1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Peran Politik Perempuan di Malaysia, Pakistan dan Indonesia

Ayu Purwaningsih7 Mei 2008

Di dunia barat, perempuan mendapat kesempatan terjun di bidang politik hinga pucuk teratas. Bagaimana dengan negara-negara yang mayoritasnya memeluk Islam?

Tempat bagi perempuan dalam politik masih terus dipertanyakan
Tempat bagi perempuan dalam politik masih terus dipertanyakanFoto: AP

Jabatan Kanselir Jerman saat ini dipegang Angela Merkel. Di Amerika Serikat, saat ini Hillary Clinton tengah berlomba dengan kandidat pria di kubu demokrat menuju ke Gedung Putih. Mereka hanya segelintir dari begitu banyaknya perempuan maju yang tanpa kenal lelah menunjukkan bahwa perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki, termasuk di bidang politik. Namun bagaimana dengan perempuan di negara-negara yang mayoritasnya Muslim? Sebuah seminar yang digelar Kota Münster, Jerman, mendiskusikan hasil penelitian tentang peran politik perempuan di negara Pakistan, Malaysia dan Indonesia. Rebecca Hegemann dari Universitas Münster meneliti peran politik perempuan di Malaysia, Andrea Fleschenberg dos Ramos Pineu dari Universitas Hildersheim meneliti bidang yang sama, di Pakistan. Sementara Ahmad Norma Permata dari Universitas Münster meneliti di Indonesia.

Kita mulai dengan Pakistan. Siapa tidak mengenal Benazir Buttho. Hingga ajal menjelang, ia mencoba untuk terus mendobrak sistem politik di Pakistan yang didominasi oleh kaum laki-laki. Ia meninggal dunia dalam kampanye di Pakistan beberapa bulan lalu. Namun seperti kata pepatah, mati satu tumbuh seribu. Politisi perempuan Pakistan, Fahmida Mirza, kini menjabat sebagai ketua parlemen majelis rendah Pakistan. Penelitian yang dilakukan oleh Andrea Fleschenberg dos Ramos Pineu menggambarkan peran perempuan dalam politik di Pakistan memasuki tren yang sedikit menggembirakan:„Untuk pertama kalinya semenjak bulan Maret, Fahmida Mirza terpilih sebagai ketua sekaligus juru bicara parlemen, yang mendapat lebih dari dua pertiga suara. Dia dipilih dari empat koalisi partai politik, seperti misalnya partai PPP, partai regional, dan patai Liga Muslim Pakistan Nawaz Syarief, serta partai baru yang didirikan oleh Maulana Fazul ar Rahman yang dulunya tergabung dengan MMA, namun kemudian pecah karena adanya pengaruh dari Jemaah Islamiyah.“

Jumlah keterwakilan perempuan di tubuh parlemen sendiri tergolong cukup banyak, yaitu 232 perempuan. Meski demikian, bukan berarti mereka dipilih berdasarkan sistem demokrasi yang berjalan lancar. Melainkan masih sekedar memenuhi kuota yang disediakan oleh partai. Mereka hanya diperbolehkan menyuarakan kepentingan partai. Hanya segelintir dari 232 perempuan di parlemen yang berpengalaman di bidang politik. Andrea Fleschenberg dos Ramos Pineu menuturkan: "216 dari 232 perempuan yang duduk dalam parlemen tidak atau kurang berpengalaman. Mereka inilah yang harus banyak belajar segera dan aktif. Kebanyakan yang duduk dalam parlemen nasional dipengaruhi oleh faktor keluarga, misalnya pernikahan atau terlahir dalam keluarga politik. Itulah sebabnya banyak organisasi atau aktivis perempuan yang mengritik kalau mereka kurang aktif.“

Sementara itu, peran politik pemilih perempuan pun tak jauh lebih baik dari yang dipilih. Yang lebih menyesakkan adalah larangan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pemilu di beberapa kantung wilayah yang diprediksi dapat dimenangkan oleh mendiang Benazir Bhutto dulu. Padahal cukup banyak perempuan Pakistan yang kini menyadari pentingnya persamaan kedudukan dengan laki-laki di segala bidang. Kembali pengamat politik Pakistan Andrea Fleschenberg dos Ramos Pineu: „Yang sangat menarik bagi saya adalah tema jender yang mulai berkembang di Pakistan saat ini, Ketika untuk pertama kalinya saya datang ke Pakistan tahun 2004, saya melihat mulai ada inisiatif dari para perempuan terhadap topik ini. Banyak perempuan yang mengeluh terjadi diskriminasi dalam berbagai hal. Termasuk misalnya karena adanya talibanisasi atau tekanan Al Qaida. Para perempuan yang duduk di parlemen juga berusaha mengupayakan perlindungan perempuan-perempuan di Pakistan, tapi terkadang suara mereka diacuhkan.“

Tantangan lain yang dihadapi perempuan Pakistan adalah mengeliminasi angka kekerasan bagi perempuan, khususnya yang terjun ke politik.

Bagaimana dengan di Malaysia, yang mayoritas penduduknya juga memeluk agama Islam? Rebecca Hegemann dari Universitas Münster membeberkan di Malaysia sejak abad ke-19, aktivis Muslimin malah sudah mulai bergerak memperjuangkan hak-hak perempuan:„Yang menarik bagi saya adalah kenyataan yang terjadi semenjak abad ke 19, sudah adanya gerakan perempuan dan aktivis Muslimin yang berinisiatif untuk melindungi hak-hak perempuan. Kita tidak boleh langsung menuduh bahwa Islam membatasi gerakan perempuan dalam politik. Begitu juga dengan perempuan Cina dan India di Malaysia, terutama pada tahun 1920 hingga 1930 an, sudah mulai timbul rasa nasionalismenya. Setelah kemerdekaan Malaysia tahun 1957, peran perempuan dalam politik malah dilihat kurang begitu penting.“

Namun kini di Malaysia perempuan cukup mendapat tempat lagi di partai-partai politik. Seperti misalnya Partai UMNO yang memiliki kader perempuan hampir 50 persen. Sementara di partai PAS yang berorientasi Islam, posisi perempuan jauh lebih sulit untuk bergerak dalam politik. Demikian imbuh Rebecca Hegemann:„Partai Islam Malaysia PAS berorientasi pada agama Islam garis keras dan cenderung fundamantal dan banyak dipengaruhi unsur tradisional. Diskriminasi masih nampak sekali, contohnya perempuan tidak akan pernah dinominasikan sebagai kandidat. Dalam pertemuan, juga dipisahkan antara perempuan dan laki-laki.“

Tambah Rebecca, meski banyak perempuan sudah terjun dalam politik, sayangnya masih jauh dari posisi strategis atau pucuk pimpinan. Misalnya di kabinet, terdapat tiga jatah bagi perempuan yaitu di kementrian perdagangan dan industri, kementerian perempuan dan keluarga, serta kementrian urusan pemuda dan olahraga.

Yang lumayan memberi tempat bagi perempuan adalah partai oposisi Partai Keadilan, yang didirikan oleh istri politisi Anwar Ibrahim yaitu Wan Azizah Wan Ismail. Rebecca melihat Wan Azizah terjun ke dunia politik secara kebetulan, ketika suaminya dijebloskan ke penjara dengan tuduhan yang menurut pengikutnya bernuansa politik. Di satu sisi partai yang dibangun Azizah menjadi gerakan baru untuk reformasi serta perbaikan bagi kepentingan kelompok minoritas seperti kelompok etnis dan perempuan. Namun di sisi lain, menurut Rebecca, Wan Azizah juga membawa kepentingan pribadi, untuk kampanye pembebasan dan membangun integrasi moral suaminya, Anwar Ibrahim.

Sementara itu di Indonesia sendiri, menurut Ahmad-Norma Permata dari Universitas Münster, patut disayangkan jumlah keterwakilan perempuan di panggung politik masih terlalu minim. Bayangkan, separuh lebih penduduk Indonesia adalah perempuan. Namun keterwakilan mereka di parlemen hanya sekitar 12 persen saja. Padahal sejak zaman kolonial, banyak perempuan yang telah aktif terjun ke dunia politik. Setelah kemerdekaan, jumlah mereka berkurang. Memang ada sedikit peningkatan di masa Orde Baru, namun kebijakan politik Orde Baru menyebabkan peran perempuan saat itu hanya sebagai pelengkap bagi laki-laki. Misalnya organisasi yang dibangun seperti Darma Wanita atau aktivitas Pendidikan Ketrampilan Keluarga PKK.

Di masa reformasi, kuota perempuan untuk calon anggota legislatif ditetapkan hingga 30 persen. Namun bukan berarti tak ada kendala bagi perempuan bergerak di politik. Pertama, dominasi partai-partai besar lama yang tak memberi tempat bagi pendatang baru di bidang politik. Kedua pengaruh kebijakan Orde Baru yang memarjinalkan perempuan menyebabkan langkanya perempuan yang terjun di dunia politik. Yang ketiga, imbuh Ahmad-Norma, semakin tumbuhnya gerakan-gerakan Islam fundamentalis di Indonesia.

„Problem yang menghambat perempuan dalam berpartisipasi di bidang politik adalah tumbuhnya pengaruh organisasi-organisasi agama yang konservatif yang mempropagandakan sikap anti perempuan dan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Ini diwakilkan oleh banyak kelompok radikal dan fundamentalis di Indonesia.“

Meski ada perbedaan karakteristik kultur di tiga negara berpenduduk mayoritas Islam itu, menurut ketiga peneliti, peran perempuan dalam bidang politik masih dapat lebih ditingkatkan lewat jaringan kerjasama. Saatnya kini untuk membangun jaringan tersebut, untuk lebih membangkitkan gerakan-gerakan perempuan di kancah pollitik.(ap)


Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait