dapat berdiri sendiri. Pengakuan dan permintaan maaf harus ditindaklanjuti dengan rangkaian tindakan untuk memberikan hak-hak korban secara keseluruhan.
Rivanlee pun menilai pengakuan presiden soal pelanggaran HAM hanya pemanis politik. "Pengakuan, penyesalan, serta pernyataan Presiden Joko Widodo lainnya tidak lebih dari pembaruan terhadap janji lama," kata dia.
Iklan
Janji pemberian hak dan pemulihan korban
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan pemerintah akan melakukan pemberian hak dan pemulihan bagi para korban - bukan pelaku - seperti bantuan peningkatan ekonomi, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, pembangunan memorial, penerbitan dokumen kependudukan, rehabilitasi medis dan psikis, perlindungan korban, pelatihan dan pembinaan wirausaha pertanian, peternakan.
"Ini khusus akan diprogramkan by name by address. Ini sudah dicatat, sehingga akan mendapatkan perlakuan khusus sehingga itu merupakan perhatian khusus dari negara kepada korban pelanggaran HAM berat, sementara pelaku menjadi urusan hukum dan dibicarakan lagi oleh Komnas HAM," ujar Mahfud di Istana, Senin (16/01).
Menurut Mahfud, tercatat ada 35 tersangka dari empat pelanggaran HAM yang terjadi sesudah tahun 2000 diadili namun ditolak semua oleh Mahkamah Agung. Empat kasus tersebut adalah pelanggaran HAM Timor Timur, Abepura, Tanjung Priok dan terakhir, pengadilan negeri Makassar membebaskan anggota TNI Isak Settu dalam kasus penembakan warga sipil di Paniai, Papua.
"Semua tersangkanya dibebaskan karena tidak cukup bukti dikatakan pelanggaran HAM berat, bahwa itu kejahatan iya, tapi bukan pelanggaran ham berat karena itu berbeda. Kalau kejahatannya semua sudah diproses secara hukum tapi pelanggaran HAM beratnya itu memang tidak cukup bukti," ujar Mahfud MD.
Keterlibatan Asing dalam Pembantaian 1965
Sejarah mencatat pembantaian simpatisan PKI 1965 adalah buah kotor percaturan politik dunia di era Perang Dingin. Bahkan propaganda anti komunis yang disebarkan di Indonesia pun dirancang dan disusun di luar negeri
Foto: Yoichi Robert Okamoto
Dunia Terbelah Dua
Pada dekade 60an dunia didera konflik ideologi antara Amerika dan Uni Sovyet. Akibatnya perang proksi menjalar ke berbagai belahan Bumi. Jerman terbelah dua dan negara berkembang menjadi lahan lain perseteruan dua adidaya tesebut. Tahun 1963 Amerika Serikat gagal menjatuhkan benteng Komunisme di Kuba. Presiden baru AS, Lyndon B. Johnson, lalu beralih menginvasi Vietnam Utara.
Foto: Getty Images/P. Christain
Adu Jotos di Negeri Orang
Bagaimana kedua adidaya menjadikan negara berkembang sebagai catur politik terlihat dari banyaknya perang proksi. Dekade 1960an mencatat sedikitnya 50 konflik semacam itu, yang terbanyak selama Perang Dingin. Uni Sovyet dan Cina terutama getol memasok senjata buat pemberontak komunis. (Gambar: Pemimpin Cina Mao Tse Tung dan penguasa Sovyet Nikita Khrushchev di Beijing, 1959)
Foto: AP
Pemberontakan Komunis Malaysia
Lima tahun sebelum peristiwa G30S, Malaysia telah mendahului lewat perang antara Malayan National Liberation Army yang didukung Partai Komunis dan tentara persemakmuran pimpinan Inggris. Konflik serupa terjadi di Kongo, India, Bolivia dan Kolombia.
Foto: Public Domain
Primadona Perang Dingin
Indonesia adalah medan perang lain antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Mulai dekade 50an, Presiden Soekarno menjadi primadona politik yang diperebutkan oleh Presiden AS John F. Kennedy dan penguasa Uni Sovyet, Nikita Khrushchev. Saat itu Indonesia sudah menjadi salah satu kekuatan terbesar di Asia Tenggara dan mulai diperhitungkan di dunia.
Foto: Central Press/Hulton Archive/Getty Images
Petualangan di Timur
Soekarno yang mulai menua justru merasa Indonesia cukup kuat untuk menanggalkan asas netralitas dan menghidupkan poros Moskow-Beijing-Jakarta. Memasuki dekade 1960an, Uni Sovyet tercatat sebagai pemberi bantuan terbesar ke Indonesia, melebihi negara lain. Petualangan politik itu kemudian ternyata berujung fatal buat Indonesia
Foto: picture-alliance/Everett Collection
Manuver Sukarno
Hubungan Indonesia dan barat remuk setelah Amerika Serikat membantu pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1958. Sebagai balasan Sukarno memerintahkan agresi militer terhadap Malaysia buat menentang pembentukan negara persemakmuran oleh Inggris. Soekarno saat itu beralasan dirinya menentang neo kolonialisme. Realitanya ia menyokong pemberontakan kelompok Komunis Malaysia di Serawak.
