1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikEropa

Perang Israel-Hamas Ungkap Polarisasi Internal di Uni Eropa

8 Februari 2024

Sekitar 900 pejabat sipil AS, UE dan Inggris secara anonim tandatangani surat yang meminta pemerintah mereka kaji ulang kebijakan di Timur Tengah. Disebutkan negaranya dukung Israel tanpa "syarat atau akuntabilitas."

Kehancuran yang terjadi setelah serangan bom di Rafah, Gaza
Para pejabat mengupayakan perubahan kebijakan Barat di tengah krisis kemanusiaan di GazaFoto: Mohammed Talatene/dpa/picture alliance

Angelique Eijpe biasanya bekerja keras setiap hari menyusun strategi untuk masa depan kebijakan luar negeri Belanda dari kantornya di Den Haag. Selama 21 tahun karirnya sebagai diplomat, dia menjabat sebagai wakil duta besar Belanda di Oman dan berkontribusi menyusun kebijakan di Timur Tengah.

Namun kini, Eijpe menganggur. Dia mengundurkan diri dari Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Belanda pada Januari lalu, sebagai bentuk protes atas respon pemerintahnya terhadap perang Israel-Hamas.

"Saya adalah pencari nafkah utama dalam keluarga saya," kata Eijpe kepada DW melalui telepon. "Tapi saya mengatakan kepada pasangan saya: Saya tidak bisa menjadi bagian dari ini lagi. Integritas pribadi dan profesionalitas saya dipertaruhkan di sini."

Sebelum mengundurkan diri, Eijpe terlibat dalam pengorganisasian aksi duduk mingguan di gedung pemerintahan di Den Haag untuk menyerukan gencatan senjata di Gaza.

Para pejabat Belanda mengorganisir aksi duduk di luar kantor-kantor pemerintah untuk menyerukan gencatan senjata di GazaFoto: Angelique Eijpe

Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) mengklasifikasikan Hamas sebagai organisasi teroris. Bahkan dalam sebuah pernyataan bersama November tahun lalu, pihak mereka menyebut serangan Hamas pada 7 Oktober di Israel itu sebagai "serangan paling mematikan terhadap kaum Yahudi sejak peristiwa Holocaust."

Dengan alasan kekhawatiran bahwa gencatan senjata berpotensi memperkuat Hamas, UE dan AS enggan untuk mendukung gencatan senjata, meskipun lebih dari selusin negara anggota Uni Eropa mendukung seruan tersebut. Sebelumnya, Uni Eropa sebagai blok telah menyerukan "jeda waktu untuk kemanusiaan" di Gaza.

Baik UE dan AS juga telah menyerukan peningkatan akses kemanusiaan ke Gaza dan memperingatkan meningkatnya situasi mengerikan di Jalur Gaza. Namun AS terus memberikan dukungan dana militer untuk Israel, dan ekspor senjata ke Israel masih berlanjut dari beberapa negara Uni Eropa, termasuk Belanda dan Jerman.

Kekhawatiran diabaikan

Meski kini Eijpe menganggur, jadwal aktivitasnya masih sangat padat. Dia bekerja sama dengan mantan diplomat lainnya dari Belanda dan AS untuk menghubungkan para diplomat di seluruh Atlantik yang sepaham.

Pada Jumat (02/02), sekitar 800 pegawai negeri sipil di UE, AS dan Inggris telah merilis surat terbuka anonim yang berisikan desakan kepada pemerintah masing-masing negara untuk mengubah arah kebijakan mereka. "Sejak surat terbuka itu dirilis, , jumlah partisipan yang menandatangani surat itu telah meningkat menjadi hampir 900 orang" kata Eijpe.

"Kami secara internal telah menyatakan keprihatinan kami bahwa kebijakan pemerintah atau institusi negara kami tidak melayani kepentingan kami. ... Keprihatinan profesional kami justru dikesampingkan oleh pertimbangan-pertimbangan politis dan ideologis," demikian bunyi surat tersebut.

Seorang pejabat Uni Eropa yang ikut menyusun surat itu dan tidak ingin disebutkan namanya, juga berbicara kepada DW melalui telepon di Brussels bahwa ada "budaya membungkam" di dalam kantor-kantor pemerintahan. Pejabat itu mencatat, orang-orang yang menyuarakan pendapatnya "dianggap sebagai aktivis yang begitu emosional."

Pejabat yang telah berkarir selama 14 tahun sebagai pegawai negeri sipil termasuk bekerja di bidang ketenagakerjaan dan kebijakan integrasi sosial itu, telah ikut bekerja di balik layar untuk membuat grup WhatsApp dan menyusun pernyataan tentang tautan dokumen rahasia yang diperuntukkan menyatukan orang lain dengan pemahaman serupa.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Dalam surat terbuka tersebut, para pegawai negeri itu menulis , pemerintah-pemerintah negara Barat telah mendukung Israel "tanpa syarat dan pertanggungjawaban yang nyata."

"Ada risiko yang masuk akal bahwa kebijakan pemerintah kita berkontribusi terhadap pelanggaran berat hukum humaniter internasional," tulis mereka.

Eijpe mengatakan, surat itu ditandatangani oleh para pejabat yang berasal dari Jerman, Belgia, Finlandia, Inggris, Prancis, Swedia dan lembaga-lembaga Uni Eropa lainnya. DW tidak dapat mengonfirmasi identitas atau jumlah partisipan anonim dalam surat tersebut.

Jika dibandingkan dengan ratusan ribu pegawai negeri yang dipekerjakan oleh pemerintah di UE dan AS, lebih dari 900 nama itu masih mewakili minoritas sangat kecil. Tetapi pernyataan trans-Atlantik ini juga merupakan dokumen protes resmi yang sah. 

"Menurut saya, ini adalah puncak gunung es," kata Eijpe, seraya menambahkan, para pejabat AS justru merasa gugup saat menandatangani surat ini karena perlindungan terhadap pekerjaan mereka sangat terbatas.

Bulan lalu, outlet berita Uni Eropa Observer melaporkan pernyataan terpisah yang ditandatangani oleh 1.500 pejabat UE, yang menyerukan pelarangan ekspor senjata ke Israel. Sementara media Al-Jazeera melaporkan pada bulan Oktober tahun lalu, sebuah petisi lainnya yang ditandatangani oleh 800 staf blok UE itu juga menyatakan  "Uni Eropa beresiko kehilangan semua kredibilitasnya" dengan respon blok itu terhadap konflik ini.

Menlu Israel tunjukkan foto-foto anak-anak yang disandera pada tanggal 7 OktoberFoto: Wiktor Nummelin/TT/picture alliance

Israel menolak tuduhan dalam petisi itu

Para pejabat Israel menolak keras pernyataan dalam surat petisi ini yang menyebutkan bahwa "Israel tidak menunjukkan batasan pada operasi militernya di Gaza." Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengomentari itu dengan mengatakan, pihaknya telah melakukan "upaya apa pun yang mungkin demi membatasi korban sipil di Gaza."

"Hamas mengeksploitasi upaya ini dengan mengajak warga sipil Palestina untuk mengabaikan peringatan IDF," kata situs resmi militer Israel dan mengutip beberapa pesan teks, panggilan telepon, dan selebaran yang dikirimkan oleh pihak Israel kepada warga sipil Palestinadi wilayah konflik.

Ketika ditanya tentang pernyataan anonim tersebut, seorang pejabat Israel mengatakan kepada DW di Brussels, "Saat ini, tidak mudah bagi negara kami untuk melihat bahwa beberapa individu justru memilih untuk berbalik menentang."

"Mereka ini mencoba mengeksploitasi situasi," kata pejabat itu. "Mereka mencoba merusak hubungan kerja sama yang baik dengan negara kami dan merusak semua hal yang telah kami capai sejauh ini.

"Sangat disayangkan," tambah pejabat tersebut, "tetapi untuk kami, hal ini tidak mencerminkan negara-negara itu secara keseluruhan."

Perdebatan yang 'wajar'

Kementerian luar negeri sejumlah negara tampaknya menyadari ketidakpuasan yang terjadi di beberapa bagian kekuasaan mereka.

"Wajar jika perdebatan masyarakat mengenai konflik antara Israel dan Hamas ini juga terjadi di kementerian kami. Kami merasa bahwa harus ada ruang untuk perdebatan ini dan kami mengajak para staf untuk berdialog secara internal," kata juru bicara Kemlu Belanda kepada DW dalam komentar tertulis.

"Pada saat yang sama, kebijakan kementerian juga ditentukan oleh para menteri kami (setelah menerima saran dari para pegawai negeri sipil) dan para menteri bertanggung jawab kepada parlemen," tulis juru bicara tersebut. "Ini adalah hal yang biasa terjadi dalam pekerjaan setiap pegawai negeri sipil."

Kemlu Jerman juga mengatakan kepada DW, pihaknya "telah memberi perhatian" pada surat trans-Atlantik tersebut. Komisi Eropa mengatakan, pihaknya sedang "mengkaji lebih dalam" pernyataan itu. Juru bicara Kemlu Inggris mengatakan kepada DW bahwa, "Inggris ingin perang di Gaza segera diakhiri" dan bertekad akan terus menyerukan agar hukum kemanusiaan internasional dihormati dan warga sipil dilindungi.

Pemerintah Uni Eropa terpecah atas konflik di GazaFoto: Dursun Aydemir/Anadolu/picture alliance

Tidak ada kesepahaman di internal Uni Eropa?

Mihail Chihaia, seorang analis Timur Tengah dari Pusat Kebijakan Eropa kepada DW, mengatakan, tindakan seperti petisi terbuka ini dapat "menambah tekanan pada para pengambil keputusan di Eropa dan AS untuk mendorong terjadinya gencatan senjata, serta turut memajukan upaya-upaya untuk solusi jangka panjang." "Namun perbedaan pendapat tidak hanya terjadi di balik pintu tertutup, perpecahan yang sedang berlangsung di Uni Eropa akan membuat keputusan bersama tidak mungkin terjadi," ujar Chihaia menambahkan.

"Blok Uni Eropa, sayangnya, akan terus menghadapi kesulitan berbicara dengan satu suara mengenai konflik di Gaza," katanya.

Uni Eropa dalam beberapa minggu terakhir telah melakukan lebih banyak upaya untuk tidak terlihat seperti penonton, dan lebih seperti penengah di saat konflik di Gaza terus berlarut-larut, dengan mempertemukan para menteri Arab, Israel, dan Palestina untuk mendiskusikan cara-cara mencapai solusi dua negara.

Chihaia mengatakan, rencana awal itu "membutuhkan dukungan yang kuat dari negara-negara anggota Uni Eropa, mendapatkan dukungan regional, serta mengambil langkah-langkah praktis untuk mengimplementasikannya.”

"Jika tidak," katanya, "rencana ini berisiko menjadi gertakan di atas kertas belaka."

(kp/rs/as)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait