Perdebatan emosional soal norma kesusilaan sebagai buntut keputusan MK soal seks bebas dan LGBT mengungkap ketidakmampuan kita sebagai bangsa untuk merumuskan konsensus bersama tanpa pemaksaan kehendak. Opini Haris Azhar
Iklan
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46 tahun 2016 menuai perdebatan. Perdebatan terjadi akibat substansi materi putusan, atau yang diajukan pemohon, terkait dengan delik kesusilaan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 284 (ayat 1-4), ayat 285 dan 292.
Permohonan diajukan secara sadar diajukan dengan dalil konstitusi oleh para Pemohon ke MK sejak 2016. Atas pengajuan tersebut, berlangsung sesi demi sesi sidang pemeriksaan. Cukup hangat prosesnya, berbagai pihak hadir memberikan keterangan, kesaksian dan harus diakui perang pengaruh dalil terjadi dalam forum pemeriksaan di MK.
Pemohon mendalilkan melihat banyaknya praktik seks bebas dan berakibat pada penurunan kualitas kesehatan masyarakat. Oleh karenanya juga mengancam lingkar keluarga mereka. Sementara itu, KUHP, terutama pasal-pasal yang diajukan di atas, terkait dengan kesusilaan, tidak lagi dianggap mampu memidana pelaku seks bebas. Hal ini dikarenakan, pasal-pasal tersebut hanya memidana pelaku seks yang telah berstatus ikatan perkawinan atau pernikahan. Oleh karenanya, Pemohon berargumentasi bahwa faktor ‘akibat' menjadi penting untuk dilihat.
Dalam concern para pemohon, akibat buruk muncul karena ‘tata cara' seks yang bebas. Bebas bisa dilihat tanpa harus ada status hubungan perkawinan bagi pelaku seks (bebas). Bebas, dalam dalil Pemohon, pertama, harus dilihat pada bagian identitas biologis, laki-laki, perempuan. Kedua, bentuk hubungan seks berupa laki-laki dengan laki-laki, atau perempuan dengan perempuan.
Pengajuan di atas oleh Pemohon ke MK atas pasal-pasal KUHP dalam secara tegas ingin menyatakan pelaku seks bebas, sebagaimana disebutkan di atas, harus dipidana. Dipidana artinya menjadi musuh masyarakat, diasingkan dari masyarakat dan dibatasi gerak atau kebebasan personalnya dalam penjara. Oleh karenanya nama mereka pun dipublikasikan secara terbuka ke tengah masyarakat. Setidaknya hal ini adalah gambaran praktik pemidanaan yang berlaku saat ini.
Melanjutkan Perdebatan Nasional
Pasca putusan, 14 Desember 2017, perdebatan masih berlanjut. Apakah putusan MK artinya ‘menghalalkan' praktik kesusilaan yang terjadi selama ini? Masih dalam perdebatan, juga ada yang melihat pada faktor komposisi hakim mengingat pola perpecahan suara sangat sengit 4 berbanding 5 hakim. Hal ini pernah pula terjadi dalam putusan MK lainnya, seperti soal Hukuman Mati.
Kita perlu ingat bahwa sesungguhnya tanpa adanya putusan MK, isu kesusilaan—apalagi soal LGBT—selalu menuai perdebatan, sering kali bahkan berujung saling menghina, stigma berbagai pihak atau kelompok, pro dan kontra. Tidak jarang, justru menunjukkan kegagalan mendidik dan kehilangan tema awal yang diperdebatkan.
Pasca putusan MK, perdebatan tidak harus dihentikan, melainkan perdebatan harus terus dilakukan. Namun perdebatan harus menghasilkan konvensi (kesepakatan) untuk tidak lagi bertindak dengan cara-cara yang memaksakan kehendak, perlu mendengarkan berbagai pihak, menjadikan perdebatan sebagai proses saling uji dan berproses bersama. Bisa terbuka didiskusikan di berbagai kalangan dan pihak bukan sekedar atau membutuhkan ruang-ruang megah seperti Mahkamah Konstitusi.
Jokowi dan Ilusi Hukuman Mati
Presiden Jokowi menggunakan hukuman mati sebagai jurus andalan dalam perang melawan narkoba. Padahal berbagai studi ilmiah membuktikan hukuman mati tidak mampu menurunkan angka kejahatan. Oleh Rizki Nugraha
Foto: Reuters/Romeo Ranoco
Keyakinan Jokowi
Gigih cara Presiden Joko Widodo membela hukuman mati. Indonesia berada dalam darurat narkoba, dalihnya, meski angka kematian akibat narkoba jauh lebih rendah ketimbang rokok atau akibat kecelakaan lalu lintas. Tapi realitanya hukuman mati adalah hukum positif di Indonesia dan dia yakin, membunuh pelaku bisa menciptakan efek jera buat yang lain. Benarkah?
Foto: Reuters/Olivia Harris
Pepesan Kosong
Studi ilmiah di berbagai negara menyebutkan sebaliknya. Hukuman mati tidak serta merta mampu mengurangi kriminalitas. Sebuah penelitian di Amerika Serikat oleh American Civil Liberties Union bahkan menemukan negara bagian yang menerapkan hukuman mati justru mengalami peningkatan tindak kriminal. Kepolisian AS juga menganggap eksekusi mati sebagai cara paling tidak efektif memerangi kriminalitas
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Sato
Jagal Paling Produktif
Hukuman mati di Indonesia adalah peninggalan era kolonial Belanda. Rajin diterapkan oleh Suharto buat melenyapkan musuh politiknya, hukuman mati kemudian lebih banyak dijatuhkan dalam kasus pembunuhan. Pada era Jokowi pemerintah aktif menggunakan hukuman mati terhadap pengedar narkoba, jumlahnya lebih dari 60 eksekusi, baik yang sudah dilaksanakan atau masih direncanakan.
Cacat Keadilan
Sejak menjabat presiden 2014 silam, Jokowi telah memerintahkan eksekusi mati terhadap lebih dari 60 terpidana. Celakanya dalam kasus terpidana mati Pakistan, Zulifkar Ali, proses pengadilan diyakini berlangsung tidak adil. Ali diklaim mengalami penyiksaan atau tidak didampingi penerjemah selama proses persidangan, tulis Jakarta Post.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Nagi
Bantuan dari Atas
Terpidana mati lain, Freddy Budiman, bahkan mengklaim mampu mengedarkan narkoba dalam skala besar dari dalam penjara berkat bantuan pejabat di kepolisian dan Badan Narkotika Nasional. Sejauh ini tidak satupun pejabat tinggi kepolisian yang pernah diselidiki terkait tudingan semacam itu.
Foto: Getty Images/AFP/B. Nur
Pendekatan Keamanan
Kendati terbukti tidak efektif, pemerintahan Jokowi menjadikan hukuman mati sebagai ujung tombak dalam perang melawan narkoba. Ironisnya pemerintah terkesan belum serius menyelamatkan pengguna dari ketergantungan. Saat ini BNN cuma memiliki empat balai rehabilitasi di seluruh Indonesia.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
Solusi Buntu
Menurut BNN, tahun 2011 kasus penyalahgunaan narkoba mencapai hingga 2,8 juta orang. Angka tersebut naik sebesar 0,21 persen dibandingkan tahun 2008. Tapi kini tingkat penyalahgunaan narkoba diyakini meningkat menjadi 2,8 persen alias 5,1 juta orang. Padahal hukuman mati sudah rajin diterapkan terhadap pengedar narkoba sejak tahun 2004.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Uang Terbuang?
Terlebih eksekusi mati bukan perkara murah. Untuk setiap terpidana, Polri menganggarkan hingga 247 juta, sementara taksiran biaya versi Kejaksaan Agung berkisar di angka 200 juta. Artinya untuk 60 terpidana mati yang telah atau masih akan dieksekusi, pemerintah harus mengeluarkan dana hingga 15 milyar Rupiah.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/S. Images
Geming Istana
Beberapa pihak bahkan mengatakan satu-satunya yang berhasil dicapai Jokowi dengan mengeksekusi mati pengedar narkoba adalah memancing ketegangan diplomasi dengan negara lain. Namun begitu Jokowi bersikeras akan tetap melanjutkan gelombang eksekusi mati terhadap terpidana narkoba.
Foto: Reuters/Romeo Ranoco
9 foto1 | 9
Perdebatan patut masuk pada ruang atau bahkan materi pendidikan. Di satu sisi aras argumentasi, sebagaimana disampaikan oleh Pemohon, ada kandungan moralitas publik, karena keimanan. Namun juga harus dilihat secara komprehensif misalnya pada faktor kesehatan. Maka harus bisa dijelaskan secara logis dan mudah dipahami kepada kalangan seluas mungkin.
Kemampuan dalam proses ini akan menunjukkan kapasitas pengusung argumen dan bisa diuji. Itu lah konsekuensi dari demokrasi. Sebagaimana pilihan ke Mahkamah Konstitusi, sekaligus menggunakan pasal-pasal Konstitusi dalam argumentasi dalam pengajuan permohonan di MK, juga merupakan manifestasi dari komitmen pada demokrasi.
Peran Teknologi Komunikasi dan Geliat Populisme
Sering kali kita merasa lelah dan optimal dalam membela sebuah posisi. Apalagi jika sudah dibalur dengan sebuah keyakinan, ideologi atau identitas. Hal ini bisa dipahami, meskipun harus berani mengevaluasi diri di saat bersamaan. Akan tetapi yang perlu kemudian diuji adalah sejauh mana dedikasi pada sebuah posisi bisa berkoresponden pada pihak lain yang berbeda, bukan melulu pada kelompok sejenis. Sampai di sini hukum bukan menjadi instrumen utama. Apalagi pemidanaan, misalnya terhadap pelaku seks bebas. Hal ini justru mendorong pada mentalitas permusuhan.
Untuk itu, melanjutkan poin di atas, adalah menguji kapasitas situasi kita di Indonesia hari ini dalam mendiskusikan norma kesusilaan. Kemajuan teknologi sosial media, perang wacana dan perlombaan popularitas telah membelah masyarakat. Padahal secara diam-diam yang terjadi adalah krisis aktivitas hingga identitas. Misalnya, masyarakat atau setiap orang yang mencari pekerjaan harus beridentitas pada kelompok tertentu; untuk mendapatkan jabatan tertentu harus dekat dengan kelompok politik atau sosial tertentu. Masih banyak contoh lainnya.
Daftar Pelanggaran HAM yang Belum Terselesaikan
Sejumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia berat tersandung oleh sikap batu lembaga negara. Kejaksaan Agung seringkali menjadi kuburan bagi keadilan. Inilah sebagian kasus besar yang masih menjadi PR buat pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images/Dewira
Tragedi Trisakti
Pada 12 Mei 1998 demonstrasi mahasiswa menuntut pengunduran diri Suharto memuncak di kampus Universitas Trisakti, Jakarta. Komnas HAM mencatat jumlah korban kekerasan oleh aparat keamanan mencapai 685 orang, sementara tiga meninggal dunia akibat tembakan. Ironisnya berkas penyelidikan yang dikirimkan ke Kejaksaan Agung dinyatakan hilang pada Maret 2008 oleh Jampidsus Kemas Yahya Rahman.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. husni
Semanggi Berdarah
Kejaksaan Agung di bawah kendali Hendarman Supandji menjadi jalan buntu pengungkapan kasus pelanggaran HAM 1998. Berkas laporan Komnas HAM terhadap kasus kekerasan aparat yang menewaskan 17 orang (Semanggi I) dan melukai 127 lainnya pada November 1998 menghilang tak berbekas. Setahun berselang tragedi kembali berulang, kali ini korban mencapai 228 orang.
Foto: picture alliance/dpa
Hilangnya Widji Tukul
Satu per satu aktivis pro demokrasi menghilang tanpa jejak menjelang runtuhnya kekuasaan Suharto, termasuk di antaranya Widji Thukul. Ia diduga diculik aparat keamanan setelah dinyatakan buron sejak peristiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli 1996 (Kudatuli). Kasus Widji Thukul mewakili puluhan aktivis yang sengaja dilenyapkan demi kekuasaan.
Foto: Wahyu Susilo
Pembantaian 1965
Antara 500.000 hingga tiga juta nyawa simpatisan PKI melayang di tangan militer dan penduduk sipil setelah kudeta yang gagal pada 1965. Hingga kini upaya pengungkapan tragedi tersebut tidak pernah menyentuh pelaku. Adalah sikap membatu TNI yang melulu menjadi sandungan bagi penuntasan tragedi 1965.
Petaka di Wamena
Tragedi Wamena berawal dari penyerangan gudang senjata oleh orang tak dikenal yang menewaskan 2 anggota TNI pada April 2003. Aksi penyisiran yang kemudian dilakukan aparat menewaskan 9 penduduk sipil, sementara 38 luka berat. Seperti kasus sebelumnya, laporan penyelidikan Komnas HAM ditolak Kejagung dengan alasan tidak lengkap. TNI juga dituding menghalangi penyelidikan kasus tersebut.
Foto: picture-alliance/AP/dpa/A. Vembrianto
Pembunuhan Munir
Sosok yang sukses membongkar pelanggaran HAM berat oleh Tim Mawar dan mengakhiri karir Danjen Kopassus Prabowo Subianto ini meninggal dunia setelah diracun dalam perjalanan menuju Belanda. Pollycarpus Budihari Priyanto dinyatakan bersalah dan divonis 14 tahun penjara. Namun hingga kini kejaksaan sulit memburu tersangka utama yakni Muchdi Pr. yang dikenal dekat dengan Prabowo.
Foto: AFP/Getty Images/Dewira
6 foto1 | 6
Ketrampilan, profesionalitas dan integritas rasional sudah tidak laku lagi. Sebaliknya, di kalangan elite massa atau elite organisasi, salah satu syarat mereka adalah kemampuan mengumpulkan, mengendalikan atau memobilisasi massa. Ada proses trade-off, pertukaran kepentingan. Isu-isu tertentu sering digunakan untuk pemantik mobilisasi massa atau mobilisasi wacana. Dengan kata lain, isu kesusilaan dalam perdebatan hari ini rentan masuk pada masifnya teknologi komunikasi dan populisme (pragmatisme).
Lebih jauh, hal ini memudahkan terjebak pada, pertama, perdebatan yang tidak mendalam (emosional). Kedua, pada peralihan pada tema atau wacana baru. Rumus ini berlaku bukan hanya pada kelompok (bawah) tertentu, melainkan hampir pada seluruh kalangan. Bukan hanya para elite, tapi juga penguasa. Kita harus hati-hati pada situasi seperti ini untuk mendiskusikan sebuah norma yang menjadi pijakan banyak aturan hukum.
Efek Jera dan Rehabilitasi
Selain perlu kritis terhadap kapasitas kondisi kita saat ini, salah satu substansi perdebatan yang harus didiskusikan adalah soal Pemidanaan seks bebas. Dalam hukum pidana, mengutip dari Eddy O.S. Hiariej (2016), dikenal sejumlah ‘teori tujuan pidana kontemporer'; efek jera, edukasi, rehabilitasi, pengendali sosial dan keadilan restoratif. Efek jera, dimaksudkan agar pelaku kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Mirip dengan tujuan edukasi, agar tindakan tersebut tidak dilakukan oleh masyarakat lainnya.
Kehidupan Waria di Kampung Bandan
Kampung Bandan di Jakarta Utara akan disulap menjadi stasiun megah. Di kampung ini menetap para waria yang hidupnya tergantung pada area itu. Banyak dari mereka mengonsumsi obat anti letih. Simak bagaimana kesehariannya.
Foto: DW/M. Rijkers
Membebaskan diri dari kekangan sosial
Sore hari Kezia sudah selesai merias wajah dan menata rambutnya. Sabtu adalah malam panjang buat waria seperti Kezia. Kezia sudah siap mengamen sebagai pekerjaan utamanya. Lahir sebagai Reza, Kezia memilih menjadi waria dan tinggal di Kampung Bandan, kawasan padat penduduk miskin meski ayahnya tergolong mampu dan sudah membelikan rumah untuk anak laki-lakinya di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat.
Foto: DW/M. Rijkers
Berjalan jauh dengan hak tinggi
Gaun, tas dan sepatu hak tinggi merupakan andalan Darno yang mengubah namanya menjadi Vera, dalam meraup rupiah. Dari jam 19 hingga 2 pagi, Vera menelan sirup obat batuk merek tertentu sebanyak 30 bungkus per hari agar kuat berjalan jauh, mengamen. Pilihan lain.,obat penenang atau pereda sakit yang dibeli dari apotek secara diam-diam. Pemakaian obat secara berlebihan bisa berakibat fatal.
Foto: DW/M. Rijkers
Ruang hidup di kamar sempit
Di kamar kontrakan berukuran 1,5 x 2,5 meter seharga 400 ribu rupiah sebulan ini, Ella dan Dede tinggal bersama. Pasangan ini sudah hidup bersama selama tujuh tahun. Dede bekerja menyewakan alat mengamen untuk para waria dengan ongkos lima puluh ribu rupiah seminggu.
Foto: DW/M. Rijkers
Komitmen pada kesetiaan
Ella bekerja mengamen tanpa kencan dengan pria lain karena ia sudah berkomitmen setia pada Dede. Sama seperti Vera, Ella mengaku memerlukan obat-obatan agar tidak letih berjalan kaki.
Foto: DW/M. Rijkers
Terbiasa hidup dengan obat anti letih
Kosmetik termasuk kebutuhan utama para waria. Alas bedak, bedak dan umumnya setiap waria bisa dandan sendiri. Namun ada kalanya para waria saling bantu merias wajah teman. Seperti yang lainnya, merekapun mengkonsumsi obat anti letih.
Foto: DW/M. Rijkers
Siap mencari nafkah
Butuh waktu minimal dua jam untuk merias wajah, mengubah raut muka pria menjadi perempuan. Selain rias wajah, rambut palsu atau wig menjadi pelengkap andalan para waria.
Foto: DW/M. Rijkers
Operasi payudara di Singapura
Christine operasi payudara di Singapura pada tahun 2015 silam. Butuh biaya 12 juta rupiah untuk menambah silikon padat seberat 100 cc. Christine mengaku bekerja sebagai PSK di Taman Lawang. Sama seperti Vera dan Ella, Christine mengaku mengonsumsi obat-obatan agar kuat berdiri dan tidak lekas lelah.
Foto: DW/M. Rijkers
Ketika mereka sakit...
Emak tinggal di kamar berdinding tripleks di lantai atas sebuah kamar kontrakan di Kampung Bandan. Sewa kamar sempit ini 250 ribu rupiah sebulan. Hari itu Emak sedang sakit di bagian kanan perut dan rongga dadanya sehingga ia tidak mengamen.
Foto: DW/M. Rijkers
Layanan kesehatan gratis belum diperoleh
“Saya baru mau periksa dokter nanti kalau pulang ke Cikarang,” tutur Emak sendu. Layanan kesehatan gratis bagi warga belum bisa diakses oleh kelompok marjinal ini.
Foto: DW/M. Rijkers
Aktif ikuti kegiatan rohani
Dian waria tertua di Kampung Bandan. Usianya sudah 67 tahun. Ia menjadi waria ketika berusia 19 tahun. Karena sudah tua, Dian cuma mengamen 2 kali seminggu. Waria kerap dinilai tak peduli soal keimanan. Namun Dian, yang baru memeluk agama Kristen, mengaku cukup relijius. Dian aktif mengikuti kegiatan rohani serta datang beribadah setiap Minggu di gereja. Saat beribadah ia memakai pakaian pria.
Foto: DW/M. Rijkers
Akan disulap menjadi stasiun
Terletak di kawasan Mangga Dua, Jakarta Utara, Kampung Bandan dikenal sebagai kampung waria. Saat ini ada sekitar 27 waria yang tinggal di sini, area padat penduduk di pinggir rel kereta api. Biaya sewa kamar bervariasi mulai dari 200 ribu hingga 400 ribu rupiah sebulan.
Foto: DW/M. Rijkers
Tantangan dari luar
Beberapa kalangan warga Kampung Bandan tidak menolak kehadiran para waria. Tantangan sebagai waria justru datang dari kelompok ormas keagamaan yang kerap menyerang waria jika bertemu di kendaraan umum atau di jalanan. Jika kampung ini berubah wajah menjadi stasiun modern, bagaimana nasib mereka nanti?(Monique Rijkers/ap/vlz)
Foto: DW/M. Rijkers
12 foto1 | 12
Sementara dalam teori rehabilitasi, pelaku kejahatan harus diperbaiki kearah yang lebih baik agar bisa kembali masyarakat. Sedangkan teori pengendali sosial menyatakan bahwa pelaku harus diisoliasi agar tidak merugikan masyarakat. Yang menarik adalah konsep restoratif, dimana pendekatan pemidanaan bukan sekedar pada si pelaku atau korban, akan tetapi pada keseluruhannya aspek, si pelaku, korban, keluarga, masyarakat, untuk bersama-sama mengembalikan kondisi semula sebelum kejahatan terjadi. Dari gambaran diatas harus bisa dijawab, dibuktikan, dalam pemidanaan atas seks bebas, siapa pelaku, siapa korban, apa bentuk kejahatan yang mengancam, siapa korban, dst.
Masih banyak ahli pidana lainnya. Bahkan bisa dan perlu diperluas pada ahli hukum dan ahli-ahli lainnya. Bahkan harus diperluas pada tataran catatan praktik penegakan hukum. Patut diingat, penegak hukum di Indonesia memiliki berbagai ragam catatan tidak-profesional, kesalahan prosedur, bermuatan pesanan dalam kerjanya. Bahkan kejahatan atau kesalahan ini dialamatkan ke para pemimpin yang notebene mewakili kelompok pro-kontra dalam isu seks bebas.
Oleh karenanya, Norma baru bukan sesuatu yang haram, namun harus dicermati pula kemampuan dalam penerapannya. Kesalahan dalam penerapan norma baru (dalam bentuk delik), justru berpotensi memunculkan kejahatan baru lagi. Mari kita cerdas bersama mendiskusikan masalah ini. Sebaliknya bukan untuk menempuh cara-cara yang emosional dan pragmatis.
Kembali ke putusan MK, kita sebagai bangsa sudah memiliki dokumentasi perdebatan. Sesi pemeriksaan, dokumen permohonan dan dokumen lainnya telah disimpan dan bisa diakses oleh masyarakat luas. Hal ini adalah sesuatu yang patut diapresiasi kepada para pihak, saksi ahli dan MK itu sendiri, setuju ataupun tidak.
Haris Azhar (rzn/vlz)
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation
Haris Azhar adalah pegiat Hak Azasi Manusia yang sempat aktif sebagai Koordinator di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Ia mengenyam pendidikan hukum di Universitas Trisakti dan program Magister Hak Azasi Manusia dan Keragaman Budaya di Universitas Essex, Inggris. Saat ini Haris Azhar menjabat Direktur Eksekutif Yayasan Lokataru yang menyediakan layanan hukum dalam kasus pelanggaran Hak Azasi Manusia.
Kisah Seorang Imam Gay di Paris
Ludovic-Mohamed Zahed telah mengabdikan hidupnya untuk memperjuangkan hak kaum homoseksualitas dalam Islam. Perjuangan yang berat dan berisiko. Simak kisahnya.
Foto: Getty Images/AP Photo/C.Paris
Butuh satu dekade yakinkan keluarga
Zahed: Butuh waktu 10 tahun untuk meyakinkan keluarganya yang imigran Tunisia bahwa dia, walaupun seorang homoseksual, tak layak dihina dan dipukuli seperti anjing. Melainkan seorang pria gay bermartabat dan sekaligus seorang Muslim yang taat.
Foto: Getty Images/AP Photo/C.Paris
Mendirikan masjid inklusif
Pendiri Homosexual Muslims of France ini mendirikan "Masjid Inklusif "di Paris pada tahun 2012. Zahed mengatakan bahwa masyarakat Muslim secara historis lebih toleran terhadap homoseksualitas ketimbang budaya Kristen. (foto ilustrasi)
Foto: picture-alliance/dpa
Hidup dalam ancaman
Ancaman yang dihadapinya tidak sedikit. Di Perancis, Zahed kerap meneriman pesan-pesan di Facebook yang menudingnya "menodai Islam" dan seharusnya "terbakar di neraka".
Foto: picture alliance/dpa
Menikahi pasangan
Pada tahun 2011, Zahed menikahi pasangannya. Ibunya, menghadiri pernikahan mereka. Ibunya mengatakan: 'Kamu bisa memiliki suami jika menginginkannya. Saya menerimamu kamu apa adanya." (foto ilustrasi)
Foto: picture-alliance/dpa
Merasa bisa menjadi keduanya
Saat diundang ke Berlin, Zahed berusaha menunjukkan bahwa homoseksualitas dan Islam, kompatibel: "Saya juga berjuang dengan dua identitas ini. Saya terbelah antara agama dan perliaku seksualitas saya,". Tapi kemudian, kata Zahed, dia menyadari bahwa Islam memegang pesan toleransi dan perdamaian - dan bahwa dia bisa menjadi keduanya: gay dan sekaligus Muslim.
Foto: DW/A. Ammar
Melawan intoleransi
Sejak saat itu, Zahed memutuskan mengabdikan hidupnya untuk meyakinkan orang lain, agar ikut melawan interpretasi Islam yang berpikiran tertutup dan tidak toleran yang dia sebut "fasis". Ed: Naomi Conrad (ap/as)