1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Perawat Lansia: Banyak Dibutuhkan, Kurang Apresiasi

Fika Ramadhani | Levie Mulia Wardana
10 Mei 2024

Jumlah perawat di Indonesia mendominasi hampir keseluruhan tenaga kesehatan yang ada. Jumlahnya mencapai 39% di tahun 2023. Namun mirisnya, Indonesia masih kekurangan perawat lansia.

Gambar simbol perawat
Gambar ilustrasi perawatFoto: Pond5 Images/IMAGO

Indonesia mengalami kondisi peningkatan jumlah lansia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, persentase penduduk lansia  mencapai 32 juta jiwa, atau 11,75%  dari total penduduk Indonesia. Namun sayangnya kondisi ini tak sebanding dengan tenaga kesehatan pendukung yang dibutuhkan.

Keterampilan dalam bidang ilmu keperawatan khusus diperlukan untuk bisa membersamai dan merawat lansia. Mereka adalah perawat gerontik, perawat dengan bidang keilmuan untuk memberi pelayanan profesional berbentuk bio-psiko-sosial-spiritual yang diterapkan secara kultural dan holistik, ditujukan kepada klien atau pasien lanjut usia baik sehat maupun sakit. (Manurung, et al., 2020:1)

Belum diketahui data terkait jumlah perawat yang menekuni bidang profesi ini. Namun di panti wreda atau panti jompo, ketimpangan antara jumlah lansia dan perawat masih banyak ditemui. 

Seperti halnya di Panti Sosial Tresna Wreda Budi Mulia 3, sebanyak 356 lansia dengan beragam kondisi kesehatan tinggal di sini. Bahkan sebagian dari mereka adalah lansia terlantar dengan gangguan kejiwaan.

Merawat dan mendampingi kegiatan para lansia jadi keseharian Natalia Naibaho, salah seorang perawat lansia yang telah 6 tahun bertugas di PSTW Budi Mulia 3. Di sini, para lansia ditempatkan dalam 12 ruangan berbeda. "Satu ruangan itu ada yang lima belas (lansia), ada yang dua puluh enam, ada yang dua puluh empat. Jadi otomatis satu pendamping mengurus (semua lansia) di satu ruangan tersebut” jelasnya. 

Dalam wawancara kepada DW, Natalia bercerita, selain harus merawat lansia dengan bermacam keterbatasan fisik dan kesehatan, kesabaran dan manajemen emosi juga jadi satu hal penting: "Mereka berbeda, tidak seperti kakek-nenek kita di rumah. Karena mereka kebanyakan dari jalanan," Ia menambahkan:  "Seperti kalau tidur, padahal mereka punya tempat tidur yang nyaman, tetapi mereka lebih memilih tidur di teras. Begitu pula dengan jadwal makan. Kita makan di sini tiga kali sehari dan disediakan snack, tapi mereka merasa tidak dapat makan. Makanan yang telah dibagi hanya mereka simpan, dan berujung makanan itu jadi basi. Tingkah laku yang kasar juga sering terjadi, karena mereka dari jalanan”

Dari merawat hingga membersihkan kamar dilakoni.

Rangkap tugas kerap jadi hal yang mau tak mau harus ia lakoni. Tak hanya bertanggung jawab atas kesehatan dan kegiatan sehari-hari, Natalia juga bertanggung jawab untuk membersihkan kamar hingga kotoran para lansia. "Banyak dari mereka yang sudah benar-benar sepuh dan enggak bisa melakukan banyak aktivitas lagi," pungkasnya. "Kegiatan saya di pagi hari pasti dengan membangunkan nenek, karena kita perempuan, pasti merawatnya di bagian nenek, mendampingi makan, kebersihan kamar atau wismanya, mendampingi kegiatan yang sudah terjadwal seperti senam, angklung, keterampilan, kebaktian.” ujar Natalia. 

Pandai membagi waktu dan fokus menjadi sebuah keharusan, agar semua pekerjaan bisa ia rampungkan. Karena masing-masing lansia memiliki kondisi dan kebutuhan yang berbeda-beda: "Kita tahu lansia itu kembali lagi menjadi seperti anak-anak. Kita enggak bisa kasar, karena mereka tetap saja orang tua. Harus lebih sabar.” jelasnya.

Tak sedikit dari kakek-nenek di sini yang ‘rewel', menurunnya kondisi fisik dan psikis di usia senja membuat mereka butuh perhatian khusus. "Sementara tingkah laku atau polahnya itu sudah kembali menjadi anak-anak” kata Natalia.

Kekurangan Tenaga Kerja, Pelayanan Lansia di Jerman Perlu Perbaikan Total

Jumlah perawat membeludak, tapi perawat lansia tak banyak.

Mengacu pada Keputusan Menteri Sosial nomor 50 tahun 2004, tentang Standarisasi Panti Sosial, ditetapkan bahwa idealnya untuk mendapatkan pelayanan prima, rasio perbandingan perawat dan lansia adalah 1:5. Yang berarti, kondisi ini masih jauh dari standar.

Namun bukan berarti Indonesia kekurangan perawat, data Kemenkes menyebutkan, per tahun 2023 terdapat 1,49 juta tenaga kesehatan. Jumlah ini didominasi oleh perawat, dengan jumlah 582 ribu orang atau sekitar 39%. 

Fakta lain menunjukkan, tenaga perawat gerontik Indonesia justru banyak dikirim ke luar negeri. Salah satunya adalah program Government to Government (G to G) atau program antar pemerintah Indonesia dan Jepang. Pada 2019, 338 perawat dikirim ke Jepang melalui program ini, 300 di antaranya adalah perawat lansia. 

Terbatasnya jumlah perawat lansia di panti-panti sosial terbilang miris, terlebih di tengah banyaknya jumlah perawat. Masalah gaji dan insentif disinyalir jadi salah satu faktornya. Dilansir dari Kajian Komponen Insentif Tenaga Kesehatan, Kemenkes RI, gaji perawat lansia di Indonesia berada di rentang 2,5 juta hingga 6 juta perbulan, tergantung pada pengalaman dan kualifikasinya. Sedangkan bila dibandingkan dengan perawat lansia yang mengikuti program G to G ke Jepang, mereka akan mendapat gaji pokok awal sekitar 100.000 hingga 200.000 yen atau sekitar 11 – 21 juta per bulannya.

The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mengkaji negara mitra mereka, dan mengungkapkan bahwa dari 10 negara di Asia (seperti Malaysia, Singapura, Jepang, Korea Selatan, India, Taiwan, Filipina, dan Thailand), Indonesia berada di peringkat terbawah soal gaji awal profesi perawat.

 

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

 

Fika Ramadhani Fika Ramadhani, jurnalis multi-media untuk Deutsche Welle Program Indonesia.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait