1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perdebatan di Jerman tentang Peran Baru Bundeswehr

William Noah Glucroft
17 November 2023

Pemerintah Jerman berkomitmen mereformasi Bundeswehr dan menempatkan militer Jerman pada kondisi 'siap tempur'. Namun, muncul perdebatan di kalangan politisi dan publik tentang peran baru militer ini.

Deutschland Neuer Freiwilligendienst bei der Bundeswehr
Foto ilustrasi militer Jerman, BundeswehrFoto: picture-alliance/dpa/M.

Menteri Pertahanan Jerman Boris Pistorius (SPD) tidak lelah menegaskan pembaruan militer Jerman, Bundeswehr. Terutama pilihan kata-katanya menjadi sorotan oposisi dan media di Jerman, karena dia menegaskan, Bundeswehr tentu saja setiap saat harus "siap tempur".

"Jerman membutuhkan Bundeswehr yang mampu bertempur dan mampu melakukan operasi (militer),” tegasnya lagi pada konferensi tahunan Kementerian Pertahanan yang berlangsung selama dua hari di Berlin. "Jerman harus mampu mempertahankan diri, karena perang kembali terjadi di Eropa.”

Sikap ini adalah paradigma baru dalam diskusi publik tentang peran Bundeswehr. Terutama setelah berakhirnya era Perang Dingin, warga Jerman tidak membayangkan lagi bahwa militernya akan berperang untuk mempertahankan negara. Selama ini, Bundeswehr kebanyakan terlibat dalam misi-misi menjaga perdamaian di luar negeri, seperti di Afganistan dan Mali.

Terutama partai Sosial Demokrat SPD biasanya yang paling lantang menolak perang. Ketika AS menyerang Irak, Jerman adalah salah satu negara yang paling lantang menolak perang. Kanselir saat itu Gerhard Schröder juga menolak keterlibatan Jerman dalam serangan itu.

Publik Jerman skeptis tentang militer dan militerisme

Di kalangan partainya sendiri, Boris Pistorius sering dikritik karena retorikanya tentang kesiapan tempur Bundeswehr. Juga kalangan oposisi mengeritik pilihan kata-katanya. "Kami pikir sangat bagus bahwa Bundeswehr akhirnya diperkuat. Tapi kami sama sekali tidak setuju dengan tujuan pemerintah untuk siap dan mampu berperang,” kata Markus Söder, pemimpin Uni Kristen Sosial CSU dan perdana menteri negara bagian Bayern.

Dalam wawancara dengan stasiun siaran publik ARD, Boris Pistorius menjelaskan bahwa "perang itu buruk; tidak ada yang menginginkan perang. Tetapi jika kita ingin menghindari perang, kita justru harus menunjukkan kepada calon agresor bahwa kita mampu membela diri.”

Boris Pistorius mengingatkan perlunya perubahan dalam pola pikir masyarakat untuk menghadapi "ancaman nyata.” Dia mengacu pada tahun-tahun Perang Dingin, ketika wajib militer dan kekuatan konvensional yang besar menjadikan Jerman Barat sebagai bagian penting dari kekuatan militer Barat melawan Uni Soviet.

Namun bagi sebagian warga Jerman, kata perang masih membangkitkan kenangan buruk. Terakhir kali Jerman mengobarkan perang adalah pada era Nazi, yang berakhir dengan kekalahan besar. Setelah itu, Jerman Barat lebih banyak bergantung pada Amerika Serikat dan NATO, yang menjamin keamanannya. Dengan runtuhnya Uni Soviet dan kedekatan politik Jerman dan Rusia, banyak yang menganggap tidak mungkin ada perang lagi di Eropa.

Namun, keputusan Presiden Rusia Vladimir Putin menginvasi Ukraina secara brutal, mendadak mengubah situasi. Tiba-tiba saja, skenario perang besar di daratan Eropa menjadi kenyataan yang harus dihadapi.

Paradigma baru tentang peran Bundeswehr

"Ini adalah titik balik, secara psikologis, bagi Jerman dan bagi masyarakat Jerman yang selalu menganggap bahwa pelajaran utama dari Perang Dunia II adalah tidak terlibat dalam aksi militer,” kata John Kampfner, jurnalis Inggris yang telah meliput Jerman selama beberapa dekade, kepada DW.

Peneliti senior di Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa Ulrike Franke mengatakan: "Topik apa pun mengenai militer, pertahanan, keamanan, hanya dipandang sebagai sesuatu yang sebenarnya tidak ingin dan tidak perlu dibicarakan,” seraya menambahkan: "Ini jelas salah."

Beberapa anggota parlemen dari kubu konservatif bahkan berharap dapat mengubah persepsi warga Jerman denghan misalnya penetapan Hari Veteran, seperti yang diperingati di banyak negara lain dengan menghormati anggota dinas militer mereka di masa lalu dan masa sekarang.

Namun, peringatan seperti itu kelihatannya masih sulit diterima secara luas, mengingat bahwa "budaya ingatan" tentang militer di Jerman hingga kini lebih banyak fokus pada kejahatan kemanusiaan yang dilakukan rezim Nazi dan Hitler atas nama Jerman selama Perang Dunia II.

Proses perubahan moral kolektif semacam itu, kata Ulrike Franke, memerlukan waktu. "Penekanan baru pada peran militer, menjadi tantangan bagi masyarakat Jerman, untuk segera membiasakan diri dengan kondisi normal baru ini,” pungkasnya.

(hp/as)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait