1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndonesia

Perawatan Paliatif, Memberi Makna Kehidupan hingga Akhir

25 Februari 2025

Bagi mereka yang bekerja di dunia perawatan paliatif, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian justru jadi kesempatan untuk memberikan kualitas hidup hingga akhir.

Seseorang berjalan di dalam sebuah lorong
Ilustrasi akhir perjalanan hidup manusiaFoto: Andrés Cónema/Zoonar/picture alliance

Kabar buruk, apalagi terkait kondisi medis yang serius dan tidak bisa disembuhkan, bukanlah hal mudah diterima, baik untuk pasien maupun tenaga medis. Namun, bagi mereka yang bekerja di dunia perawatan paliatif, seperti Rina Wahyuni, kematian bukan akhir dari segalanya. Ini justru kesempatan untuk memberikan kualitas hidup hingga akhir.

Sejak pagi, Rina duduk di ruang kantor Rachel House Jakarta Barat, bersama dokter dan tim perawat lain untuk memulai clinical briefing pagi. Mereka membahas tugas yang akan dijalani hari itu dan mulai membahas satu per satu kondisi dan rencana home care pasien hari itu.

"Hari ini kita akan kunjungan ke rumah R, remaja perempuan usia 15 tahun dan mengidap Osteosarcoma (kanker tulang)," kata Rina kepada tim DW Indonesia sebelum kami bertolak ke Tangerang, Banten.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Rina adalah kepala perawat di Rachel House, sebuah yayasan nonprofit yang khusus menangani perawatan paliatif gratis bagi anak-anak penderita HIV dan kanker, terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu. Sejak bergabung pada 2008, Rina mengabdikan diri dalam dunia paliatif yang masih terdengar asing di Indonesia.

Perawatan paliatif erat dengan pasien dengan penyakit serius atau tak bisa disembuhkan, dan pasien terminal. Perawatan ini bukan hanya tentang pengelolaan nyeri dan gejala pada fisik pasien, tapi juga pemberian dukungan emosional, psikososial dan spiritual, bagi pasien dan keluarganya.

"Kamu masih takut meninggal, enggak?"

Setelah berkendara dengan mobil, Rina dan dua 2 perawat dari Rachel House harus berjalan melewati beberapa gang, sebelum tiba di rumah pasien mereka hari itu.

Di rumah itu, mereka disambut seorang anak perempuan yang didampingi ibu dan ayahnya. Meskipun anak itu tampak tersenyum, raut wajahnya tampak pucat dan menunjukkan kelelahan. Selain memeriksa kondisi kesehatan, Rina juga bertanya tentang aktivitas dan melontarkan pertanyaan yang menggali isi hati pasiennya itu. 

"Kalau kamu lagi drop, kamu masih takut meninggal, enggak sih?" tanya Rina. Anak itu menggelengkan kepala. "Mamanya yang takut," jawab sang ibu.

Rina tersenyum dan merespons dengan halus. "Meninggal itu memang sesuatu yang pasti, Bu. Kita semua akan meninggal pada waktunya. Tapi yang penting adalah bagaimana kita bisa hidup dengan kualitas sampai akhir."

Bagi Rina, setiap perjalanan pasien selalu unik. Inilah inti dari pekerjaan seorang perawat paliatif. Tidak hanya merawat tubuh pasien, tetapi juga merawat jiwa mereka. Walaupun pada satu titik, salah satu tugas perawatan paliatif adalah menjelaskan kondisi pasien yang sebenarnya.

Salah paham tentang perawatan paliatif

"Tantangan terbesar adalah ketika kita mulai berbicara tentang kematian. Semua orang takut membicarakan perpisahan, bahkan tabu. Tidak hanya bagi keluarga pasien, tapi juga bagi tenaga kesehatan," ungkap Rina.

Rina percaya bahwa membuka pembicaraan tentang kematian pada saat yang tepat sangat penting. Dengan begitu, pasien dan keluarga bisa lebih sadar akan sisa waktu mereka dan membuat keputusan yang lebih bermakna dalam menjalani hari-hari terakhir. 

Perjalanan Rina tidak selalu mudah. Ia harus menghadapi stigma sosial yang berkembang di masyarakat dan bahkan di kalangan tenaga medis mengenai perawatan paliatif.

Banyak yang beranggapan bahwa perawatan paliatif hanya diberikan pada pasien yang sudah berada di ujung hayat, dan ini sering kali membuat pasien terlambat mendapatkan dukungan yang dibutuhkan.

Perawatan paliatif masih sering disamakan dengan hospis, tapi keduanya berbeda. Perawatan paliatif dapat dimulai sejak diagnosis penyakit serius untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

Sementara meski masih jadi bagian dari perawatan paliatif, perawatan di hospis diberikan di tahap akhir kehidupan dengan fokus pada kenyamanan pasien setelah perawatan medis dihentikan.

Paliatif, melawan stigma tentang kematian

Kementerian Kesehatan mencatat pada 2022, hanya 1% pasien terminal yang mendapatkan perawatan paliatif. Banyak dokter yang baru merujuk pasien ke layanan perawatan paliatif setelah kondisi mereka tidak dapat disembuhkan lagi, yang mengaburkan esensi dari perawatan ini.

Menurut dokter perawatan paliatif dr. Maureen Lukman, FIPM, banyak tenaga kesehatan yang tidak menjelaskan kondisi pasien secara detail karena enggan membicarakan kabar buruk. Padahal, dengan penjelasan yang tepat, pasien bisa membuat keputusan yang lebih rasional terkait tujuan pengobatan mereka. 

"Perawatan paliatif bukan berarti meninggalkan pasien tanpa perawatan, tetapi memberikan dukungan penuh meski penyakit tidak dapat disembuhkan. Perawatan paliatif berjalan berdampingan dengan terapi yang dilakukan dokter," jelasnya. Bahkan menurutnya, perawatan paliatif akan terus berperan mendampingi keluarga pasien hingga beberapa bulan setelah pasien berpulang.

Maureen juga menyoroti pentingnya edukasi perawatan paliatif baik untuk masyarakat maupun tenaga medis.

"Stigma yang masih ada di masyarakat adalah bahwa meninggal di ICU itu terhormat. Itu sebabnya banyak pihak yang menghindari perawatan paliatif. Edukasi sangat dibutuhkan," ujarnya. Selain itu, menurutnya pendirian pusat perawatan hospis juga dapat membantu mendekatkan perawatan paliatif dengan masyarakat. 

Meningkatkan akses perawatan paliatif di Indonesia

Sementara dokter perawatan paliatif dr. Maria A. Witjaksono, MPALLC (FU), juga mengakui kemajuan dalam penerimaan perawatan paliatif di Indonesia dengan UU Kesehatan tahun 2023. Namun, ia menekankan masih ada tantangan besar terkait kebijakan yang belum merinci mekanisme perawatan paliatif.

"BPJS sudah mencakup perawatan paliatif di rumah sakit, tetapi hanya dalam jumlah yang sangat terbatas," jelas Maria. Ia mengusulkan agar perawatan paliatif lebih terintegrasi di tingkat puskesmas dan layanan primer.

Di sisi lain, juga diperlukan perluasan pendidikan dan pelatihan di institusi pendidikan kesehatan agar lebih banyak tenaga medis yang terampil dalam bidang ini. Hal ini menurutnya dapat menjadi kunci perluasan akses perawatan paliatif.

Menurut Maria, dengan perawatan paliatif, dari sisi pasien bisa menghemat biaya rumah sakit. Sementara bagi rumah sakit akan mengurangi penggunaan fasilitas medis yang tidak perlu, seperti ICU yang bisa diperuntukkan untuk pasien lain.

"Banyak pasien terminal yang sebenarnya sudah tidak bisa disembuhkan, tetapi karena desakan keluarga atau keinginan pasien sendiri, dokter malah memberikan pengobatan yang memperburuk kondisi. Ini jelas tidak efisien," kata Maria.

Meski banyak tantangan yang harus dihadapi, Rina, Rachel House, dan tenaga medis lain di bidang ini terus berjuang memperkenalkan perawatan paliatif secara lebih luas. Mereka berupaya mengubah persepsi yang salah dan membangun pemahaman bahwa perawatan paliatif adalah bagian penting dari sistem perawatan kesehatan yang dimulai sejak awal diagnosis, bukan hanya pada akhir kehidupan.

"Tugas perawatan paliatif bukan untuk memperpanjang atau memperpendek umur," tegas Rina.

"Namun, keluarga dan pasien membutuhkan seseorang yang bisa berjalan bersama mereka di saat-saat sulit. Di saat mereka merasa beban emosional, ketakutan, dan kebingungan. Karena kami tahu, tidak mungkin mereka bisa menelepon dokter 24 jam. Tugas kami adalah menemani mereka, mendengarkan, dan yang terpenting, memastikan bahwa mereka dapat memberikan yang terbaik bagi pasien di akhir hidupnya, yaitu kualitas hidup yang terbaik," tutup Rina.

Editor: Arti Ekawati

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait