1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakAfganistan

Perempuan Afganistan dalam Jerat Misoginisme Politik Taliban

Hussain Sirat | Waslat Hasrat-Nazimi
30 Desember 2022

Taliban memberangus satu per satu hak kaum perempuan di Afganistan. Kebijakan radikal penguasa Kabul diyakini digerakkan oleh tradisi Pashtun dan bermotifkan politik demi mempertahankan kekuasaan.

Serdadu Taliban dan perempuan Afganistan
Perempuan di bawah kekuasaan TalibanFoto: Ebrahim Noroozi/AP/picture alliance

Setelah melarang perempuan berkuliah di perguruan tinggi atau bekerja di lembaga swadaya masyarakat internasional, Taliban terus semakin membatasi ruang gerak perempuan di Afganistan.

Adela termasuk salah seorang di antaranya. Hingga pekan lalu, dia masih bekerja sebagai guru di sebuah sekolah swasta di Kabul. Kini dia dipaksa menganggur di rumah. 

"Awalnya Taliban cuma mengimbau agar perempuan tidak keluar rumah tanpa dikawal mahram laki-laki", tutur Adela kepada DW. Aturan itu lalu diperketat. Sekarang hanya pada hari Rabu dan Kamis saja perempuan di sejumlah provinsi diizinkan beraktivitas di luar rumah.

Bahkan pengemudi taksi tidak lagi diperbolehkan mengangkut penumpang perempuan.

Banyak perempuan Afganistan sebabnya khawatir, dalam hitungan pekan, Taliban bisa sepenuhnya melarang aktivitas perempuan di ruang publik. 

Para talib berdalih hanya menjalankan Syariah Islam. Tapi larangan bersekolah bagi perempuan di Afganistan justru dikritik sejumlah negara berwarga mayoritas muslim seperti Pakistan atau Arab Saudi.

Aktivis Afganistan Memperjuangkan Hak-hak Perempuan

04:03

This browser does not support the video element.

Pembangunan tanpa prioritas

Sulit dipahami, kenapa kelompok etnis Pashtun itu rela mengorbankan masa depan Afganistan demi memberangus hak perempuan. Menurut ahli teologi Islam di Universitas al-Azhar, Kairo, Mohamad Mohaq, haluan Taliban tidak disusun untuk kemaslahatan bersama.

"Mereka adalah kelompok teroris, bukan sebuah organisasi politik yang bekerja demi kepentingan masyarakat,” kata dia kepada DW. Taliban sejak awal didirikan sebagai kekuatan perusak, bukan untuk sebagai aktor rekonsiliasi atau pembangunan.

Asadullah Nadeem, ahli politik Afganistan, menilai para talib tidak digerakkan semata-mata oleh Syariah Islam. Menurut bekas direktur sebuah universitas swasta di Afganistan dan kini hidup di pengasingan itu, justru tradisi dan adat istiadat Pashtun yang lebih berpengaruh.

"Taliban mengikuti ideologi yang primitif, ekstrem dan terbelakang, yang dalam banyak kasus tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman,” kata Nadeem. Mereka hanya menerima Syariah yang sesuai dengan tradisi lokal.

Tekanan domestik

Ditambah lagi, Taliban saat ini direpotkan oleh serangan-serangan Islamic State Khorasan (IS-K) di seluruh penjuru negeri. IS-K tidak hanya membidik serdadu talib, tetapi juga minoritas Syiah Hazara di Afganistan.

IS-K juga mampu memikat gerilayawan fanatik Taliban yang mencari kemelut jihad. Sebab itu pula Taliban memperketat penegakkan Syariah demi memuaskan kalangan sendiri. 

"Para pemimpin Taliban tahu bahwa mereka tidak mampu mempertahankan kekuasaan di Afganistan unuk waktu lama,” kata Nadeem. "Mereka ingin menjaga motivasi para gerilayawannya untuk bisa setiap saat mengangkat senjata.”

Mohammad Mohaq meyakini IS-K tidak hanya melancarkan jihad, tetapi juga menyimpan motivasi duniawi. Menurutnya, IS-K mencemburui Taliban yang bermandikan uang dan perempuan setelah berhasil merebut Afganistan. "Ganjaran duniawi yang menggiurkan semacam itu pula yang menggerakkan para teroris", kata ahli teologi al-Azhar tersebut.

Sementara itu, tokoh-tokoh elit Afganistan mulai menjauhi Taliban akibat larangan berkuliah bagi perempuan itu. Termasuk di antaranya adalah Nadjibullah Djame, bekas dosen di sebuah universitas swasta yang selama ini mendukung Taliban.

"Kebijakan ini akan melempar Afganistan semakin ke belakang dan menuju masa depan yang penuh kegelapan,” katanya.

rzn/as

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait