1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ketahanan PanganTimur Tengah

Perang di Ukraina Picu Kelaparan di Lebanon

28 April 2022

Setelah krisis politik dan keuangan berkepanjangan, rakyat Lebanon terancam kelaparan. Jerman janjikan lebih banyak bantuan karena berkurangnya impor pangan dari Ukraina dan Rusia.

Menteri Pembangunan Jerman, Svenja Schulze, di dapur umum di Beirut, Lebanon
Menteri Pembangunan Jerman, Svenja Schulze, di dapur umum di Beirut, LebanonFoto: Thomas Koehler/photothek/picture alliance

Biasanya, saat berbuka puasa adalah perayaan yang menyenangkan selama bulan suci Ramadan. Namun kini para perempuan di dapur komunitas Matbakh el Kell di Beirut, Lebanon, terpaksa memasak hanya dengan bahan-bahan lokal untuk mencegah kelaparan.

Ratusan paket sembako pun siap diantar kepada orang-orang yang tidak mampu berbuka puasa tanpa bantuan ini.

Dalam perjalanan ke ibu kota Lebanon, Menteri Pembangunan Jerman, Svenja Schulze, sempat mengunjungi dapur umum tersebut dan memuji proyek itu sebagai contoh utama dari bantuan berkelanjutan yang dilakukan dengan benar. Dengan menggunakan makanan lokal, perempuan lokal kini punya pekerjaan dan mampu memberi makan keluarga mereka. Pada saat yang sama, hasil dapur membantu orang-orang yang paling membutuhkan.

Dapur umum Matbakh el Kell terletak di lingkungan yang rusak parah akibat ledakan di pelabuhan Beirut pada Agustus 2020. Tempat yang dulunya rumah sekarang menjadi reruntuhan beton. Panel jendela hilang, seluruh dinding dan fasad rumah hancur.

"Kami melihat orang biasa tidak lagi mampu membeli makanan sehari-hari mereka," kata Menteri Schulze saat menjanjikan bantuan lagi sebesar €10 juta untuk Program Pangan Dunia (WFP) di Lebanon.

Invasi Rusia ke Ukraina juga memperburuk krisis pangan Lebanon. "Putin juga mengobarkan perang kelaparan," kata Schulze. "Harga pangan naik karena Ukraina sekarang tidak dapat melakukan pengiriman." 

Ledakan di silo di pelabuhan Beirut pada 2020 lalu menyebabkan Lebanon kekurangan tempat untuk menyimpan biji-bijian bahan baku panganFoto: Marwan Naamani/dpa/picture alliance

Lebanon berada dalam keadaan ketergantungan impor pangan yang berbahaya. Hampir semua biji-bijian untuk bahan pangan diperoleh dari impor. Menurut UNICEF, 80% gandum di Lebanon berasal dari Rusia dan Ukraina. Yang memperparah masalah ini adalah meroketnya harga pangan di seluruh dunia dan kurangnya ruang penyimpanan untuk biji-bijian karena ledakan silo di pelabuhan.

Empat krisis dalam dua tahun

Sisa reruntuhan silo gandum masih berdiri di pelabuhan, menyimbolkan situasi putus asa di seluruh negeri.

"Dalam waktu kurang dari dua tahun, telah terjadi empat krisis besar berturut-turut," ujar Sami Nader, direktur lembaga think thank di bidang kebijakan ekonomi, Levant Institute for Strategic Affairs (LISA).

"Dan krisis ini bergabung untuk menciptakan krisis yang lebih parah yang sekarang diderita Lebanon: Krisis ekonomi dan keuangan pada 2019, pandemi COVID, ledakan di pelabuhan Beirut, dan akhirnya perang di Ukraina."

Menurut Schulze, Lebanon membutuhkan solusi jangka panjang serta bantuan jangka pendek untuk menghindari krisis kemanusiaan lebih lanjut.

"Pemerintah Lebanon harus membantu memastikan bahwa lebih banyak makanan dibudidayakan di sini, sehingga...penduduk Lebanon dapat memenuhi kebutuhannya sendiri," ujar Schulze.

Menteri Schulze berharap pemerintah baru akan dapat mengatasi masalah ini. Pemilihan Lebanon tinggal tiga minggu lagi, tetapi prospeknya suram di tengah ketidakstabilan politik yang kronis.

Andalkan bantuan dari luar

Lebanon pernah disebut sebagai "Swiss dari Timur Tengah" karena kekayaannya. Namun kini sekitar 80% penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan.

"Daya beli rakyat Lebanon semakin berkurang dari hari ke hari. Selain itu, pound Lebanon telah kehilangan 90% nilai terhadap dolar AS," ujar ekonom Sami Nader. "Tapi yang memperburuk situasi adalah tidak adanya harapan di cakrawala. Tidak ada solusi yang jelas."

Negara ini sekarang mengharapkan pinjaman penyelamatan dari Dana Moneter Internasional (IMF). Lebanon akan menerima dana sebesar $3 miliar dolar AS dengan syarat pemerintahnya harus menerapkan reformasi yang berjangkauan luas. Namun Nader merasa pesimistis. 

"Ini hanya tinta di atas kertas. Pemerintah telah mengajukan rancangan rencana rekonstruksi keuangan kepada IMF untuk memulai pembiayaan. Tetapi apakah pemerintah mampu melaksanakan rencana ini? Jawabannya tidak," ujarnya.

Berbagai organisasi bantuan juga telah meminta pemerintah Libanon untuk bertindak. "Bagi kami di World Food Programme, sangat penting bahwa solusi dinegosiasikan dan didorong oleh kemauan politik," kata Ute Klamert, asisten direktur eksekutif WFP.

Pastikan bantuan tidak dikorupsi

Akan tetapi praktik korupsi di Lebanon telah meluas selama bertahun-tahun. Rakyat Lebanon tidak lagi mempercayai pemerintahnya. Terlalu sering, mereka melihat uang-uang bantuan itu berakhir di tangan yang salah.

Untuk memastikan agar uang bantuan tidak menghilang ditilap koruptor, WFP membuat program baru di Lebanon seperti mendistribusikan kartu yang berfungsi seperti voucher makanan elektronik. Dengan kartu ini, mereka yang benar-benar berhak dapat membeli makanan di lebih dari 400 toko kelontong. Ini adalah model yang dapat menjadi contoh bagi proyek lain: 100% uang dan makanan telah direncanakan sampai ke tempat yang paling membutuhkan.

Namun untuk sementara ini, Lynn yang berusia 23 tahun masih terus mengemasi makanan di Matbakh el Kell di Beirut. Menunya sederhana: coleslaw, sepiring nasi, dan beberapa buah. Upah yang diterima dari bekerja di sini ia akui bisa membantu orang tua dan saudara laki-lakinya.

Lynn baru saja menyelesaikan sekolah dan bermimpi suatu hari bisa belajar di universitas. Tetapi banyak yang harus diubah agar impian Lynn bisa terwujud, di Lebanon dan di bagian lain di dunia.

ae/pkp

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait