Frankreichs Interessen in Mali
17 Januari 2013Berapa lama militer Perancis akan melancarkan intervensi di Mali belum jelas. Untuk mencegah agar kelompok radikal Islam tidak terus melakukan gerakan maju, daerah itu harus distabilkan dalam jangka panjang. Oleh sebab itu, organisasi Jerman, Perhimpunan untuk Masyarakat Terancam (GfbV) menuntut agar pemerintah Perancis menyerahkan rencana yang realistis.
"Karena kelompok radikal Islam pasti menjalankan taktik yang sudah dikenal, yaitu dengan cepat menarik diri dan berlindung di daerah pegunungan dan gua -gua sambil menyusun formasi baru", demikian dikatakan Ulrich Delius, yang mengurus masalah Afrika pada GfbV.
Paris secara resmi mengutamakan kepentingan politik keamanan. Sebagai alasannya pemerintah Perancis mengatakan, mereka berusaha agar pemberontak di Afrika Barat tidak menjadi bahaya bagi Eropa.
"Perancis khawatir, Mali akan menjadi markas dan tempat pelatihan bagi teroris Islamis, jika negara Islam berdiri di Mali", ujar Katrin Sold dari badan Jerman, Deutschen Gesellschaft für Auswärtige Politik (DGAP).
Selain itu, Perancis yang dulu menjadi penjajah Mali merasa terancam, bisa menjadi sasaran serangan teror. Misalnya, sejak 2010 kelompok radikal Islam menahan empat karyawan asal Perancis yang bekerja di perusahaan energi nuklir Areva di Mali.
Jaringan teror Al Qaida kini juga mengancam akan melancarkan penculikan dan serangan di Perancis, juga terhadap 5.000 warga negara Perancis yang berada di Mali.
Minyak Bumi dan Uranium
Tetapi ini bukan sekedar masalah kemungkinan ancaman teror. "Untuk jangka panjang Perancis punya kepentingan untuk menambang kekayaan bumi di kawasan Sahel, terutama minyak bumi dan uranium, yang sudah ditambang sejak beberapa dasawarsa lalu oleh perusahaan energi nuklir Areva di negara tetangga Niger", demikian dijelaskan Katrin Sold.
Tetapi sampai seluruh kekayaan minyak di Mali habis ditambang, masih banyak waktu. Oleh sebab itu, dalam intervensi yang dilancarkan sekarang, masalah politik keamanan dikedepankan. Demikian dikatakan pakar politik itu dalam wawancara dengan Deutsche Welle.
Ulrich Delius mengingat serangan Perancis terhadap Libya dua tahun lalu. "Kalau mengenai Libya, tentu banyak negara punya minat. Terutama dalam hal minyak. Berkaitan dengan Mali, masalahnya lain lagi", kata pakar Afrika itu. Dalam hal ini, terutama Paris memiliki tujuan strategis yang konkrit.
Peranan di Mali bagi Perancis menunjukkan perubahan sikap. Di satu pihak, ada politik keamanan dan kepentingan ekonomi. Di lain pihak ada bahaya, tampil sebagai kekuatan neokolonialis.
Meskipun demikian, dalam misi militer ini, Perancis berpegang pada mandat PBB yang dikeluarkan Desember 2012. Selain itu, "Ada kesepakatan pertahanan antara Perancis dan Mali, yang ditulis spesial untuk kasus seperti ini", demikian ditekankan Alexander Stroh, yang mengurus ilmu pengetahuan pada German Institute of Global and Area Studies (GIGA). Jadi Perancis memenuhi permintaan pemerintah Mali, untuk menghentikan pemberontak yang berusaha merangsek ke ibukota.
Kontradiksi Dalam Negeri
Selain itu, presiden Perancis, François Hollande juga harus menjaga stabilitas di dalam negeri. Ketika kampanye pemilu, ia berjanji akan menarik pasukan Perancis dari Afghanistan dan memanggil pulang tentara.
Kini, setelah memerintahkan pengerahan militer di Mali, ia bisa kehilangan kepercayaan. Tetapi situasi rumah tangga negara yang sulit membatasi kemungkinan geraknya. Jika Hollande ingin melaksanakan program konsolidasi ekonominya, ruang geraknya sempit untuk aksi yang butuh biaya besar di luar negeri.
Perancis tidak akan berani mengambil langkah sendiri di luar negeri dan mendesak, agar intervensi dipadukan dengan dukungan militer dari negara lain, dan pasukan Afrika yang akan dikirim ke garis depan.
Dewan Keamanan PBB telah menyetujui operasi tersebut. Selain Amerika Serikat, sejumlah negara Eropa sudah menyatakan dukungannya. Juga Uni Eropa berjanji untuk mendidik tentara Mali. Semua itu menjadi poin penting bagi Paris, karena itu berarti pembagian tugas di dalam Eropa dan mendapat dukungan dari Brussel.