1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perbudakan di Tambang Batu Bata di Pakistan

15 September 2007

Di sebuah desa kecil dekat Lahore tinggal 80 keluarga. Semuanya milik pengusaha batu bata, terikat perbudakan akibat hutang.

Zabia Bibi sedang menumpuk batu bata
Zabia Bibi sedang menumpuk batu bataFoto: AP

Bhalar adalah salah satu dari sekian ribu desa pembuatan batu bata di Pakistan. Bhalar terletak di dekat Lahore, ibukota provinsi Punjab. Tiga tahun lalu tiga orang perempuan yang berani mengadakan kegiatan seperti sekolah minggu, untuk mengajar anak-anak dari 80 keluarga di Bhalar. Rubina, Angela dan Edna selalu membawa roti dan buah di tas mereka, karena kebanyakan anak-anak itu datang dengan perut lapar ke sekolah minggu. Tapi anak-anak ini memiliki rasa ingin tahu dan semangat belajar yang tinggi, jika Angela membaca kalimat-kalimat dari kitab suci, menjelaskan huruf-huruf atau sekedar menyanyikan lagu-lagu rohani.

Bulan Januari tahun ini terjadi keajaiban yang bagi Angela dan guru-guru sekolah minggu di Lahore dianggap sebagai mujizat. Seorang perempuan tua di desa itu yang selama hidupnya bekerja sebagai budak di perusahaan batu bata yang dimiliki Shan menyediakan rumahnya sebagai bangunan sekolah. Sejak itu 150 anak-anak dari Bhalar memiliki 4 ruang kelas dan dapat belajar setiap hari.

Jika dulu para perempuan itu mengajar secara sembunyi-sembunyi, sekarang mereka harus memberitahukan secara terus terang tentang hal itu kepada Shan. Ia tidak begitu berkepentingan dengan pendidikan para pekerjanya, yang terikat perbudakan akibat terlilit hutang kepadanya. Karena upah kerja berat di perusahaan batu bata sangat kecil. 70 Rupee kira-kira satu Euro atau 12 ribu Rupiah upah yang diperoleh keluarga untuk pembuatan 1000 batu bata yang bagus. Jika batu bata tersebut rusak atau kualitasnya buruk, itu menjadi tanggungjawab buruh. Pada musim hujan tidak ada batu bata yang dapat diproduksi, dan pada bulan Januari pekerjaan itu tidak mungkin dilakukan karena suhunya terlalu dingin. Itu menyebabkan para buruh tidak memiliki penghasilan dan harus meminjam uang dari Shan. Oleh sebab itu hutang mereka terus membesar dan hutang itu diwariskan kepada anak-anaknya. Sulit melepaskan diri dari lingkaran setan ini. Yang ajaib, Shan dapat menerima penyelenggaraan sekolah Kristen itu, tidak melarangnya.

Di depan gerbang sekolah terdapat seorang anak yang bernama sama dengan sang tuan tanah. Shan berumur 11 tahun dan bekerja sejak umur 8 tahun di rumah mandor para budak. Ia tidak boleh ke sekolah meskipun sebenarnya ia ingin sekali belajar

“Nama saya Shan dan saya menjaga agar rumah tetap bersih. Saya tidak dapat pergi ke sekolah walaupun saya ingin. Saya harus mencari uang untuk membantu keluarga saya.”

Pada hidung Shan terlihat sebuahluka, karena pengurus rumah memukulnya jika anak laki-laki itu tidak bekerja dengan benar. Keluarganya memiliki hutang hampir 3000 Euro atau sekitar 36 juta rupiah pada pemilik perusahaan batu bata. Tidak ada peluang bagi Shan untuk lepas dari perbudakan di perusahaan batu bata.

Sementara itu di halaman sekolah para ibu dari 150 murid sekolah itu berkumpul. Kepada mereka akan dibagikan pakaian dan sedikit makanan. Wajah para perempuan itu tampak lelah.

Zaina Bibi, ibu dari 11 anak dijual kepada Shan tiga tahun lalu. Dulu Shan kekurangan tenaga kerja dan membayar hutang keluarga Zaina Bibi kepada tuan tanah di selatan Punjab. Sebuah provinsi Pakistan yang di sebelah timur berbatasan dengan provinsi Punjab India. Keluarga itu pun terpaksa pindah ke Bhalar

Zaina Bibi: “Sejak tiga tahun saya bekerja sebagai buruh batu bata. Pekerjaan saya menata batu bata yang belum jadi ke dalam oven dan setelah batu bata terbakar kembali mengeluarkan batu bata panas itu dari oven. Saya benci pekerjaan ini, saya lebih suka menerima kerja lainnya. Saya tidak ingin terus menerus merasakan jari yang terbakar.”

Zardana Bibi juga ikut berbicara. Perempuan itu sekarang berusia 85 tahun dan masih remaja ketika Pakistan didirikan, tanggal 14 Agustus 1947 setelah berakhirnya kekuasaan penjajah Inggris. Ia datang sebagai pengungsi dari provinsi Punjab India

Zardana Bibi: „Saya masih muda ketika saya datang ke sini setelah pembagian India. Seumur hidup saya tinggal di desa ini dan bekerja di perusahaan batu bata di sini. Saya selalu miskin dan menemui banyak kesulitan dalam hidup. Waktu anak laki-laki saya berusia 20 tahun ia jatuh dari oven batu bata, dan sejak itu tidak bisa bergerak di tempat tidur. Saya akan meninggal juga dengan kesulitan seperti yang saya alami dalam hidup.“

Zardana termasuk generasi yang hilang dalam perbudakan pembuatan batu bata. Tapi anak-anak generasi sekarang yang belajar membaca, menulis, berhitung dan mengenal hukum yakni bahwa menurut Undang-Undang Pakistan perbudakan adalah hal yang dilarang, diharapkan Zardana memiliki nasib yang lebih baik.