Foto: gemeinfrei
Harapan di Tangan Tentara
AS pun mulai berupaya menggembosi Partai Komunis Indonesia. Mereka mengkhawatirkan Soekarno yang mulai tua akan mewariskan tahta kepada PKI. Kendati dimusuhi Jakarta, dinas rahasia barat tetap menjalin kontak dengan TNI yang dianggap satu-satunya harapan memberangus komunisme di Indonesia. Hingga peristiwa 65, AS telah melatih setidaknya 4000 perwira TNI.
Bantuan dari Jerman
Tahun 1971 mingguan Jerman Der Spiegel melaporkan pada 1965 dinas rahasia BND bekerjasama dengan CIA memerangi PKI di Indonesia. BND antara lain membantu TNI dengan memasok senjata api, alat komunikasi dan uang senilai 300.000 DM atau sekitar 700 ribu Euro.
Foto: Imago
Pujian Gehlen buat Suharto
Tahun 1965 BND memiliki seorang agen rahasia, eks perwira NAZI, Rudolf Oebsger-Röder yang menyamar sebagai wartawan di Jakarta. Reinhard Gehlen (gambar), Presiden BND, menulis dalam memoarnya bahwa keberhasilan Suharto "menumpas PKI patut dihargai setinggi tingginya." Gehlen mengaku kehilangan "dua teman dekat" yang ikut dibunuh pada peristiwa G30S, salah satunya Brigjen Donald Isaac Pandjaitan
Foto: picture-alliance/dpa
Propaganda Kiriman Barat
National Security Archive di AS mencatat dinas rahasia Inggris, MI6, yang beroperasi dari Singapura, menggandeng dinas rahasia Australia buat merancang propaganda hitam terhadap PKI, etnis Cina dan Sukarno. MI6 bahkan memanipulasi pemberitaan media asing seperti BBC. Propaganda yang banyak berkaca pada pemberontakan komunis Malaysia itu lalu diadopsi berbagai media Indonesia yang dikuasai TNI
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Daftar Maut Amerika
Tidak banyak kejelasan mengenai keterlibatan langsung dinas rahasia asing terhadap pembantaian simpatisan PKI. Yang jelas sejarah mencatat bagaimana Kedutaan Besar Amerika Serikat menyerahkan daftar berisikan 5000 nama jajaran pimpinan PKI kepada TNI. Dokumen tersebut, kata Robert J. Martens, atase politik di kedubes AS, "adalah bantuan besar buat TNI."
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Darah Disambut Pesta
Di hari-hari pembantaian itu dunia merayakan kehancuran PKI di Indonesia. PM Australia Harold Holt (ki.) berkomentar "dengan dibunuhnya 500 ribu sampai 1 juta simpatisan Komunis, aman untuk berasumsi bahwa reorientasi (di Indonesia) sedang berlangsung." Ironisnya Uni Sovyet cuma bereaksi dingin dengan menyebut pembantaian tersebut sebagai "insiden yang tragis."
Foto: Yoichi Robert Okamoto
12 foto1 | 12
Aktor pelanggar HAM perlu diungkap
Namun Ismail Hasani, Direktur Eksekutif Setara Institute, menganggap bahwa pengakuan presiden atas pelanggaran HAM di masa lalu adalah bagian dari aksesori politik kepemimpinan Jokowi dalam memenuhi janji kampanyenya tahun 2014.
"Sebagai aksesori, pengakuan dan penyesalan itu hanya akan memberikan dampak politik bagi presiden tetapi tidak memenuhi tuntutan keadilan sebagaimana digariskan oleh UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM," kata Ismail dalam pernyataan di Jakarta, Kamis (12/01).
Setara Institute juga menyesalkan tidak adanya pengungkapan kebenaran akan siapa aktor di balik 12 kasus tersebut. Padahal, pengungkapan kebenaran menjadi unsur yang sangat esensial dalam penuntasan pelanggaran HAM berat, sekalipun melalui mekanisme nonyudisial.
"Mengambil jalur nonyudisial sebagai mekanisme penyelesaian yang justru semakin berpotensi pada pengukuhan impunitas," ujarnya. Ia khawatir bahwa keputusan politik presiden, yang hanya menempuh jalur penyantunan pada korban, akan menjadi referensi dan preseden sikap lanjutan Jokowi pada dua tahun terakhir kepemimpinannya atau bagi presiden selanjutnya.
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. Meski menghargai sikap Presiden Jokowi, ia mengatakan bahwa pengakuan tersebut tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran HAM berat masa lalu.
Ia menyayangkan pemerintah hanya memilih 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat, sementara mengabaikan pelanggaran lainnya seperti pelanggaran selama pendudukan dan invasi Timor Timur, Tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa penyerangan 27 Juli 1996, atau kasus pembunuhan Munir.
"Pengakuan belaka tanpa upaya mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu hanya akan menambah garam pada luka korban dan keluarganya. Pernyataan Presiden tersebut tidak besar artinya tanpa adanya akuntabilitas," kata Usman dalam pernyataan yang diterima DW Indonesia. (ae)