Bagaimana seorang pemimpin dapat menjadi harapan, jika ia hanya berpihak pada kelompok mayoritas saja? Simak opini Febriana Firdaus berikut ini.
Iklan
Pada 17 Mei 2017 lalu, Presiden Joko "Jokowi” Widodo mencatatkan sejarah ketika untuk pertama kalinya menegaskan bahwa ia akan memerangi komunisme, PKI dan antek-anteknya yang ia sebut tak sesuai dengan konstitusi. "Saya dilantik jadi Presiden yang saya pegang konstitusi, kehendak rakyat. Bukan yang lain-lain. Misalnya PKI nongol, gebuk saja. TAP MPR jelas soal larangan itu,” katanya.
Pernyataan presiden ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Yang pro adalah mereka yang telah sejak lama berdiri bersama Jokowi dan mendukungnya untuk maju menjadi nomor orang satu di Indonesia. Kelompok lainnya adalah mereka yang diduga tak mengetahui latar belakanga TAP MPR tersebut keluar.
Namun di saat yang sama, Jokowi juga berperang melawan kelompok muslim konservatif. Kelompok ini kebetulan adalah lawan politiknya di kubu Prabowo Subianto. Prabowo berhasil menyatukan organisasi—partai Islam dan melakukan manuver politik yang cukup membuat masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua, anti Jokowi-pro Islam atau pro Jokowi-anti Islam.
Identitas baru?
Jelas, dualisme ini menyesatkan, karena itu kubu Jokowi segera merangkul kelompok-kelompok Islam moderat seperti Nahdlatul Ulama. Jokowi melakukan kunjungan ke beberapa pesantren dan mengajak umat Islam untuk mencintai Indonesia yang plural, sebab kubu di kelompok Prabowo lebih dikenal dengan kelompok yang kerap merugikan kelompok minoritas, sebut saja Front Pembela Islam dan sikap partai Islam terhadap kaum syiah di Indonesia.
Tampaknya, Jokowi ingin membawa Indonesia ke sebuah identitas yang baru, yakni Indonesia yang moderat ultranasionalis dengan embel-embel Islam nusantara, tapi sayang posisi minoritas tak jelas di sini. Misal soal syiah, LGBT, dan kelompok kiri atau komunis. Jadi sebenarnya, kampanyenya juga tak bisa disebut mendukung pluralisme. Karena makna pluralisme itu bukan hanya mengakui enam agama di Indonesia, melainkan juga mereka yang menganut animisme, kejawen, syiah, ahmadiyah, dst.
Lalu apa sebenarnya yang mendasari Jokowi melakukan perang terhadap dua kelompok ini?
Perang terhadap komunisme
Jika kita amati, perang terhadap komunisme ini sebenarnya sudah lama dikampanyekan oleh militer tentunya. Kita bisa melihatnya dalam sebuah opini yang ditulis Kepala Pusat Penerangan TNI Brigadir Jendral Wuryanto yang berjudul "Komunis Bergerak Dalam Senyap”.
Dalam tulisannya Wuryanto menggunakan bahasa yang sangat akrab di telinga saat guru sejarah kita menuturkan tentang ‘pengkhianatan PKI' pada pemerintahan Indonesia, lewat pembunuhan tujuh jenderal. Wuryanto secara runut mengisahkan latar belakang dikeluarkannya aturan untuk membubarkan partai tersebut, yakni lewat ketetapan. Termasuk di dalamnya, ia mengatakan, bahwa ajaran Marxisme-Leninisme sebagai ideologi dan paham yang terlarang di tanah air.
Wacana tandingan terhadap klaim militer yang diwakili oleh tulisan Wuryanto ini sebenarnya telah dijawab oleh sebuah buku berjudul Putusan Final International People's Tribunal 1965 yang berlangsung di Den Haag. Dalam buku itu dijelaskan bahwa telah terjadi pembengkokan sejarah atas peristiwa pembunuhan tujuh jenderal itu, bahwa belum ada bukti yang kuat bahwa PKI yang melakukannya, keterlibatan Gerakan Wanita Indonesia —yang disebut berafiliasi dengan PKI— juga tak terbukti setelah Profesor Saskia Wieringa berhasil menyajikan fakta tandingan hasil risetnya selama tiga dekade tentang organisasi ini, diperkuat dengan hasil riset John Roosa tentang palsunya berita mengenai penyiletan alat kelamin jenderal oleh organisasi perempuan paling progresif di tanah air ini.
Stigma PKI adalah pengkhianat negara yang ditekankan Wuryanto sejatinya juga telah berkali-kali dibantah lewat fakta sejarah. Sebab Indonesia sendiri pernah menganugerahi dua tokoh partai komunis sebagai pahlawan, sebut saja Tan Malaka Alimin Prawirodirdjo.
Stigma bahwa PKI itu ateis dan bertentangan dengan agama yang sering diwacanakan oleh Front Pembela Islam —teman dekat Prabowo— juga dapat mudah dibantah. Sebab sejarahwan Bonnie Triyana pernah menulis tentang kedekatan Sejarah Hubungan Partai Islam dan Komunis sebelum tragedi 1965.
Sikap partai politik selalu mendua, bisa jadi teman atau lawan, tergantung kondisi pemilu saat itu. Dan bantahan lainnya yaitu, bergabungnya beberapa haji ke PKI. Seperti Haji Misbach.
Gugurnya klaim militer ini sebelumnya telah diketahui oleh presiden sebelumnya Abdurrahman "Gus Dur” Wahid, oleh karena itu ia pernah bertemu anak pertama pimpinan PKI Dipa Nusantara Aditi, Ibarruri Aidit, untuk menyampaikan bahwa ia belum berhasil mencabut Tap MPR itu.
Bapak Komunis Marx dan Engels Dalam Peringatan
Pemikiran mereka mengubah dunia. Namun seperti di negara lain, di Jerman, dua "bapak komunisme", Karl Marx dan Friedrich Engels bukan tanpa kontroversi. Meski demikian plakat peringatannya tersebar di berbagai kota.
Foto: AP
Hadiah dari Cina
Di Trier, Jerman tengah jadi perdebatan, apakah perlu mendirikan patung Karl Marx untuk menandai ulang tahun ke-200 putra terkenal dari kota itu. Cina telah menawarkan patung ini sebagai hadiah. Tapi dengan patung setinggi 6,3 meter ini, beberapa warga cemas jika kotanya semakin disesaki wisatawan, terutama dari Cina. Patung "Mega-Marx" dari kayu ini saja sudah gambarkan efek yang dicemaskan itu
Foto: picture-alliance/dpa/H. Tittel
Seberapa besar relevansi Marx kini?
Pada tahun 2013, Kota Trier merayakan ulang tahun Marx yang ke-130. Pada kesempatan itu,seniman Jerman Ottmar Hörl menyuguhkan 500 figur Marx terbuat dari plastik yang dipajang di depan gerbang Porta Nigra. Instalasi Hörl ini memberikan dorongan untuk kembali digelarnya diskusi aktual mengenai Karl Marx dan pemikirannya.
Foto: Hannelore Foerster/Getty Images
Friedrich Engels dalam pose seorang pemikir
Dengan tinggi sekitar empat meter, patung perunggu ‘dedengkot‘ komunisme lainnya, Friedrich Engels, tampak sedikit lebih kecil dari patung Marx yang bakal dipajang di Trier. Tahun 2014, patung Engels diresmikan di tempat kelahirannya di Wuppertal, Jerman. Selain membuat patung raksasa Marx, Cina juga ingin membuat patung Engels dan menghadiahkannya pula ke Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa/H. Kaiser
Saudara dalam jiwa
Monumen Marx-Engels di Berlin. Keduanya menulis buku setebal 30 halaman dengan judul “Manifesto Komunis" yang diterbitkan pertama kali tahun 1848. Tahun 1986, pemerintah Jerman Timur mengizinkan pendirian monumen "bapak komunisme" tersebut. Setelah itu , pada tahun 2010 karena adanya pembangunan, monumen ini tak lagi memandang ke arah timur seperti sebelumnya, melainkan ke barat.
Foto: AP
Batu yang dipahat
Sebuah monumen Marx raksasa berdiri di Chemnitz - kota yang hingga tahun 1990 menyandang namanya. Pada tahun 1971 patung ini diresmikan dengan ketinggian 13 meter dan menjadi patung terbesar kedua di dunia. Di dinding belakang monumen ini tertulis seruan kata-kata Marx dari buku "Manifesto Komunis" dalam bahasa Jerman, Inggris, Perancis dan Rusia: "Kaum buruh di seluruh dunia, bersatulah!"
Foto: picture alliance/Arco Images/Schoening
Marx atau Bismarck?
Dahulu kala, di Fürstenwald, Brandenburg terdapat monumen peringatan Kanselir Otto von Bismarck. Namun sejak tahun 1945, patung pemimpin Prusia itu digantikan oleh Karl Marx. Setelah tanda peringatan itu dicuri, dewan kota mempertimbangkan, apakah akan membuat tanda peringatan Bismarck atau Marx lagi. Pilihan jatuh pada Marx, yang monumennya dapat dilihat sejak tahun 2003.
Foto: picture-alliance/ZB/P. Pleul
Relief potensi konflik
Lebih dari 30 tahun terpampang seni pahat relief perunggu yang menunjukkan wajah Karl Marx di bangunan utama Universitas Leipzig --yang menyandang namanya selama era Jerman Timur. Sejak renovasi tahun 2006, relief itu dibongkar lalu terjadi perdebatan, apakah kemudian relief ini harus dibuka lagi untuk publik. Sejak 2008 relief yang dilengkapi dengan teks penjelasan itu ada di kampus Jahnallee
Foto: picture-alliance/dpa/P. Endig
7 foto1 | 7
Satu barisan dengan militer
Sayangnya, Jokowi tampaknya tak ingin mengikuti jejak Gus Dur, ia lebih memilih satu barisan dengan militer. Pernyataannya mengenai gebuk PKI dan akan mengikuti konstitusi, menurut penulis, adalah satu pertanda saja. Masih bisa diperdebatkan.
Tapi yang tidak disadari oleh Jokowi adalah dampak dari pilihan politiknya. Tentu saja kelompok yang memperjuangkan pelurusan sejarah pembantaian massal 1965 akan sulit bergerak, karena mereka masih mendapat stigma sebagai antek-antek komunis, seperti IPT 65 dan anggota Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65). Terbukti saat menggelar silaturahmi, YPKP dituduh menggelar diam-diam rapat pengurus PKI. Tuduhan yang konyol.
Ketua Setara Institute Hendardi telah memperingatkan tentang stigma PKI ini. "Penyebaran stigma PKI terhadap beberapa kegiatan telah membangkitkan kebencian orang pada upaya-upaya persuasif, dialogis, dan solutif bagi pemenuhan hak-hak korban peristiwa 1965," ujar Hendardi melalui keterangan tertulisnya, Senin (9/5/2016).
Jokowi sendiri sebenarnya belum menunjukkan keberpihakan terhadap korban 65, meski Simposium tentang peristiwa 1965 telah diselenggarakan. Namun saat korban menunggu sikap Jokowi, ia malah mencabut semua naskah tentang 65 dalam pidato kemerdekaannya tahun lalu.
Suara Bisu Perempuan Korban Tragedi 65
Jutaan penduduk menua dengan trauma 65 di pundaknya. Sebagian pernah disiksa dan kehilangan anggota keluarga. Hingga kini mereka menderita dalam diam. Tanpa suara. Tanpa keadilan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Uang saya hanya cukup untuk menyambung nyawa"
Sumilah berusia 14 tahun ketika ia ditangkap tahun 1965. Tuduhannya: Dia adalah anggota dari gerakan perempuan "Gerwani". Aparat menghajarnya sampai pingsan. Mereka kemudian menyekap Sumilah di kamp Plantungan. Di sana baru diketahui bahwa ia korban salah tangkap. Di masa tua, Sumilah hidup di Yogyakarta dengan uang pas-pasan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mereka memukuli ayahku hingga hampir mati"
Ayah Kina diduga merupakan simpatisan Komunis. Ia ditangkap dan tak boleh bekerja. "Itu sebabnya saya mengambil peran sebagai pengganti ayah," kata dia. Kina berpakaian seperti anak laki-laki, bekerja di ladang an mengumpulkan kayu bakar. Masyarakat mengecapnya sebagai "anak komunis". Oleh karena itu, ia dan saudara-saudaranya kehilangan hak atas tanah ayah mereka .
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Masih tersimpan luka di hati saya"
Suami Lasinem ditangkap tahun 1969, disiksa & dikirim ke Pulau Buru. "Suamiku diangkut oleh kawannya sendiri, yang merupakan tentara. Dia dipukuli, punggungnya diinjak-injak sampai luka di sekujur tubuh," papar Lasinem. Perempuan ini ditinggalkan sendirian dengan anak-anaknya. Tahun 1972, mereka menyusul sang kepala keluarga ke Buru. Trauma ketakutan melekat di diri Lasinem hingga saat ini.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Meski dipukuli bertubi-tubipun saya tidak menangis"
Sri adalah seniman dan penyanyi yang tergabung dalam organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1965 ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara. "Depan kamar tidur kami penuh tahi," kenangnya. "Kotoran itu baunya tak tertahankan." Ketika dia dibebaskan pada tahun 1970, rumahnya sudah dirampas keluarga lain. Sri menjadi tunawisma. Di masa tua, ia tinggal bersama keponakannya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Aku harus meninggalkan bayi perempuanku"
Berkali-kali Yohana ditangkap, ditahan, diinterogasi. Ketika ditangkap ke-2 kalinya, ia baru saja melahirkan. Ia dipisahkan dari bayinya masih menyusu. Dua tahun kemudian baru ia bertemu anak perempuannya lagi. "Pengalaman kekerasan itu menghantuiku terus," paparnya. Namun, sepanjang hayatnya, ia tak pernah menceritakan apa yang menimpanya saat itu, bahkan pada keluarganya sekalipun.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mungkin takkan pernah lupa"
Ketika Juriah beumur 7 tahun, ayah diasingkan ke Pulau Buru tahun 1966. Saat menginjak usia 18 tahun, Juriah dipaksa ikut pernikahan massal. Dia harus berjanji tidak pernah meninggalkan Buru. Meskipun penuh penderitaan, ia tetap di sana: "Jika kita datang ke tempat-tempat tertentu, kita akan berbicara tentang masa lalu dan terasa seolah-olah kita tertusuk pisau."
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Orang-orang belum tahu kebenarannya"
"Begitu banyak hilang pada tahun 1965, tanpa pengadilan atau bukti-bukti keterlibatan dengan kasus 65," kata Migelina. Seluruh keluarganya dipenjara pada tahun 1965 - ia kehilangan orang tuanya dan kakaknya. Meski tragedi sudah berlalu berakhir, tetapi ia tetap mendoakan. Migelina percaya bahwa Tuhan memberinya kehidupan lebih panjang, untuk bisa mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
7 foto1 | 7
Perang terhadap Radikalisme
Perang lainnya adalah perang terhadap kelompok konservatif, intoleran, dan radikal. Jokowi sendiri sebenarnya kerap menjadi korban kampanye hitam mereka, seperti dituduh sebagai keturunan PKI. Jokowi memang bukan keturunan PKI, tapi kampanye ini telah menjadi senjata ampuh dalam setiap pemilihan umum di tanah air. Dia PKI, maka umat Islam tak boleh memilihnya.
Namun perang Jokowi terhadap kelompok ini sebenarnya bukan perang terhadap agama atau ulama yang diungkap oleh kubu seberang, Jokowi sedang berperang melawan narasi tandingan yang menyatakan bahwa pemerintahannya bertentangan dengan Islam. Isu anti Islam belakangan sangat santer dihembuskan, dan mirisnya kelompok yang melakukan ini disinyalir dekat juga dengan militer. Jelas, bahwa saat Jokowi ingin ‘menjalin hubungan baik' dengan militer, ia juga diserang lewat pihak-pihak ketiga, keempat, dst.
Tapi militer juga awalnya tak satu komando, munculnya Agus Widjojo di arena Simposium 65, menurut saya, mewakili kelompok militer merah, meski ujungnya ia hanya menginginkan rekonsiliasi. Sayangnya, ia terjegal karena militer saat ini sepertinya didominasi oleh kelompok militer hijau yang dekat dengan kelompok muslim konservatif.
Jadi jika diibaratkan, Jokowi seperti dijepit dua gajah saat ini. Satu kelompok militer yang mendesaknya untuk tetap mendukung konstitusi, dan dua kelompok konservatif muslim yang meragukan ke-Islamannya.
Jokowi ingin status quo?
Jadi, apakah Jokowi memang benar hanya ingin mengkampanyekan pluralisme dan bhineka tunggal ika? Dugaan saya tidak, Jokowi memerangi kelompok konservatif —yang tentu saja memiliki unsur radikal ini, walaupun mereka tak setuju disebut demikian— dan komunisme karena ingin mempertahankan stabilitas politik, sehingga ia bisa status quo.
Jika ia tidak melakukan ini, maka kelompok tertentu yang merasa tidak aman saat dia berkuasa, tak segan menggulingkannya. Demo 212 yang dibungkus dengan isu penistaan agama oleh Basuki ‘Ahok' Tjahaja Purnama adalah buktinya. Nyaris selangkah lagi ia akan digulingkan.
Tapi pilihan politik yang sulit ini harus diambil oleh Jokowi: Memerangi Komunisme dan Radikalisme, walaupun ia harus mengorbankan penyelesaian kasus 65. Tapi, penulis tak yakin, Jokowi membawa harapan baru untuk Indonesia dengan keputusan politiknya ini, laiknya Majalah Time memberikan dia gelar ‘The New Hope' sebab bagaimana seorang pemimpin dapat menjadi harapan, jika ia hanya berpihak pada kelompok mayoritas saja? Tabik.
Penulis:
Febriana Firdaus adalah jurnalis lepas yang fokus pada investigasi. Ia menulis untuk publikasi dalam dan luar negeri. Ia juga relawan di IPT 65 dan Ingat 65.
@febrofirdaus
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Kami tunggu komentar Anda di sini.
Komunisme Sudah Mati Dimangsa Kapitalisme
Ideologi komunisme sudah bangkrut seiring runtuhnya Tembok Berlin, bubarnya Uni Sovyet dan Pakta Warsawa. Ironisnya negeri komunis kini lebih lihai bicara pertumbuhan ekonomi ketimbang ideologi.
Foto: Fotolia/Savenko Tatyana
Rusia
Biang komunisme Eropa ini menyadari runtuhnya ideologi yang digagas Karl Marx dan dikembangkan oleh Lenin dan Stalin seiring bubarnya Uni Sovyet. Pemimpin Rusia saat ini, Vladimir Putin tidak lagi banyak bicara soal ideologi, melainkan lebih menekankan ekpsor migas, penjualan senjata dan berebut hegemoni kekuatan global.
Foto: picture alliance/landov/A. Zhdanov
Cina
Embahnya komunisme di Asia ini menyadari bahwa ekonomi lebih penting dari ideologi. Petinggi Partai Komunis di Beijing lebih panik saat ekspor anjlok dan konjungktur turun, ketimbang saat Kongres Rakyat macet. Cina masih terapkan sistem satu partai, tapi terus membangun zona ekonomi istimewa dimana-mana untuk genjot ekspor. Negara ini juga memberi utang 1 Trilyun US Dollar kepada Amerika Serikat.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Vietnam
Negara Asia lain yang masih mengusung ideologi komunisme ini, sudah sejak dua dasawarsa banting setir mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Komunis Vietnam digdaya pada tahun 70-an dengan menumbangkan kekuatan Amerika. Namun tahun 90-an menyadari, kemakmuran dan ekonomi lebih penting dibanding ideologi.
Foto: AFP/Getty Images
Korea Utara
Satu-satunya negara Asia yang diyakini masih setia pada ideologi komunisme adalah Korea Utara. Tapi Kim Jong Un kini lebih tertarik pada permainan kekuasaan global, dengan ancaman senjata nuklirnya ketimbang penguatan ideologi. Politik dinasti Kim kini kelihatan jauh lebih penting dari komunisme, yang lebih banyak digunakan menenangkan rakyat yang lapar dan miskin.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Kuba
Komunisme di Kuba pelan-pelan sekarat bersama lengsernya Fidel Castro. Penerusnya yang juga adiknya Raul, lebih membuka diri untuk pertumbuhan ekonomi. Pelan tapi pasti Kuba membuka pasarnya dan berfokus pada kepentingan ekonomi ketimbang ideologi. Rakyat sudah muak dengan kemiskinan dan pembodohan selama 5 dasawarsa diktatur komunis.
Foto: picture-alliance/dpa/O. G. Mederos
Laos
Sejak lebih dari satu dekade Laos yang berpartai tunggal sibuk menggulirkan liberalisasi pasar untuk membenahi perkonomian. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi di atas 8% hampir setiap tahun. Tapi serupa Cina, jiran Indonesia itu masih setia pada konsep Marxis/ Leninis dan tidak segan menangkap atau menghilangkan paksa aktivis kemanusiaan jika diperlukan.