Seniman kontemporer Indonesia, Arahmaiani, aktif mengembangkan komunitas kreatif. Proyek yang dikenal sebagai "Flag Project" atau Proyek Bendera berfokus pada kolaborasi kreatif dalam menuntaskan berbagai masalah.
Iklan
Flag Project turut ambil bagian dalam konferensi "Embodied History- Entangled Community" yang digelar di Museum Hamburger Bahnhof Berlin, Jerman, 13-14 Juni lalu. Konferensi ini bertujuan memberi perspektif baru dalam mengisahkan sejarah dan membentuk komunitas. Lantas perpektif apa yang ditawarkan oleh Arahmaiani dalam Flag Project ini? Ikuti wawancara DW dengan Arahmaiani.
Deutsche Welle: Bagaimana awalnya hingga memulai Flag Project dan bagaimana pengembangan kreativitas dalam Flag Project ini?
Arahmaiani: Proyek dimulai tahun 2006, saat gempa besar terjadi dan banyak korban di Jogja dan sekitarnya. Waktu itu saya bertemu dengan Kiai Djawis Masruri, pesantren Amumarta di Bantul, pesantren paling tua di Jogja. Kami coba beri bantuan kepada korban. Sebetulnya waktu itu saya ada teman pelukis dari Belanda, namanya Bert Hermens. Bert membantu akhirnya pesantren ini dapat dana bantuan dari Belanda.
Dari situ kita mulai kerjasama, muncul gagasan-gagasan. Kebetulan karena saya aktivis lingkungan hidup, saya pun mengusulkan 'bagaimana kalau ini fokus ke masalah lingkungan hidup?' karena ini penting untuk kedepan terutama generasi mendatang. Dari situ kami mulai kerjasama sampai sekarang.
Misalnya komunitas pesantren membuat batik dengan bahan alami. Nah sekarang sudah mempekerjakan lebih dari 130 orang. Itulah pertama sekali kerja komunitas yang betul real mengerjakan hal-hal untuk kehidupan sehari-hari. Selain itu juga buat biofuel dari buah Nyamplung, juga kosmetik dari bahan alami. Ada produk yang bisa bantu kondisi perekonomian masyarakat, jadi proyek kongkrit sekali.
Waktu itu muncul lah dua bendera dari dua huruf Arab Pegon atau Arab Melayu. Satu itu akal, kedua itu nyali.
Bagaimana respon audiens ketika mengerjakan proyek-proyek semacam Flag Project, terutama di Eropa dan juga negara lainnya?
Di Eropa sudah delapan tahun, setiap semester musim panas, saya mengajar di Fakultas Filsafat, Departemen Asia Tenggara, Universität Passau. Saya bekerja sama dengan komunitas lokal di Passau. Mengatasi masalah lingkungan hidup juga ada disana. Ada kelompok di pemerintahan yang mengusulkan untuk membangun benteng di pinggir Sungai Inn, untuk menghindari banjir, tapi mereka akan menebang pohon di taman publik. Komunitas semakin besar, bersama berjuang untuk (menolak penebangan) itu.
Jejak Indonesia Pada Guratan Karya Seni Daniel Kho
Daniel Kho meninggalkan Indonesia sejak 42 tahun silam dan bermukim di Jerman. Namun jiwa dan raganya masih meninggalkan jejak nusantara melalui karya seni.
Foto: DW/R. Akbar Putra
Menjunjung budaya Indonesia
Berlatar belakang etnis Tiongkok tak membuat Daniel Kho kehilangan rasa cintanya terhadap Indonesia. “Saya lahir di Jawa Tengah, dibesarkan dengan budaya Jawa, biarpun saya dari etnis lain tapi saya merasa jadi orang Jawa, Indonesia,” katanya. Menurut Kho kebudayaan Indonesia yang ia alami sangat mempengaruhi karya seninya.
Foto: DW/R. Akbar Putra
Lukisan bertema wayang
Karya seni lukis yang dibuat Daniel Kho pun sangat kental terpengaruh budaya Jawa. Tema atau ciri yang bisa dilihat secara langsung dari karyanya adalah wayang.
Foto: DW/R. Akbar Putra
Budaya wayang
Daniel mengaku dunia pewayangan sangat mempengaruhi kreasinya sebagai seorang seniman. “Karena saya lahir di dalam lingkungan yang penuh dunia pewayangan. Wejangan gunakan wayang, Islamisasi memakai wayang, Kristenisasi juga pakai wayang”, kata seniman ini.
