1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perang Melawan Teror Berdampak Negatif

as11 September 2008

Semakin banyak negara besembunyi di balik dalih perang melawan terorisme jika melakukan tindakan melanggar hak asasi. Dampak perang melawann terorisme lebih mengerikan dari teror itu sendiri.

Tujuh tahun lalu WTC ditabrak teroris dengan pesawat terbang. Kini program perang melawan terorisme berdampak lebih mengerikan dari aksi teror tsb.Foto: AP


Peringatan tujuh tahun serangan terror 11 September menjadi topik komentar harian-harian internasional. Program perang melawan terorisme yang dicanangkan pemerintahan George W.Bush setelah serangan itu, mengubah drastis situasi politik dunia.

Harian Perancis La Croix yang terbit di Paris dalam tajuknya berkomentar :


Terorisme merupakan masalah sulit bagi demokrasi. Untuk menjamin keamanan dan dapat mencegah drama kemanusiaan, negara bertindak jauh melewati batasan legalitas. Hak kebebasan warga diinjak-injak dan prinsip praduga tidak bersalah tidak lagi diakui. Dilancarkan razia kelompok potensial berbahaya, dilakukan penyaringan data dan pengawasan elektronik lebih ketat serta tahanan untuk interogasi. Jika kemudian digelar pengadilan, tuduhan terorisme tiba-tiba lenyap. Alasannya tidak cukup bukti. Tapi citra sudah rusak. Ketidak percayaan kelompok masyarakat tertentu terhadap AS semakin membesar.


Harian Jerman Frankfurter Rundschau yang terbit di Frankfurt am Main berkomentar :


Perang melawan terorisme menciptakan masalah baru, yang kini jauh lebih berbahaya dari terorisme itu sendiri. Khususnya menyangkut kebuntuan situasi di Afghanistan serta meningkatnya ketidakstabilan di Pakistan. Ditambah lagi ancaman dari AS dan Israel terhadap Iran, serta ketidakpedulian barat terhadap nasib warga Palestina. Apakah masih diherankan, jika dalam situasi seperti ini isu mengenai teori komplotan jahat terus menyebar dan kelompok Islam radikal selalu mendapat dukungan? Pemerintahan barat baik di Washington, Berlin, London atau dimanapun, melancarkan perang melawan terorisme dengan menggerogoti hak asasi manusia di dalam negerinya sendiri, dan memprioritaskan aksi militer di luar negeri. Keduanya muncul dari pandangan picik yang menjerumuskan kita ke jalan buntu.


Tema lainnya yang menjadi topik komentar dalam tajuk harian-harian Eropa adalah desas-desus mengenai sakit beratnya pimpinan Korea Utara, Kim Jong Il.


Harian liberal Austria Der Standard yang terbit di Wina berkomentar :


Jika terjadi pergantian pimpinan di Pyongyang, apa dampaknya bagi politik dalam dan luar negeri Korea Utara? Semua dugaan mengenai hal itu, saat ini merupakan spekulasi belaka. Tapi, selama Kim Jong Il tidak muncul, masyarakat internasional harus memikirkan hal itu. Penderitaan rakyat Korea Utara, mungkin membuat para kader komunis menjadi lebih siap menjalin kompromi. Namun bisa jadi sebaliknya, para penguasa justru merasa lebih aman di kursi jabatannya. Kedengarannya memang amas sinis, bahwa rakyat Korea Utara yang bertahun-tahun menderita kelaparan, nyaris tidak mungkin memiliki cukup energi, untuk menggulingkan pemerintahan. Tidak peduli, apakah pimpinan yang dicintai itu, kembali mempimpin di Pyongyang atau tidak.


Terakhir harian konservatif Norwegia Aftenposten yang terbit di Oslo berkomentar :


Berbagai hal mengindikasikan, di Korea Utara terjadi sesuatu yang tidak lazim. Perundingan penghentian program atom jalan ditempat, walaupun negara itu sejak setahun lalu sudah mendapat imbalan bantuan ekonomi dan janji jaminan politik. Pada dasarnya seberapa parah penyakit Kim Jong Il tidaklah penting. Yang lebih penting lagi, apakah ketidakhadirannya akan memunculkan penguasa totaliter baru, atau memicu perebutan kekuasaan di belakang layar. Apapun yang terjadi, hasilnya adalah Korea Utara saat ini sedang memasuki masa jeda. Dengan dampak, tidak hanya memblokir perundingan program atomnya, melainkan juga macetnya seluruh proses peredaan ketegangan di Asia.