Peran Washington Dan Kesungguhan Yerusalem
26 Juli 2006Perang belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Perdana Menteri Ehud Olmert menolak desakan dunia internasional untuk menghentikan serangannya ke Libanon. Kunjungan menlu Amerika Serikat, Condoleezza Rice ke Timur Tengah pun seperti biasanya hanya tampak seperti manouer politik untuk mendukung Israel. Begitu isi komentar yang diturunkan harian liberal Inggris, The Guardian. Lebih lanjut harian ini menulis:
“Perdana Menteri Ehud Olmert telah mengantongi dukungan Amerika untuk semua tujuan politik Israel dalam perang ini. Sebuah tujuan yang menurut Gary Sussman, seorang analis dari Universitas Tel Aviv merupakan perang untuk legitimasi unilateralisme. Pendekatan semacam ini, yang dulunya merupakan mekanisme favorit Ariel Sharon dan kini menjadi proyek Ehud Olmert, bagi Israel adalah kesempatan bagi tentaranya untuk mundur dari wilayah yang diduduki. Seperti yang mereka lakukan ketika mundur dari Libanon pada tahun 2000 dan dari Jalur Gaza lima tahun kemudian. Karena setelah meninggalkan wilayah perbatasan Lebanon dan Jalur Gaza, Israel dapat dengan lebih efektiv mempertahankan kedaulatannya.”
Sementara itu harian Inggris lainnya, Financial Times, mendesak, Amerika Serikat harus menggandeng semua pihak yang berkepentingan di Timur Tengah untuk membuka peta jalan damai. Financial Times menulis:
“Bukanlah hal yang mengejutkan, jika Perdana Menteri Irak Nuri Al-Maliki bersikeras memaksakan gencatan senjata di Libanon. Sebagaimana halnya dengan Raja Abdullah dari Arab Saudi, yang mengisaratkan tidak adanya opsi lain selain peperangan jika Israel tidak menghentikan agresi militernya di Libanon. Padahal selama ini kedua negara telah menikmati hubungan diplomasi yang erat dengan Amerika. Akan tetapi dalam soal Israel, masing-masing mengejar kepentingannya sendiri. Oleh karena itu Amerika dan sekutu-sekutunya di Timur Tengah harus merangkul semua pihak di kawasan. Termasuk Suriah dan Iran. Melalui langkah ini Washington dapat menghentikan konflik serupa pada tahun 1996.”
Sehubungan dengan rencana PBB untuk mengirimkan pasukan perdamaian ke wilayah konflik, harian Italia La Repubblica menulis:
“Banyak yang menilai rencana pengiriman pasukan perdamaian ke Libanon sebagai ide yang brilian. Akan tetapi pertanyaan yang muncul setelah terbunuhnya empat pasukan perdamaian PBB oleh militer Israel adalah, berapa jumlah negara yang siap mengirimkan tentaranya ke Timur Tengah? Dan berapa negara yang harus diwakili oleh pasukan tersebut untuk memperoleh persetujuan dari pemerintah Israel? Menteri Pertahanan Amir Perez telah mengisaratkan pasukan NATO sebagai opsi yang cukup rasional. Akan tetapi NATO dianggap perpanjangan tangan Amerika oleh Hizbullah. Itu pun kalau NATO masih mampu mengirimkan pasukan, mengingat penugasan tentaranya di sejumlah daerah konflik lain. Perdana Menteri Ehud Olmert juga pernah mengatakan, penugasan pasukan gabungan negara-negara Eropa dan Arab akan menjadi pilihan yang mungkin diambil. Sementara itu Menteri Luar Negeri Tzipi Livni bersikap lebih bijaksana. Ia tidak menyuarakan komentar apapun terhadap isu ini. di Yerusalem, sebagaimana juga di Roma, para menteri di bawah pemerintahan yang sama bisa saja memiliki sikap atau ide yang tidak selaras."