Foto: DW/R. Akbar Putra
Dikecewakan Indonesia
Pengalaman Daniel Kho sebagai seseorang yang memiliki latar belakang etnis Cina pernah membuatnya kecewa. Cukup lama ia tidak bisa mengikuti pemilu di Indonesia. “Saya agak keki. Kenapa saya tidak boleh memilih? saya lahir di Indonesia, hanya warna kulit dan bentuk muka saya yang berbeda,” katanya.
Foto: DW/R. Akbar Putra
Pertahankan budaya Indonesia
Namun demikian, pengalaman pahit tersebut tak membuatnya hilang rasa cinta terhadap Indonesia. “Kita ini sedang mempertaruhkan ketahanan dan keragaman budaya. Kalau itu sampai hilang, sangat sayang sekali. Karena Indonesia adalah anugerah yang besar sekali,” tambahnya.(yp/ra/rzn/as)
Foto: DW/R. Akbar Putra
5 foto1 | 5
Saya diminta bantuan juga untuk input stimulasi kreatif untuk masalah masyarakat adat di Australia atau Kanada. Sebenarnya dasar budaya lokal tradisional itu sama, menghormati alam, menghormati semua makhluk.
Proyek lain di luar Indonesia yang telah berjalan sembilan tahun itu komunitas kreatif di Tibet, mulai saat Tibet dilanda gempa tahun 2010. Agak nekat juga sih, karena biasanya orang asing tidak boleh ke sana. Tapi karena ada asisten saya, seniman muda dari Cina, namanya Li Mu saya pun pergí. Sampai disana saya pun tersentuh dan merasa terpanggil, karena disana kondisi begitu hancur lalu orang tinggal di tenda, padahal musim dingin disana bisa minus 30 atau 40 derajat. Semenjak itu setiap musim panas saya kesana untuk bekerja bantu mereka mengatasi masalah lingkungan hidup. Kenapa penting? Selain empati dengan orang-orangnya, ini juga karena Plato Tibet. Kutub ketiga itu satu bidang es terluas di muka bumi dan juga sebagai tower air asia. Lebih dari dua miliar orang Asia hidup dari air disana, karena pemanasan global, banjir, longsor, kekeringan juga diprediksi para ahli bisa terjadi di tahun 2030, jika tidak dilakukan usaha pencegahan.
Saya dapat dukungan dengan komunitas disana, saya kerja dengan biksu-biksu. Senang karena biksu-biksu jadi aktif, sangat rajin dan sangat bisa diandalkan, tidak ada korupsi. Jadi proyek terus ada saja dari mengelola sampah, daur ulang lalu menanam pohon, bertani organik, mengatur pengairan, dan membuat energi alternatif dari air. Karena alasan ini, pemerintah setempat pun beri saya ijin untuk bekerja disana.
Sendratari Candrakirana, Pementasan Terbesar Masyarakat Indonesia di Jerman
Kisah percintaan klasik di tanah Jawa antara Candrakirana dan Inu Kertapati sampai juga ke Jerman. Dengan improvisasi mengedepankan budaya nusantara, Sendratari Candrakirana tampil memukau penonton di kota Frankfurt.
Foto: DW/G. Anggasta
Pementasan terbesar
Sendratari Candrakirana merupakan pementasan terbesar kelompok tari Pesona Indonesia di Frankfurt am Main dan sekitarnya. Kisah yang dimainkan berawal dari terusirnya Candrakirana dari Kerajaan Dhaha, petualangan keliling Indonesia dari pasangan Candrakirana dan Inu Kertapati dimulai. Pentas seni ditampilkan dua kali pada hari Minggu (28/4).
Foto: DW/G. Anggasta
Tiket terjual habis
Antusias penonton menyaksikan Sendratari Candrakirana tak hanya datang dari masyarakat Indonesia, banyak warga negara Jerman juga ingin menyaksikan pementasan akbar ini. Lebih 400 tiket yang disediakan penyelenggara semuanya habis terjual. Tiket dijual mulai dari harga 11,80 Euro atau sekitar Rp180 ribu Rupiah.
Foto: DW/G. Anggasta
Puluhan penari
Para penari berasal tak hanya dari kelompok tari Pesona Indonesia, melainkan individu lain yang lolos audisi. Pencarian pemeran tokoh dan para penari telah dilakukan pada November 2018 lalu. Ada sekitar 40 penari yang terlibat di sini, yang paling muda diwakili penari cilik berusia 7 tahun. Mereka membawakan delapan buah tarian klasik Indonesia dan beberapa tarian modifikasi.
Foto: DW/G. Anggasta
Antusias dari jauh
Setiap minggunya, para penari bisa datang tiga kali untuk berlatih mempersiapkan pementasan ini. Ratu Dety Aulia tak hiraukan lelahnya perjalanan, meski jarak yang ditempuh bisa makan waktu hingga dua jam. "Suka sekali menari dari dulu. Apalagi di Jerman, mereka 'kan belum tahu semua budaya Indonesia, ya. Ingin 'banget' menunjukkan kultur Indonesia, banyak sekali dari Sabang sampai Merauke."
Foto: DW/G. Anggasta
Belanja fesyen
Sambil menunggu pertunjukan dimulai atau saat rehat, pengunjung juga bisa berbelanja gaun, luaran pakaian atau rok bercorak aneka batik untuk menambah koleksi busana musim semi dan musim panas kali ini. Desain busana dan corak batik yang sederhana menjadi favorit orang Jerman, kata Ester Bolten, pemilik butik yang berpartisipasi.
Foto: DW/G. Anggasta
Bazaar makanan
Kehadiran aneka makanan dan jajanan khas nusantara cukup mengobati rasa rindu pada kuliner tanah air. Kehadirannya juga tentunya diburu orang Jerman yang penasaran. Selain mie ayam, ada juga nasi uduk, nasi campur, siomay, rempeyek, martabak telor, kue dadar gulung dan masih banyak lagi.
Foto: DW/G. Anggasta
Gamelan Jawa
Sambil asyik bersantap, iringan musik dari gamelan Jawa setia menemani pengunjung. Ada sekitar lima buah lagu yang dibawakan oleh Kelompok Gemelan Wacana Budaya, antara lain Gebo Giro, Mangarsewu dan Subakastowo.
Foto: DW/G. Anggasta
Pameran foto
Pengunjung juga bisa menelusuri pameran fotografi dari BUGI, sebuah organisasi masyarakat internasional yang bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan untuk Indonesia. Foto milik Nugroho Dwiadhiseno di atas adalah salah satu dari 25 koleksi foto yang dipamerkan untuk proyek sanitasi di Desa Tambak Lorok, Semarang.
Foto: DW/G. Anggasta
Penonton belajar banyak
"Pementasannya sangat indah. Tariannya sangat bagus, juga kostum dan aksesorisnya. Ceritanya juga sangat bagus. Saya belajar banyak tentang Indonesia dari pementasan tadi," kata Levin, salah seorang pengunjung. Di pintu masuk teater, penyelenggara menyiapkan booklet berisikan sinopsis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jerman untuk setiap pengunjung. (Teks: Geofani Anggasta/hp)
Foto: DW/G. Anggasta
9 foto1 | 9
Melihat perkembangan politik di Indonesia yang saat ini terpolarisasi, apa yang bisa dikembangkan komunitas kreatif untuk mengimbanginya?
Di Tibet, Lama Atisa dikenal sebagai reformer agama Budha, orang Tibet tahu tradisi ini dari Indonesia. Namun orang Indonesia banyak yang belum tahu. Saya terkesan sekali dengan inti tradisi dan ajaran yang sifatnya unik, merangkul seluruh aliran (kepercayaan). Ini adalah ajaran Sinkretisme dari Borobudur dimana Budhisme, Hinduisme, dan Animisme semuanya dirangkul.
Semenjak 2006, saya bekerja dengan pesantren juga mempertemukan biksu dengan santri-santri. Saya juga banyak bekerja dengan kelompok non muslim. Saya biasa dengan kerja bermacam kelompok.
Pertunjukkan Bendera adalah salah satu bagian dari kegiatan untuk mengekspresikan kebersamaan, sedang Proyek Bendera ini saya harap jadi kerja yang kelihatan. Bukan sekadar kumpul 'basa basi' lintas agama yang cuma foto atau salam-salaman. Tapi bagaimana bisa diterapkan dalam kegiatan kongkrit. Dengan adanya proyek seperti ini, beberapa komunitas ini bisa dipertemukan. Dan dari sana banyak kemungkinan muncul. Saya sering ajak ke masalah-masalah lingkungan hidup, yang mendasar, tidak usah pakai teori, yang orang lihat atau alami langsung.
Banyaknya saya hubungkan dengan masalah lingkungan hidup, sharing-nya ternyata lebih mudah, dari situ banyak muncul juga persoalan lain sosial hingga politik. Kita hadapi dengan pendekatan kreatif dan alternatif, inilah menariknya kerja komunitas. Kerja seperti ini merekatkan hubungan anggota komunitas, tidak perlu lagi membatasi 'kamu muslim, bukan muslim'. Kalau kita bisa bekerja sama mengatasi masalah sehari-hari itu, kita seperti saudara walau beda keyakinan, beda latar belakang budaya, beda warna kulit. Kita perlu aksi aksi kongkrit yang tidak cuma dikepala.
Arahmaiani adalah seniman Kontemporer Indonesia kelahiran Bandung tahun 1961 yang berpraktik dengan ragam medium seni: pertunjukkan, video, installasi, lukisan, gambar, tari, musik dan puisi. Menempuh studi di Institut Teknologi Bandung, Fakultas Seni dan Desain tahun 1980, ia melanjutkan studi di Paddington Art School, Sydney pada tahun 1983 dan The Academie voor Beeldende Kunst di Enschede, Belanda tahun 1985. Karya Arahmaiani kian dikenal dalam sirkuit seni kontemporer internasional, setelah berpartisipsi dalam Venice, Guangju, Sao Paolo Biennales, Asia Pacific Triennial, hingga pameran ternama dengan skala International seperti Cities on the Move dan Global Feminism.
Dari Indonesia dengan Jiwa Seni Berkarya di Jerman
Amiasih Amongsari dilahirkan di Jakarta dan datang ke Jerman tahun 1979. Selama puluhan tahun ia berkarya dan memapankan diri sebagai pelukis di Jerman. Berbagai Pameran tunggal maupun bersama sudah dilaksanakannya.
Foto: DW/M. Linardy
Kerinduan tertuang dalam warna
Amiasih Amongsari mulai berkarya di tahun 1984. Ia menimba pendidikan melukis di Alanus Hochschule der musischen und bildenden Künste, yang belokasi di kota kecil Alfter di dekat kota Bonn.
Foto: DW/M. Linardy
Mendirikan "jembatan"
Tahun 1995 Amiasih Amongsari pindah dari kawasan Bonn ke kota Weimar, yang dulu termasuk wilayah Jerman Timur. Di tahun pertama di kota Weimar, ia mendapat kesempatan mengadakan pameran tunggal.
Foto: DW/M. Linardy
Inspirasi awalnya dari berbagai hal di rumah
Misalnya dari tanaman kaktus yang berada di jendela di rumahnya. Setelah itu ia mulai mendapatkan ide dan sumber inspirasi dari berbagai hal di luar rumah. Jika merasa sedih, ia mengatakan, mengolah perasaan itu dengan melukis dari ingatan ketika masih kecil, atau waktu masih muda. Misalnya pemandangan perkampungan yang sejuk. Itulah yang menenangkan dan menyenangkan jiwanya.
Foto: privat/ Foto: DW/M. Linardy
Lapis demi lapis
Teknik pembuatan lukisan dengan cat air ini adalah: cat diberikan lapis demi lapis. Dari warna-warna yang tercampur, lahirlah warna baru, dan bentuk-bentuk yang mungkin tidak direncanakan sebelumnya.
Foto: Amiasih Amongsari/ Foto: DW/M. Linardy
Warna-warna cerah
Lukisan ini juga dibuat lapis demi lapis. Amiasih Amongsari mengaku terkesan dengan gaya pelukis August Macke (1887-1914). Macke adalah salah seorang pelukis Jerman yang paling terkenal dan berpenaruh.
Foto: Amiasih Amongsari/ Foto: DW/M. Linardy
Tanah Kalimantan
Foto yang terpampang di rumahnya dibuat dengan tanah yang dibawa dari Kalimantan. Ketika ditanya apa yang harus dilakukan agar bisa mapan sebagai pelukis di Jerman, ia menandaskan, seorang pelukis tidak hanya harus bisa berkarya, melainkan juga harus bisa memasarkan karyanya.
Foto: DW/M. Linardy
Tanah Eropa
Dua lukisan ini (kanan) dibuat dengan tanah dari Eropa. Walaupun tekniknya sama dengan lukisan yang dibuat dari tanah Kalimantan, corak dan warnanya membuahkan penafsiran yang berbeda.
Foto: DW/M. Linardy
Percobaan yang membuahkan hasil
Kedua gambar wajah orang ini sebenarnya hanya percobaan, bagaimana tanah yang diambil akan tampak di atas kertas atau kanvas jika digoreskan. Tetapi dari percobaan saja sudah lahir dua karya.
Foto: Amiasih Amongsari/ Foto: DW/M. Linardy
Sejumput tanah dari berbagai daerah
Tanah yang digunakan untuk membuat lukisan diambil dari kawasan di mana ia sedang berada, ditempatkan dalam kantung-kantung kecil, diberikan nama daerah asalnya, misalnya Aceh atau Bengkulu dan sebagainya.
Foto: DW/M. Linardy
Berkarya di Jerman
Amiasih Amongsari memiliki sebuah atelier tempat bekerja di Bonn. Di bangunan atelier itu ia juga bekerja sejumlah pelukis lainnya. Apakah terganggu jika ada orang lain yang bekerja di sana? Tidak masalah, katanya. Mereka juga saling mengenal. (Penulis/Foto: Marjory Linardy; Ed.: hp)