1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perang Cyber Bukan Lagi Fiksi Ilmiah

18 April 2011

Perang di ranah maya telah menjadi sebuah ancaman nyata. Perang modern yang sama seperti perang konvensional, dapat menyebabkan korban jiwa dan harta benda.

Gambar simbol perang cyber
Gambar simbol perang cyberFoto: AP/dpa/DW

Serangan cyber kini dinilai dapat memicu bencana global. Apalagi jika yang diserang adalah instalasi atom atau sistem pengaman militer dan pengatur keamanan infrastruktur.

Memang tidak semua serangan cyber dapat dikategorikan sebagai perang cyber. Akan tetapi, setelah serangan troyan Stuxnet pada tahun 2010 lalu terhadap instalasi atom Iran, para pakar pertahanan menyadari besar dan luasnya dimensi ancaman serangan di dunia maya tersebut. Stuxnet misalnya diprogram sedemikian rupa, hingga dapat menyerang berbagai instalasi tanpa menimbulkan kerusakan. Karena troyan ini mencari kombinasi yang spesifik dan unik dari software dan hardware. Stuxnet adalah troyan canggih yang dilengkapi sedikitnya 30 mekanisme pengaman, agar jangan sampai menyerang sasaran yang keliru.

Juga tidak semua serangan di dunia maya dilancarkan oleh negara atau kelompok yang dituduh jahat. Amerika Serikat misalnya juga melakukan manipulasi jejaring sosial Facebook dan Twitter untuk kepentingan militernya. Rusia dan Cina terindikasi melakukan serangan cyber, pencurian data dan spionase lewat jalur cyber. Stuxnet yang khusus menyerang software pengendali reaktor atom buatan perusahaan Jerman Siemens, diyakini dikembangkan di Rusia dengan mendapat dukungan dari negara.

Tilman Werner dari perusahaan pengaman jejaring internet Kaspersky mengungkapkan analisanya, "Saat ini belum terdapat informasi lengkap, yang dapat mengarahkan pada siapa yang berada di balik troyan ini. Tapi kami dapat menegaskan, Stuxnet secara teknis amat matang, dan kami harus menyimpulkan, ada organ negara yang terlibat dalam pengembangannya, atau paling tidak mendukungnya."

Diketahui militer sejumlah negara terkemuka di dunia, mengembangkan apa yang disebut pasukan cyber. Mereka juga mengembangkan apa yang disebut senjata untuk ruang virtual. Senjata yang tidak ada suaranya, tidak bisa dilacak ditembakkan dari mana dan oleh siapa, akan tetapi dapat menimbulkan kerugian besar atau melumpuhkan infrastruktur strategis.

Pakar filsafat teknik dari Univeristas Stuttgart, Dr. Sandro Gaycken mengungkapkan data yang cukup menakutkan, “Militer negara besar kini mendidik pasukan hacker dalam jumlah puluhan ribu. Militer Amerika Serikat memiliki 10 hingga 15.000. Cina belum diketahui pasti, diperkirakan 20 hingga 25.000. Ini adalah tim yang terdiri dari insinyur, psikolog dan para pakar dari semua bidang. Tugas mereka adalah menganalisa sistem tertentu dan mengembangkan kemampuan, dari jauh mematikannya, menghidupkan atau menyabot dan merusaknya."

Yang juga ironis, pengusaha di negara Barat yang menyebut dirinya demokratis, diketahui menjual software untuk memata-matai lalulintas data internet kepada sejumlah diktatur di negara Arab. Siemens misalnya juga menjual perangkat pengendali reaktor nuklir kepada Iran. Penyebabnya, tidak ada batasan tegas mengenai pemanfaatan software, apakah untuk kepentingan militer atau sipil.

Jörg Leichtfield anggota Parlemen Eropa dari Austria mengungkapkan, "Amat sulit untuk mendefinisikannya. Karena dalam perang cyber sangat sulit menarik batasan antara militer dan sipil. Pada akhirnya, semua definisi harus diputuskan oleh pengadilan. Tapi kita harus mengatakan, pemanfaatan ganda bukanlah instrumen besar, melainkan relatif membatasi. Karena itu problemnya memicu kesulitan, tapi juga tidak terlalu besar."

Tapi juga diakui, amat sulit memperkirakan, sebesar apa peranan software semacam itu dalam perang cyber. Karena juga dapat dibuktikan, software yang umum juga dapat digunakan melumpuhkan jejaring komputer sejumlah perusahaan raksasa. Misalnya pada saat sejumlah perusahaan menutup akesnya bagi Wikileaks, dilancarkan serangan gerilya serempak dari jejaring di seluruh dunia yang melumpuhkan sejumlah perusahaan, yang mengakibatkan kerugian ekonomi cukup besar.

Untuk menangkal serangan dan melindungi kawasan cyber 15 negara di Eropa dan Amerika Serikat menyepakati jejaring pengaman dan melakukan latihan bersama. Direktur pusat keamanan internet AS, Sean McGurk, mengungkapkan, "Kami menggelar latihan bersama yang disebut Cyberstorm. Kami juga mempertukarkan informasi dan mengembangkan produk bersama untuk keamanan cyber dan mengurangi risiko."

Tekanannya adalah pada pencegahan dan persiapan menghadapi serangan cyber. Hal itu amat diperlukan, mengingat semakin gencarnya serangan para hacker, yang kini amat terorganisir rapi. Perusahaan keamanan computer McAfee misalnya, di seluruh dunia mengawasi dan mengamankan sekitar 160 juta komputer dan jejaring global. Dilaporkan, setiap harinya antara 30 sampai 50 juta perangkat komputer diserang dan diinfeksi virus, worms atau troyan. Serangan cyber semacam itu tidak mengenal perbatasan negara dan menyerang secara global.

Dalam perang cyber memang tidak anda panzer menyerang, tidak ada pesawat tempur yang lepas landas tidak ada kapal induk melaju di lautan dan semua berlangsung tanpa dirasakan publik. Tapi militer sejumlah negara mencemaskan front pertempuran abad ke 21 yang dengan mudah membuat negara-negara industri lumpuh total, akibat serangan komputer zombie dan virus. Jika jejaring milik pemerintah, perusahaan, infrastruktur, lalu lintas, jaringan listrik dan seluruh pasokan energi serta bahan pangan berhasil dilumpuhkan dan dihancurkan, sebuah negara ibaratnya sudah terkapar kalah.

Agus Setiawan

Editor: Carissa Paramita

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait